Opini

Anggian Lasmarito: Tubuh Perempuan dalam Penjara Patriarki; Kasus Video Asusila Mirip Artis

biem.co – Awal November lalu jagat media sosial dikejutkan dengan tersebarnya video syur yang diduga mirip dengan Gisela Anastasia salah seorang publik figur di tanah air. Video yang tersebar di berbagai macam platform media sosial tersebut berdurasi 19 detik meski katanya ada versi yang lebih panjang dan lengkapnya. Dalam video itu, Gisel digambarkan sedang melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki yang bukan pasangannya.  Tidak lama setelah beredar, warganet mulai melakukan penyelidikan mandalam terhadap video tersebut  dengan cara mencari kesamaan hal-hal kecil pada video dengan diri Gisel seperti interior ruangan pada video yang dianggap sama dengan kamar Gisel yang biasa dia unggah di media sosialnya, begitu juga dengan baju yang digunakan oleh perempuan di dalam video dikatakan sama dengan baju yang pernah dikenakan oleh Gisel yang juga diunggahnya di media sosial miliknya.

Menyebarnya video tersebut menimbulkan berbagai macam reaksi dari warganet, mulai dari melontarkan candaan hingga hujatan serius. “bagi link” hingga tagar kasian gempi memenuhi hampir di seluruh kolom komentar yang berkaitan dengan video tersebut. Satu hal yang paling menarik perhatian adalah dari video tersebut warganet hanya lebih berfokus pada perempuan yang dikatakan mirip Gisel dibandingkan dengan laki-laki sebagai lawan main di dalam video tersebut. Hal ini terbukti dari bagaimana komentar yang dilontarkan, komentar dari warganet lebih didominasi dengan membahas Gisel mulai dari menilai tubuhnya hingga gerakannya di dalam video. Bahkan tidak sedikit warganet yang membuat candaan dengan kalimat “udah paling bener gempi ikut gading, gisel ikut aku”. Meski sama-sama ada di dalam video, kehadiran sosok laki-laki seolah luput dari pandangan khalayak. Walaupun ada yang ikut membahasnya, namun hanya sebatas menerka siapa orang tersebut.

Keterkaitan artis dengan video mesum sebenarnya bukan tren baru, hal serupa sudah pernah kita temui 10 tahun lalu. Tanar air pernah digemparkan dengan beredarnya video syur yang melibatkan tiga artis ternama yakni Ariel, Cut Tari dan Luna Maya. Saat kejadian tersebut warganet juga seolah lebih berfokus pada Cut Tari dan Luna Maya, Cut Tari yang bahkan hampir tidak pernah lagi muncul di dunia hiburan layar kaca tidak lama setelah video mesumnya tersebar luas, tetapi nasib karir Ariel di dunia hiburan masih berjalan dengan sangat baik hingga saat ini. Karya-karyanya di bidang musik terus hadir dan diterima dengan baik oleh khalayak bahkan meski dia sudah sempat masuk penjara oleh masalah tersebut. Masyarakat seolah memafkan begitu saja apa yang pernah terjadi pada Ariel. Lalu bagaimana dengan Luna Maya? Meski hingga saat ini dia juga masih terus berkarya di layar kaca namun bukan berarti hujatan kepadanya sudah benar-benar berhenti, bahkan ketika mantan pacarnya menikah dengan sahabatnya sendiri 2019 lalu Luna Maya masih mendapatkan hujatan dari warganet terkait dengan video syurnya, salah satu komentarnya adalah “ya wajar sih Reino milih Syahrini, orang tuanya pasti gak bisa menerima Luna Maya yang video mesumnya pernah kesebar.” Dari sini kita bisa melihat bagaimana masyarakat akan terus menyalahkan perempuan ketika mereka terlibat di dalam video syur dan seolah luput dengan sosok laki-laki di dalamnya.

Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan, setelah 10 tahun berlalu mengapa polanya masih sama? Mengapa perempuan yang tetap menjadi pihak yang paling disalahkan ketika kasus seperti ini terjadi? Mengapa perhatian khalayak hanya berfokus pada tubuh perempuan?

Di era kecanggihan teknologi saat ini yang dikira mampu melepaskan perempuan dari kungkungan struktur kekuasaan patriarki yang selama ini sudah memenjara mereka, ternyata justru sebaliknya. Kecanggihan teknologi dan beragamnya platform media sosial justru menjadi jebakan bagi kaum perempuan. Dijelaskan bahwa wacana gender saat ini masih didominasi oleh gugatan terhadap teguhnya inferioitas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dalam budaya patriarki, perempuan dianggap sebagai makhluk pasif dan sub-ordinat dari laki-laki. Media adalah salah satu yang memiliki peranan besar dalam melanggengkan nilai-nilai tersebut. Media sendiri merupakan arena perebutan posisi tepatnya posisi antara ‘memandang’ (aktif) dan posisi ‘yang dipandang’ (pasif) dan dalam hal ini nilai maskulin berada dalam posisi yang dominan, sedangkan nilai feminin berada pada posisi yang marjinal atau terpinggirkan.

Inilah kemudian yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa dalam kasus video syur ini, Gisel seolah menjadi pihak yang paling menarik perhatian. Karena dia adalah seorang perempuan, keberadaan dirinya dianggap inferior dibandingkan dengan lawan main di dalam video tersebut. Posisi perempuan dalam hal ini dianggap sebagai pihak pasif dan tidak lebih berdaya daripada laki-laki, mereka dianggap sebagai pihak yang berada di posisi ‘yang dipandang’. Dari kacamata seksisme ambivalen Glick dan Fiske sikap yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan menciptakan posisi laki-laki yang selalu lebih superior dibanding perempuan dan hal ini tentu saja tidak lepas dari budaya patriarki yang terus dipelihara dan dilanggengkan di dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam kasus ini, ketika ada video pornografi atau video syur tersebar luas sudah bukan menjadi suatu keanehan ketika tubuh perempuan yang menjadi fokus utama dibandingkan laki-laki. Posisi mereka yang inferior dan pasif ini yang kemudian menjadikan tubuh mereka tidak lebih sebuah objek yang memang untuk dinikmati dan tentu saja hal ini pula yang pada akhirnya menjadikan posisi perempuan semakin menjadi korban dan tertindas. Bahkan meskipun belum ada kebenaran yang pasti bahwa dirinya adalah perempuan yang ada di dalam video tersebut, namun saat ini posisi Gisel seolah sudah dimatikan oleh warganet.

Alasan lain yang membuat perempuan menjadi sosok yang lebih banyak digunjing dan disalahkan ketika video syurnya tersebar luas adalah sejalan dengan Victim Blaming theory milik William Ryan. Secara sederhana teori ini bicara tentang korban yang justru disalahkan atas kejahatan yang terjadi kepada dirinya, dalam hal ini terutama adalah para korban kekerasan seksual.  Banyak pihak yang berpotensi menyalahkan korban seperti polisi, pengacara, hakim, atau bahkan keluarga maupun teman-teman terdekat dari korban.

Pandangan mengenai peran seks milik Bateman adalah salah satu pandangan yang ada di dalam victim blaming theory, pandangan ini merujuk pada bagaimana seharusnya laki-laki memiliki pengalaman seks yang luas dan perempuan justru akan disalahkan akan hal itu serta dituntut untuk tetap selalu suci. Di dalam video syur yang beredar tersebut ada dua pemain yang terlibat yakni laki-laki dan perempuan karena keyakinan yang dipegang kebanyakan masyarakat luas bahwa hal yang wajar ketika laki-laki ada di sana dan sebuah kesalahan besar ketika melihat perempuan juga turut beradegan di dalam video. Tuntutan masyarakat akan perempuan yang harus selalu berlaku baik dan suci semakin melanggengkan bentuk superior laki-laki terhadap perempuan. Dengan begitu, perempuan seolah tidak bisa sebebas laki-laki dalam mengekspresikan hasrat seksual mereka.

Dominasi wacana di media sosial adalah gambaran dari bagaimana wacana realitas yang terjadi di kehidupan masyarakat. Bagaimana reaksi warganet dalam melihat video syur mirip Gisel yang beredar tersebut merupakan gambaran masyarakat sebenarnya dalam melihat perempuan dan tubuhnya. Perempuan seperti Gisel atau Cut Tari atau Luna Maya akan diberi label ‘perempuan tidak benar’ oleh sebagian besar masyarakat karena dianggap menyalahi aturan ‘perempuan harus suci’ yang mereka ciptakan dan pelabelan itu akan terus diingat oleh khalayak dalam waktu yang sangat lama. Namun kehadiran pemain laki-laki di dalam video tersebut cepat atau lambat akan luput dari pandangan khalayak. Inilah bukti bagaimana pada akhirnya laki-laki akan lebih superior dibandingkan perempuan dan  budaya patriarki yang masih dipelihara yang akan terus memenjarakan perempuan dalam “inferioritas” mereka. (*)


Penulis adalah alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button