PROVINSI BANTEN – Di era digital seperti sekarang, kebijakan terhadap kepentingan publik adalah (juga) menjadi salah satu yang rentan menuai kritik. Kebijakan publik, yang termasuk di dalamnya adalah informasi untuk publik semestinya menjadi bagian yang dibutuhkan masyarakat sebagai bagian dari pelayanan, dan etikanya hal tersebut seharusnya dilakukan tanpa embel-embel pencitraan atau provokasi.
Kebijakan yang sejatinya memiliki tujuan menyelesaikan persoalan yang ada secara tuntas, sering dimanfaatkan sebagian kepala daerah sebagai ajang swafoto (red: mempermanis citra diri) yang justru malah menimbulkan persoalan baru, hilangnya konteks dan buramnya informasi.
Hal ini (juga) terlihat pada situs https://infocorona.bantenprov.go.id/, salah satu situs informasi publik menyoal penyebaran corona di Banten. Peluncuran situs yang sejatinya dimaksudkan sebagai informasi publik dalam mencegah kesimpang-siuran informasi kesiapsiagaan Covid-19, khususnya di Provinsi Banten, dinilai oleh sebagian pihak sebagai ajang pencitraan kepala daerah mengingat banyaknya foto gubernur dan wakil gubernur “nongkrong” di sana.
Dari web tersebut, terkesan Gubernur dan wakil Gubernur Banten masih memanfaatkan pandemi ini secara politis (menjadikan corona sebagai alat sosialisasi politis). Dalam situs tersebut, jika kita bandingkan dengan situs-situs serupa informasi kesiapsiagaan Covid-19 yang ada di beberapa wilayah Republik Indonesia, situs https://infocorona.bantenprov.go.id/ kental dengan nuansa pencitraan.
Berbeda dengan DKI Jakarta, Jawa Barat, atau Jateng, di web daerah-daerah tersebut tidak menyematkan foto kepala daerahnya, hanya berisi informasi pencegahan, Rumah Sakit Rujukan beserta data terkait penyebaran virus corona.
screenshoot web infocovid DKI Jakarta
Tindakan Pencitraan
Tim biem.co kemudian mewawancarai Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Harits Hijrah Wicaksana. Menurutnya, dalam sudut pandang kebijakan hal ini disebut sebagai policy actor (aktor pembuat kebijakan). Ini adalah bentuk representasi dari pembuat kebijakan itu sendiri. Dengan fenomena masyarakat seperti ini, dalam sudut pandang awam masyarakat, tentunya dapat terpengaruhi. Namun, sampai saat ini belum ada tolak ukur efektivitas antara kebijakan dengan foto yang dipasang.
Harits menambahkan, bila dilihat dalam sudut pandang komunikasi politik, hal ini bisa disebut sebagai upaya pengenalan terhadap sosok pejabat publik itu sendiri. Di satu sisi, ini akan menguntungkan dalam sudut elektoral, karena semakin banyak foto figur muncul di publik akan menambah aset keterkenalan dan elektabilitas kepada para konstituen.
Jadi, tidak salah jika sebagian masyarakat menilai hal tersebut sebagai ajang pencitraan. Karena esensi dari situs publik seharusnya CONTENT dan CONTEXT POLICY (kebijakan) tersebut.
Di mana Urgensinya?
Akademisi STISIP Setia Budhi – Lebak ini juga menilai, bahwa untuk menjawab pertanyaan ini, bisa dilihat dari ukuran keberhasilan kebijakan publik. Hal yang paling sederhana dalam mengukur keberhasilan public policy yaitu efektivitas, efisiensi, responsiveness, kecukupan, impact, benefit, cost/budgeting. Dengan melihat indikator tersebut kita bisa menilai apakah kebijakan tersebut efektif jika dipasang dengan foto pemimpin daerahnya.
Visualisasi Kebijakan yang Kacau dan Tidak Relevan
Sampai saat ini banyak dari masyarakat lebih melihat gambar dibandingkan membaca content policy. Fokusnya akan lebih tertuju pada gambar. Hal ini ditambah tingkat literasi kita masih sangat rendah, yang lebih dilihat picture dulu dibanding content, atau hanya judul tagline saja yg dibaca tanpa memahami isi kebijakan. Apalagi jika kita sampai melihat dampak dan benefit dari kebijakan tersebut.
Jadi menurut pandangan dan pendapat saya lebih esensi jika content policy tersebut divisualisasikan dengan contoh dan gambar yang relevan jika hanya dibanding dengan foto pemimpin daerah.
(sumber: ekslusif)
(EJ)