InspirasiOpini

Ega Jalaludin: Merenungi Puasa, Benarkah Ia Untuk Allah Semata?

biem.co – Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Sebentar lagi ramadan akan berlalu, kita akan sampai di ujungnya. Setiap kita bersiap bergembira menyambut hari yang penuh rahmat dan rasa syukur, hari dimana puncak seluruh rangkaian proses ramadan akan bermuara, hari dimana setiap mukmin berharap benih kesabaran menahan nafsu dan konsistensi i’tikaf tadarus di bulan ramadan (semoga) akan berbuah ketaqwaan, ‘Idul Fitri.

Menunggu ‘Idul Fitri tiba, saya ingin mengajak pembaca merenungi puasa kita selama satu bulan penuh ini. Bersama-sama menggali dan mengurai tujuannya, benarkah puasa kita untuk Allah SWT semata?

MERENUNGI PUASA

Mari tanya-renungkan bersama, sudah mampukah puasa yang kita jalani ini memantaskan kita menggapai fitri?, untuk siapakah puasa kita sebenarnya?, benarkah seperti yang disampaikan Nabi SAW bahwa “puasa kita untuk Allah SWT dan hanya Allah SWT yang akan membalasnya?”.[1]

Alih-alih puasa kita termaknai dengan benar, jangan-jangan ramadan yang kita jalani ini hanya sekedar menahan nafsu makan-berlebih, syahwat yang tak terkontrol, gunjing yang sering tak terbendung, dan nafsu caci-maki yang sering tak dirasa yang 11 bulan lalu tak mampu kita tahan. Jangan-jangan kita hanya sedang menahan sedikit dari kesabaran itu dan menunggu waktu meluapkannya saat fitri (syawal) nanti?

Sebagai insan yang beriman, kita tentu percaya bahwa puasa ramadan memiliki hikmah dan manfaat yang tidak sesederhana itu. Hikmah yang tidak hanya sekedar diet dengan menahan makan dan minum, tidak sekedar i’tikaf dengan tadarus dan hafal al-Qur’an di surau-surau, tidak sekedar mamaklumkan tidur agar berbuah pahala, tidak sekedar menahan syahwat agar menjadi manusia terhormat, tidak sekedar melatih kedisiplinan, tidak pula sekedar silaturahmi dengan ngabuburit dan buka puasa bersama. Tentu saja, hakikat puasa lebih besar dari itu semua.

LAPAR, DAHAGA DAN SYAHWAT

Menahan lapar dan dahaga, Nabi SAW pernah bersabda, bahwa dengan menahan lapar dan dahaga, kita sedang berupaya memerangi nafsu, ‘karena sesungguhnya pada keduanya (lapar dan dahaga) terdapat pahala seperti pahalanya seseorang yang berjihad di jalan Allah.’ Dan sesungguhnya tidak ada amal yang paling disenangi dari Allah SWT dari pada lapar dan dahaga.”[2]

Senada dengan itu, kenapa perut harus dilatih lapar dan dahaga?, dalam Ihya’ Imam Al Ghazâlî menuturkan, “Perut itu pada hakekatnya adalah sumber segala nafsu syahwat dan tempat tumbuhnya segala penyakit dan bencana. Karena nafsu syahwat perut diikuti oleh nafsu syahwat farji …..”..[3]

Lebih lanjut, al Ghazali mengisahkan;

Pernah Nabi SAW berkata kepada ‘Aisyah ra, “seringlah mengetuk pintu surga.”

‘Aisyah berkata, “Dengan apa?’

Nabi SAW bersabda, “Dengan rasa lapar.”

Nabi SAW bersabda, “Kalau saja setan-setan itu tidak berkeliaran di hati anak Adam, tentulah mereka melihat kepada kerajaan langit. Puasa itu membantu mematahkan Syahwat.”[4]

Mari renungkan bersama, dalam dua hal pertama, benarkah kita sedang berupaya memerangi nafsu dan mengetuk pintu surga serta menyenangkan Allah SWT (dengan lapar dan dahaga kita). Padahal jika kita bersedia jujur bukankah kita sebenarnya sedang mengambil manfaat untuk diri kita sendiri, dengannya kita mampu melakukan introspeksi dan berempati merasakan kelaparan saudara-saudara kita di luar sana. Bukankah kita pula yang sedang mengambil manfaat untuk kesehatan tubuh kita dengan mengurangi asupan-asupan makanan yang kadang tak bergizi dan tak terkontrol yang kita santap setiap saat?

Adapun syahwat yang dengan sekuat tenaga kita patahkan di bulan ramadan demi alasan kebaikan dan kehormatan kita sebagai manusia yang beradab, bukankah kebaikan dan kehormatan itu juga untuk kita?

Lalu mana yang untuk Allah SWT?

KESABARAN

Saat berpuasa, setiap kita dianjurkan menahan emosi (sabar) dan dilatih untuk menjalani proses dan merasakan kenikmatan beribadah. Terfirmankan dalam Az-Zumar (39):10, bahwasanya jika manusia sabar saat puasa, “pahala kita sesungguhnya telah disempurnakan tanpa batas.” Bahkan Nabi SAW-pun pernah bersabda “puasa itu adalah separuh sabar”, (Ibnu Majah dari Abu Hurairah).[5]

Sementara Al Ghazali menyatakan bahwa ‘puasa adalah salah satu media untuk melatih dan membiasakan sabar. Jika ia dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan, maka ia akan melahirkan manusia-manusia yang sabar, yaitu manusia yang mampu menghadapi setiap permasalahan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan agama.’ Maka orang-orang yang telah terbiasa dengan berpuasa, akan menampakkan kesabaran dalam sikap, gerak dan langkah kehidupannya sehari- hari.[6]

Mari kembali kita renungkan, untuk siapa sebenarnya kesabaran yang selama ramadan kita praktikkan? Untuk Allah kah?!

Semua harus sepakat, tentu saja bukan untuk Allah SWT. Kesabaran dalam diri kita mutlak untuk kebaikan kita sendiri demi menjalani hidup dan mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi.

Lagi-lagi kesabaran itu pun untuk kita. Lalu mana yang untuk Allah SWT?

KESUCIAN JIWA

Jika kita merujuk Firman Allah SWT dalam Surat Asyamsy ayat 7-10, yang artinya;

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.”[7]

Serta pendapat Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya, bahwa hikmah berpuasa adalah “…kesucian jiwa dan kebersihannya serta mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina.” Menurutnya ‘ketaqwaan berbanding lurus dengan kesucian jiwa, karena apabila jiwa dapat tersucikan dari potensi-potensi kefasikan, ia akan memperoleh ketakwaan.’ Dengan berpuasa manusia dapat meraih tingkatan taqwa di hadapan Allah SWT.

Masih dengan perenungan yang sama, untuk siapa ‘kesucian jiwa’ itu?

Sementara jika merujuk redaksi dalam Asyamsy ayat 7-10 tersebut, bukankah ‘kesucian jiwa’ itu dibutuhkan agar kita termasuk orang-orang yang beruntung?

Tak ayal, lagi-lagi itu semua untuk keberuntungan kita.

Mana yang untuk Allah SWT?

BENARKAH PUASA ITU UNTUK ALLAH?

Benarkah puasa kita untuk-Nya dan hanya Allah yang akan membalasnya?.’ Sebagaimana firman-Nya, “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”[8] Para ulama berbeda pendapat tentang ini. Akan tetapi, ada beberapa hal yang ingin saya tuangkan dalam tulisan ini merujuk beberapa sumber.

Saya ingin mengutip pernyataan beberapa pakar mengenai alasan kenapa puasa itu dari Allah dan untuk Allah, serta kenapa puasa dikhususkan dari amalan lain?

Pertama; puasa menjadi istimewa karena ia tidak terkena riya sebagaimana (amalan) lainnya terkena riya. Sebagaimana pernyataan Al-Qurtuby rahimahullah, ‘Ketika amalan-amalan yang lain dapat terserang penyakit riya, maka puasa tidak ada yang dapat mengetahui amalan tersebut kecuali Allah, maka Allah sandarkan puasa kepada Diri-Nya.’

Ibnu Al-Jauzi rahimahullah-pun berkata, ‘semua ibadah terlihat amalannya. Dan sedikit sekali yang selamat dari godaan (yakni terkadang bercampur dengan sedikit riya) berbeda dengan puasa’;

Kedua; maksud dari ungkapan Allah SWT, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.” [9]. Menurut Al Qurtuby ra bahwa pengetahuan tentang kadar pahala dan perlipatan kebaikannya hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Maksud dari itu semua “bahwa amalan-amalan telah terlihat kadar pahalanya untuk manusia, bahwa ia akan dilipatgandakan dari sepuluh sampai tujuh ratus kali sampai sekehendak Allah, kecuali puasa.” Maka menurutnya, Allah SWT sendiri yang akan memberi pahala tanpa batasan.

Hal ini mendapat penguatan dalam periwayatan Muslim, 1151 dari Abu Hurairah ra berkata, Nabi SAW bersabda: “Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat.

Ketiga, Menurut Ibnu Abdul Bar ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’, ternyata memiliki maksud bahwa ‘puasa itu termasuk ibadah yang paling Aku (Allah) cintai dan paling mulia di sisi-Ku (Allah), dan redaksi ‘Puasa untuk-Ku’ menunjukkan keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Kekhususannya terurai dalam riwayat An-Nasa’i, 2220 dari Abu Umamah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Nasai).[10]

SAMPAI DI MANA KITA?

Lagi-lagi izinkan saya mengajak pembaca merenungi. Di penghujung ramadan ini, sudah sampai dimana manfaat puasa kita? Sudahkah jiwa kita terbebas dari kotoran-kotoran nafsu? Sudahkah tubuh kita bersih dari akhlak yang hina? atau sudahkah ketakwaan kita membawa pada kesucian jiwa, serta setidaknya, seperti kata Nabi, sampai-kah puasa kita ini pada nilai “setengah sabar”?

Dalam keadaan sadar atau tidak-sadar saya rasa setiap mukmin berharap puasanya mampu membersihkan kotoran pada jiwanya, membersihkan akhlak yang hina dari tubuhnya, menggapai ketakwaan kepada Allah SWT agar tersucikan jiwanya dan menggapai ‘setengah sabar’ agar termuliakan hidupnya.

Ramadan kali ini, andaipun keadaannya tidak seperti yang kita harapkan, mari meyakini bahwa setidaknya kita sudah bersungguh-sungguh menunaikannya. Mengenai pahala dan nilainya hanya Allah SWT sematalah yang tahu ketentuannya,, apalagi jika kita korelasikan dengan kepastian mendapatkan Lailat al Qadr, malam seribu bulan, percayalah Allah SWT Maha Tahu, Maha Pengasih dan Maha Penyayang bagi hambanya yang taat.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu puisi Jalaluddin Rumi;

HATI BERSIH MELIHAT TUHAN

Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat

dalam persemayaman hatinya.

Dan penglihatan itu bergantung

pada seberapakah ia menggosok hati tersebut.

Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap,

maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat semakin nyata baginya.

Tarik benang lurus tentang puasa yang dikhususkan daripada ibadah lain, apalagi dengan fokus tujuan kesucian hati, maka selayaknya puasa akan termasuk ke dalam proses menggosok hati, seperti dalam puisi Rumi, agar ia mengkilap, sehingga tampaklah kebaikan-kebaikan yang Allah berikan untuk kita.

Jika itu bermakna maka akan nampaklah rasa lapar, haus dan syahwat berlebihan itu sebagai sesuatu yang buruk. Akan nampaklah ketergesa-gesaan (tidak-sabar) adalah bagian dari upaya setan menjerumuskan kita, dan akan nampaklah bahwa aliran darah dan hati-lah yang direngkuh setan untuk menjerumuskan kita ke jalan kesesatan yang dibenci Allah SWT.

Kita bisa berbeda dalam memaknai puasa sebagai ibadah ‘untuk Allah’ atau ‘untuk kita’. Kembali saya tertarik pada pernyataan Rumi pada lembar lain, ‘jika-pun ibadah kita hanya pada prasangka maka berprasangkalah dengan baik. jika (pun) ibadah kita hanya sampai untuk diri kita sendiri, setidaknya jangan berputus asa dengan rahmat Allah. Bahkan saat kita merasa ibadah kita telah mengantarkan kita pada pencapaian (kesucian hati), tetaplah ingat bahwa Allah adalah keniscayaan itu semua.’[11]

Akhirnya, saya ingin mengajak kita semua untuk menyadari satu hal bahwa andaipun puasa itu untuk Allah SWT, pecayalah sejatinya semua itu untuk diri dan kebaikan kita sendiri sebagai hamba. Adapun ‘untuk-Nya,’ begitulah Allah SWT yang Maha Baik menganugerahkan Kasih dan Sayang-Nya kepada kita. Maka pantaslah segala puji hanya bagi-Nya. Maka nikmat mana lagi yang bisa kita dustakan? Wallahu’alam.

28 Ramadan 1438 H

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.


*Penulis bukan santri, hanya penikmat buku-buku Agama.


[1] Shahih Bukhari : 7/226 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu

[2] Imam al-Ghazâlî, “Ringkasan Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Pusaka Amani – Jakarta hlm.58

[3] I b i d

[4] I b i d

[5] HR. Baihaqi

[6] Imam al-Ghazâlî, op.cit hlm. 59

[7] Tafsir Ibnu Katsir, 1/267

[8] Shahih Bukhari : 7/226 op.cit

[9] Shahih Bukhari 1761 dan Muslim 1946 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu

[10] Imam al-Ghazâlî, op.cit

[11] Jalaluddin Rumi, ‘Fihi Ma Fihi – Mengarungi Samudera Kebijaksanaan” Forum: Jogjakarta, 2016

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button