biem.co — Pada hari Minggu tanggal 4 Agustus 2019 pukul 11.48 WIB, listrik di seluruh daerah Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta tiba-tiba padam hingga malam hari. Beberapa hari sebelumnya, bumi Banten digetarkan dengan 6,9 skala richter gempa, sehingga sebagian besar masyarakat dari wilayah Banten hingga wilayah Jawa Tengah merasa panik akibat gempa yang mereka rasakan secara tiba-tiba pada awal senja.
Tiba-tiba adalah kosa kata yang memiliki arti sebagai satuan waktu yang seolah menghampiri manusia tanpa ada proses kejadian yang mengiringinya. Padahal jika mengikuti ketentuan alam, tidak ada suatu proses yang muncul sedemikian rupa tanpa melalui proses awal yang mengiringinya.
Terkadang kita sebagai manusia, banyak merasakan ketiba-tibaan tersebut. Seolah tiba-tiba sudah akan Hari Raya Idul Adha, tiba-tiba sang anak sudah beranjak menjadi mahasiswa, tiba-tiba si bungsu sudah menjadi sarjana, hingga tiba-tiba sang teman yang kemarin masih ngobrol bersama sudah tiada karena kembali kepangkuan Sang Khalik.
Jika kita jeli mengamati satu persatu peristiwa di atas, maka sesungguhnya tidak banyak kejadian tiba-tiba yang kita alami. Karena sebagian besar peristiwa yang terjadi adalah berjalan sesuai proses sunatullah, kecuali kematian dan musibah tertentu yang memang ilmu pengetahuan manusia tidak dapat menjangkaunya, seperti kematian dan musibah kecelakaan.
Baca Juga
Mengapa lebih banyak kejadian yang prosesnya dapat dicermati? Karena terkadang kita luput mengamati alasan terjadinya sebuah peristiwa hingga mengakibatkan terjadinya peristiwa lainnya dalam hubungan sebab akibat. Dan luputnya proses pengamatan tersebut dikaitkan dengan prinsip relatifitas “perasaan” terhadap waktu (perasaan atau sikap kita terhadap waktu, bukan terkait dengan teori relativitas Einstein).
Kita tentu pernah merasakan waktu 5 menit yang terasa lama ketika menunggu guna menghadapi persiapan operasi mencabut gigi atau apapun peristiwa yang tidak menyenangkan, namun waktu 5 menit tersebut akan dirasakan cepat berlalu ketika kita mengalami hal yang menggembirakan.
Nah, inilah yang saya istilahkan relatifitas “perasaan” terhadap waktu. Sehingga sering kita marasakan tiba-tiba terhadap sesuatu yang sesungguhnya prosesnya dapat kita amati.
Tumbuh kembangnya seorang anak sejak bayi, masuk Taman Kanak-kanak, masuk Sekolah Dasar hingga kuliah merupakan proses yang dilalui hingga menjalani wisuda sebagai sarjana. Demikian pula, datangnya perayaan Idul Adha yang memang hanya terselang sekitar dua bulan setelah Idul Fitri, adalah sunatullah terhadap rotasi waktu dalam satu tahun. Namun karena berbagai kesibukan, maka kita seakan tiba-tiba sampai kepada waktu-waktu tersebut.
Dalam sisi lain, jika kita tidak mengamati proses berjalannya peradaban, maka tentunya akan takjub dengan kemajuan teknologi yang tiba-tiba hari ini bisa memesan jajanan makanan hanya dari smartphone, tiba-tiba beberapa lapangan pekerjaan menjadi kadaluwarsa, tiba-tiba seorang anak menjadi lebih cepat pandai berbicara dengan kosa kata yang lebih banyak ketimbang masa lalu, dan ketiba-tibaan lain yang dikenal dengan istilah disrupsi.
Baca Juga
Disrupsi merupakan istilah bagi seseorang yang luput mengamati perkembangan teknologi yang bisa merubah sebuah peradaban dan kebudayaan manusia. Tapi bagi seorang yang memiliki kegemaran membaca, maka perubahan tersebut merupakan keniscayaan. Seperti perubahan bahwa sebagian pekerjaan kita di masa depan akan tergantikan dengan robot, sebagaimana skenario drama yang sudah dituliskan pada tahun 1921 dengan judul “Rosumovi Univerzalni Roboti” oleh Karel Capek.
Sementara para penggemar literasi sudah lama membaca akan adanya gelombang ketiga mengikuti prediksi yang disinyalir oleh Alvin Toffler dalam buku karyanya.
Untuk menghindari berbagai ketiba-tibaan, masyarakat peneliti sudah membicarakan tentang era big data, dimana setiap data sekecil apapun akan di proses menjadi sebuah informasi yang akan digunakan sesuai kepentingan yang mengiringinya.
Bagaimana status yang kita tuliskan di media sosial, dapat dijadikan sebagai sebuah data yang dikumpulkan setiap kali kita menuliskan status tersebut. Dan kumpulan status tersebut akan diolah untuk membaca profil psikologis kita, sehingga dapat dihasilkan informasi yang ‘akurat’ tentang profil kepribadian kita, sehingga dengan informasi tersebut dapat diketahui hobi, kesukaan, bahkan preferensi atau pilihan politik kita.
Dengan terkumpulnya big data dari seseorang, maka tidak ada lagi istilah seseorang yang tiba tiba menjadi psikopat, sekalipun dalam kesehariannya menunjukkan perilaku yang baik menurut lingkungannya. Teknologi tentang data, dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan kepribadian seseorang dalam situasi dan kondisi tertentu.
Dengan big data, sebuah mobil autonomus dapat bergerak sendiri menghindari tabrakan dengan benda benda di sepanjang perjalanannya. Dan bahkan dengan big data, prediksi tentang kegempaan dapat dilakukan lebih akurat sehingga proses mitigasi bencana diharapkan dapat mengurangi angka korban secara signifikan.
Terlepas dari semua kemajuan peradaban dan cara berpikir manusia, jika Sang Maha Berkehendak, tiba-tiba menghendaki hal lain atas kemajuan peradaban tersebut, maka tidak ada yang bisa menolak kehendak-Nya tersebut.
Sekalipun kehendak-Nya tersebut telah dituliskan-Nya puluhan ribu tahun lalu. Sehingga, persiapan sikap mental menghadapi ketiba-tibaan merupakan salah satu instrumen kepribadian yang penting dimiliki, agar dapat mengatasi tantangan zaman yang penuh ketidak pastian dan turbulensi perubahan pada hari ini.
Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten, Alumni Taplai Lemhannas, serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Ketua Umum MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Provinsi Banten. Pernah menjadi Anggota Tim Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Provinsi Banten (2015-2017). Direktur komunikasi & kerjasama Banten Institute of Regional Development (BIRD). Penggagas scenario planning “Banten 2045”, Sekretaris Umum ICMI Provinsi Banten.