Boyke PribadiKolom

Kolom Boyke Pribadi: Percaya Kabar Bohong

Kompetisi kekuasaan mengakibatkan penyesatan informasi.

Oleh: Boyke Pribadi (Pembelajar Kehidupan)

biem.co — Sejatinya, berbagai fenomena yang berlalu lalang dihadapan kita memberikan hikmah atau pelajaran bagi siapapun yang membuka pikirannya ketika memperhatikan hal tersebut. Demikian juga dengan fenomena politik dengan berbagai dinamikanya, yang muncul berkejar-kejaran satu sama lain pada awal tahun ini, yang dikenal dengan tahun politik.

Semula judul tulisan ini adalah ‘Hoax dan Trust’, namun dirasa janggal karena menyatukan istilah dalam bahasa asing dengan bahasa Indonesia, dan isi tulisannya berbahasa Indonesia. Lalu jika diterjemahkan menjadi “Berita Bohong dan Kepercayaan”, koq! malah ingat aliran kepercayaan yang sempat ramai ketika era orde baru, hi hi hi.

Oleh sebab itu, meski agak janggal, pilihan kata untuk judul tulisan ini kemudian menjadi “Percaya Kabar Bohong”.

Ide awal dari tulisan ini adalah tentang Konsep low trust society yang pertama kali diperkenalkan oleh Francis Fukuyama, penulis buku berjudul End of History sudah banyak dibaca oleh masyarakat Internasional. Teori ini menggambarkan sebuah kondisi dimana hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem/norma yang berada di luar kelompoknya, mereka hanya meyakini sistem/norma yang ada dalam kelompoknya sendiri. Sehingga dalam benaknya, hanya kroni-nya saja yang layak mendapat keyakinan penuh (full trust).

Sementara bagian kalimat lain, yakni kabar bohong, diilhami dari berbagai peristiwa hoax yang banyak mewarnai media sosial di  seluruh dunia, dan mendapat perhatian beberapa tahun terakhir ini di Indonesia seiring dengan menghangatnya berbagai peristiwa politik di tanah air.

Lalu apa kaitan keduanya sehingga dibuat menjadi judul opini atau artikel ini?

Yang menghubungkan kedua istilah tersebut adalah kompetisi dari pertandingan perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Sehingga melakukan penyesatan informasi pun menjadi santapan sehari-hari para pihak yang sedang bertanding.

Merupakan hal yang sangat manusiawi jika para pihak yang bertanding merasa dirinya adalah pihak yang paling unggul dan paling baik sehingga layak memenangkan pertandingan, oleh sebab itu, maka para peserta kontestasi selalu berusaha tampil sempurna di hadapan publik.

Selain itu, para pendukung masing-masing pihak akan berusaha mati-matian melakukan pembelaan terhadap calon yang didukungnya, karena meyakini dengan sepenuh jiwa-raga-pikiran bahwa yang didukungnya merupakan sosok yang sesuai dengan yang diinginkannya. Sehingga jangan diharap jika ada pendukung salah satu pihak memiliki pandangan positif terhadap pihak lawannya, pokoknya dalam benaknya, sang lawan selalu mendapat citra negatif, sehebat apapun yang dilakukan lawan atau pesaingnya.

Meyakini nilai kebenaran yang hanya dimonopoli oleh kelompoknya sendiri, menurut teori ‘low trust’-nya Fukuyama, merupakan ciri dari ‘low trust society’ yang rentan mengakibatkan perpecahan antar kelompok. Padahal, jika kita sadari, negara ini berdiri di atas banyaknya perbedaan yang dimiliki, seperti perbedaan keyakinan dan adat istiadat atau norma budaya.

Persoalan perbedaan ini, ditambah rumit jika ada pihak yang menginginkan bertambah banyaknya perpecahan yang terjadi, dan memperbesar tingkat ketidakpercayaan para pihak, melalui penyesatan informasi atau penyebaran berita bohong, yang dikenal dengan istilah HOAX.

Penyebaran kabar bohong semakin lancar dengan kemudahan teknologi yang mengiringi kemajuan zaman, yakni munculnya media sosial yang diyakini digunakan oleh sebagian besar warga di Indonesia, yang menurut data tidak kurang dari 140 juta penduduk Indonesia yang menggunakan Internet.

Dimana dalam dunia maya, seorang warga atau dikenal dengan istilah netizen, bisa dengan bebas menuliskan sesuatu tanpa hambatan psikologis apapun, karena dapat tampil sebagai anonim (tanpa identitas nama asli)  yang dengan mudah menghindari tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab hukum.

Kemajuan teknologi ini dirasa saling melengkapi dengan sikap ‘memakan yang disukai’, dalam arti kata, warga dunia maya memiliki kebebasan untuk memilih informasi yang disukainya, sehingga malas mencari informasi lain yang cenderung tidak disukainya, sekalipun informasi tersebut justru yang memiliki nilai kebenaran.

Sebagai contoh, pikiran seseorang akan lebih cepat membenarkan informasi yang diperoleh dari orang yang berada dalam satu kelompoknya, termasuk info bernilai buruk tentang kelompok lawannya. Dan dengan sikap pembelaan terhadap kelompoknya, maka dengan mudah yang bersangkutan akan segera menyiarkan/menyebarkan (share/broadcast) informasi tersebut secara luas.

Padahal, tidak semua penerima berita tersebut menggunakan nalarnya dengan baik, bahkan ada yang ‘baper-an’ atau mudah terbawa perasaan/emosi. Sehingga kabar yang diterima tersebut langsung membangkitkan emosinya, baik emosi yang selaras dengan kabar yang diterima, ataupun emosi yang menolak isi kabar yang beredar tersebut. Dan hal inilah yang meramaikan jagat media sosial dalam beberapa tahun terakhir ini, yakni perdebatan yang tiada ujung pangkalnya mengenai para pihak yang bertanding.

Kembali kepada kaitan judul diatas, jika melihat runtutan kabar bohong yang dikeluarkan secara massif di berbagai media, maka dapat dengan mudah dibaca adanya upaya memperbesar ketidakpercayaan antar masyarakat dengan sebuah institusi atau lembaga.

Sebut saja kabar bohong tentang larangan adzan yang seolah pemerintah mengatur dan membatasi penggunaan speaker masjid untuk keperluan adzan atau panggilan shalat. Padahal faktanya, himbauan yang dikeluarkan tahun 1978 tersebut hanya mengatur penggunaan pengeras suara untuk keperluan di luar adzan atau panggilan shalat, sementara untuk keperluan panggilan shalat 5 waktu tetap menggunakan pengeras suara yang dibunyikan secara lantang hingga terdengar oleh penduduk yang berada di sekitar masjid. Kabar bohong ini mungkin diharapkan agar masyarakat hilang kepercayaannya kepada institusi Departemen Agama, sehingga kelak kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh Departemen Agama akan ditolak.

Atau kabar bohong tentang diperbolehkannya 14 juta orang gila untuk ikut menentukan pilihannya pada pemilu tahun 2019. Padahal faktanya, KPU selaku penyelenggara pemilu hanya mengatakan perihal tentang ODGJ (Orang Dengan Gangguan Kejiwaan) yang dengan istilah lain dinamakan Tuna Grahita yang diperbolehkan untuk memilih, dan jumlahnya pun tidak lebih dari 50 ribu penderita yang masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Penyesatan informasi seperti ini mungkin bermaksud untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kepercayaan bahwa KPU selaku penyelenggara bersifat netral, sehingga masyarakat mudah di bangkitkan emosinya, manakala pihak yang didukungnya mendapatkan keputusan yang merugikan dari KPU.

Beberapa informasi yang jelas jelas merupakan kabar bohong, akan diyakini sepenuhnya sebagai sebuah kebenaran dan layak dibela serta disebarkan. Karena informasi tersebut bersumber dari pihak yang berada dalam kelompoknya. Sementara informasi dari pihak lawan akan selalu dianggap sebagai penyesatan atau kabar bohong.

Dapat dibayangkan, jika kedua belah pihak tidak mau membuka mata dan pikirannya untuk berupaya memahami informasi yang dikeluarkan dari masing masing pihak. Maka bagaikan narasi dua orang yang melihat angka 6 (enam) dari dua sisi yang berbeda, sehingga dari sisi lain, angka tersebut akan dilihat sebagai angka 9 (Sembilan). Dan pendapat tersebut tidak akan berubah hingga kedua orang tersebut merubah posisi atau sudut pandangnya terhadap angka yang dilihat.

Perbedaan sudut pandang merupakan sifat yang manusiawi, namun demikian sikap berusaha memahami persoalan dari sudut lain juga akan menunjukan kebesaran jiwa seorang manusia. Terlebih di negara kita yang penuh kebhinekaan, dimana tiap keyakinan/agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda.

Mempertemukan beberapa sudut pandang yang berbeda dengan tetap mempertahankan prinsip berdasarkan keyakinan yang dianut, merupakan sikap yang sangat dibutuhkan untuk menjaga kepentingan nasional. Karena negara ini dihuni oleh banyak ragam manusia dengan pikiran yang berbeda beda.

Dapat dibayangkan jika perbedaan yang ada tidak dibatasi dengan koridor kebersamaan sebagai sebuah bangsa? Hanya perpecahan yang akan terjadi.

Menjelang tahun yang penuh kontestasi politik kali ini, selayaknya semua pihak menyadari bahwa berbagai kompetisi dan kontestasi yang ada hanya merupakan ‘ritual’ demokrasi sebagai peristiwa rutin bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Bukan sebuah pertaruhan hidup mati bagi sebuah bangsa, sehingga bukan sebuah peperangan di antara anak bangsa yang memiliki perbedaan pilihan. Apapun hasilnya, kita semua masih terikat persaudaraan sebagai sesama anak bangsa.

Dan kalaupun ada yang mengatakan bahwa ini pertarungan asing dan aseng, maka pertanyaan sederhana yang layak dikeluarkan adalah; negara mana yang hari ini tidak melakukan kerjasama luar negeri sekaligus menjalin aliansi dalam berbagai bidang, dari ekonomi-perdagangan hingga kerjasama militer. Dan hanya negara yang kuat saja yang bisa mandiri serta mengatur negara-negara lain. Bukankah kita ingin menjadi negara besar yang mandiri?

Jawabannya ada di dalam diri masing masing diri pembaca.


Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968. Adalah Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Alumni Taplai Lemhannas,  serta aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Ketua Umum MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Provinsi Banten. Pernah menjadi Anggota Tim Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Provinsi Banten (2015-2017). Direktur komunikasi & kerjasama Banten Institute of Regional Development (BIRD). Penggagas scenario planning “Banten 2045”, Sekretaris Umum ICMI Provinsi Banten.

 


Editor: Jalaludin Ega

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button