biem.co — Mewabahnya Covid-19 membuat Pemerintah Indonesia telah menetapkan status non bencana alam terhadap wabah virus impor ini. Tentu saja penanganan masalah tersebut membutuhkan penanganan skala nasional dengan segala potensi sumber daya yang dimiliki. Pemerintah juga telah menetapkan status keadaan darurat bencana dengan jangka waktu tertentu.
Penetapan status keadaan darurat bencana tersebut terbagi dalam tiga tingkatan keterlibatan pemangku kepentingan, yaitu pada tingkatan nasional status keadaan darurat bencana akan ditetapkan oleh presiden, di tingkatan provinsi status keadaan darurat bencana akan ditetapkan oleh gubernur dan pada tingkatan kabupaten atau kota, status keadaan darurat bencana akan ditetapkan oleh bupati atau wali kota.
Penetapan status keadaan darurat bencana dipetakan menjadi tiga jenis. Pertama, siaga darurat ketika potensi ancaman sudah mengarah pada terjadinya bencana yang ditandai dengan informasi peningkatan ancaman berdasarkan sistem peringatan dini yang diberlakukan dan pertimbangan terhadap dampak yang akan terjadi di masyarakat. Kedua, tanggap darurat merupakan keadaan ketika ancaman bencana terjadi dan telah mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, dan yang ketiga adalah darurat pemulihan.
Sebagai upaya membendung Covid-19, pemerintah terus melakukan upaya-upaya yang terbagi menjadi dua fase. Fase pertama adalah fase imbauan. Pada fase ini, pemerintah hanya mengerahkan para pemangku kepentingan yang terlibat sebagai media edukasi bagi masyarakat. Fase ini terbilang ambigu, karena semua kebijakan pemerintah dan para pemangku kepentingan di mata masyarakat terkesan tidak tegas.
Tidak diberlakukannya sanksi dalam imbauan-imbauan yang dikeluarkan pihak pemerintah dan pihak swasta (perusahaan) membuat seolah-olah masyarakat tidak mampu untuk tanggap dan teredukasi dengan baik.
Pertanyaannya adalah apakah masyarakat dalam konteks kasus Covid-19 ini dapat ditempatkan sebagai pemangku kepentingan? Dan apakah komunikasi pemangku kepentingan yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta sebagai komunikator sudah mencapai komunikasi yang efektif?
Fase yang kedua adalah fase tindakan. Pada fase ini, pemerintah mencoba untuk memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang tidak menghiraukan himbauan pemerintah.
Pada kasus Covid-19 ini, pemerintah melibatkan pihak-pihak terkait yang dalam konteks komunikasi pemangku kepentingan (stakeholder communication) dapat dipetakan dalam jenis-jenis pemangku kepentingan sesuai dengan atribut-atribut yang mereka miliki. Sebelum kita memetakan para pemangku kepentingan yang terlihat dalam kasus ini, mungkin kita bisa melihat terlebih dahulu bagaimana para pemangku kepentingan mempersiapkan komunikasi untuk mencapai komunikasi yang efektif di tengah wabah Covid-19.
Persiapan yang baik merupakan kunci dalam keberhasilan komunikasi. Dalam konteks komunikasi, pemangku kepentingan apa saja yang perlu dipersiapkan tergantung dari skala komunikasi yang akan dilakukan.
Dalam hal ini, pemerintah bersama dengan para pemangku kepentingannya selalu memberitakan imbauan, keputusan serta informasi terbaru terkait Covid-19. Tidak lupa juga peran media terbilang besar dalam membingkai kasus ini. Semua pemberitaan media saat ini sepertinya hanya bercerita tentang Covid-19 dan dampaknya bagi seluruh lapisan masyarakat. Tetapi sebenarnya di manakah letak media itu sendiri dalam komunikasi pemangku kepentingan di tengah wabah Covid-19?
Beragamnya pemangku kepentingan yang terlibat aktif di tengah wabah Covid-19 mengisyaratkan bahwa pemerintah punya kekuatan untuk melibatkan para pemangku kepentingan dari sektor pemerintah itu sendiri hingga pihak swasta. Pemangku kepentingan memiliki jenis yang berbeda sesuai dengan atribut yang mereka miliki. Ada tiga atribut untuk memetakan pemangku kepentingan dalam kasus ini, yaitu atribut kekuasaan (power), legitimasi (legitimacy), dan urgensi (urgency).
Kekuasaan dalam pemangku kepentingan didefinisikan sebagai suatu hubungan antara aktor sosial. Aktor sosial yang kekuasaannya lebih besar akan mampu membuat aktor sosial yang tidak memiliki kekuasaan dapat melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Lebih gampangnya dikenal dengan kemampuan mereka yang memiliki kekuasaan untuk mewujudkan hasil yang mereka inginkan.
Selain pemerintah pusat melalui berbagai lembaga seperti Kementrian Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, pemerintah daerah (provinsi, kota dan kabupaten) adalah stakeholder yang memiliki kekuasaan. Dengan kekuasaan ini seharusnya pemerintah mampu mengendalikan publik dalam hal kepatuhan untuk melakukan himbauan pemerintah terkait wabah Covid-19.
Namun, alih-alih dapat mengendalikan masyarakat dalam wabah ini, beberapa pesan yang disampaikan pemerintah dan para pejabat publik justru menimbulkan kegaduhan dan perdebatan yang pada akhirnya menjadi komunikasi yang tidak efektif, karena apa yang menjadi tujuan pemerintah kurang berhasil.
Misalnya imbauan yang diberikan kepada masyarakat untuk melakukan social distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan mudik ke kampung halaman. Dengan berbagai macam alasan, masyarakat masih banyak yang tidak patuh untuk melakukan social distancing sebagai salah satu ikhtiar untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
PSBB yang dilaksanakan di beberapa daerah, seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, dan Bandung juga kurang mendapatkan atensi dan ketaatan dari masyarakat. Bahkan data terakhir dari Jakarta menunjukkan dengan pemberlakuan PSBB selama 14 hari dari 10-23 April 2020, justrun terjadi kenaikan kasus positif Covid-19. Sebagai stakeholder utama yang memiliki kekuasaan, pemerintah tidak tegas dalam menggunakan kekuasaannya tersebut.
Atribut legitimasi sendiri dapat berlaku untuk banyak tingkat analisis, yang paling umum adalah individu, organisasi dan masyarakat. Sehingga legitimasi dapat dibangun secara sosial dan normatif. Suatu kebaikan sosial yang memang diinginkan yang mana merupakan sesuatu yang lebih banyak dimiliki daripada sekedar persepsi diri belaka.
Legitimasi yang berada di berbagai tingkat organisasi sosial menghasilkan nilai-nilai dan norma-nomra yang dibangun dalam komunitas atau kekuatan moral yang terbukti dengan sendirinya sehingga diterima oleh komunitas. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah contoh stakeholder yang memiliki legitimasi ketika terjadinya wabah Covid-19.
Kedua organisasi profesi ini bahkan lebih didengarkan dan dipatuhi oleh masyarakat daripada apa yang disampaikan oleh pemerintah. Ketika MUI mengeluarkan fatwa mengenai penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19, sebagian besar umat Muslim di Indonesia mematuhinya.
Misalnya fatwa berkaitan dengan agara sementara tidak melaksanakan ibadah sholat wajib, sholat Jumat, dan sholat tarawih di masjid. Begitu pula pesan-pesan yang disampaikan oleh IDI terkait dengan ciri-ciri umum gejala orang yang terjangkit virus Corona dan cara-cara pencegahan penularan virus Corona, lebih banyak mendapatkan atensi dan kepatuhan dari masyarakat.
Sedangkan atribut urgensi merupakan panggilan yang menuntut perhatian sesegera mungkin dan mendesak. Urgensi sendiri hanya terjadi ketika dua kondisi terpenuhi, yaitu, ketika suatu hubungan atau klaim yang sifatnya sensitif terhadap waktu dan ketika hubungan atau klaim itu menjadi sangat penting bagi pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang memiliki atribut ini salah satu contohnya adalah media.
Dalam masa pandemi Covid-19, media menjadi pihak yang sangat aktif membombardir masyarakat dengan berbagai macam informasi mengenai wabah ini. Mulai dari media massa konvensional seperti koran, radio, dan televisi sampai media baru dengan berbagai platformnya secara serentak membanjiri masyarakat dengan berbagai macam informasi terkait Covid-19.
Media tidak hanya cepat dalam mendapatkan perhatian masyarakat, tetapi bahkan telah sampai pada tahap menebarkan “ketakutan” di dalam masyarakat. Dengan berbagai alasan dan kepentingan, media menjadikan pihak yang menebarkan informasi secara cepat, baik informasi yang benar maupun informasi yang salah, sehingga informasi apapun mengenai Covid-19 mendapatkan perhatian yang sesegera mungkin dari publik.
Komunikasi pemangku kepentingan di tengah wabah Covid-19 melibatkan hampir dari semua lini pemerintahan, pihak swasta dan dukungan media. Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya seharusnya dapat bersinergi dan bahu membahu menghadapi pandemi ini.
Dengan semua porsi keterlibatannya, pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama seharusnya memiliki klaim prioritas utama bagi pembuat keputusan yang proaktif dan juga reaktif karena hubungannya dengan pemangku kepentingan lainnya serta berpengaruh pada prospek kelangsungan hidup untuk sistem pemangku kepentingan yang menerima manfaat.
Sayangnya dalam hal ini, secara pelaksanaan teknis dilapangan terjadi tumpang tindih informasi yang mengakibatkan masyarakat masih menganggap pemerintah kurang tegas dalam memberikan penyelesaian atau problem solving yang bahkan terkesan tidak memiliki legitimasi yang kuat serta urgensi. Kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan menjadi tidak sama dan tidak merata di setiap daerah terdampak Covid-19.
Semoga pemerintah mau dan mampu belajar dari berbagai macam kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melakukan komunikasi kepada masyarakat maupun dalam menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan yang lainnya. Dan semoga pandemi ini dapat segera berlalu dan menjadi pelajaran dan pengalaman berharga bagi kita semua, terutama tentang penanganan wabah dan bencana nasional.
Astri Wulandari, MA., adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Mercubuana Yogyakarta.