InspirasiOpini

Uus Muhammad Husaini: Melestarikan Nilai-nilai Ramadhan

Oleh H. Uus M. Husaini, Lc., M.Pd.I
biem.co – Ramadhan adalah bulan yang memiliki daya ubah yang luar biasa. Banyak manusia yang tiba-tiba berubah di bulan Ramadhan. Yang tadinya jarang pegang al-Qur’an berubah menjadi dekat dengan al-Qur’an. Yang tadinya jarang ke masjid menjadi rajin ke masjid. Yang tadinya tidak menutup aurat, tiba-tiba berubah menutup aurat. Yang tadinya tidak sabaran, menjadi lebih sabar dan lebih jujur di bulan Ramadhan.

Acara-acara di televisipun mengalami perubahan yang cukup luar biasa. Nuansa religius begitu terasa pada segmen-segmen acaranya. Yang tadinya tidak banyak menayangkan acara-acara keagamaan, pada saat bulan Ramadhan berubah dan dipenuhi dengan acara-acara keagamaan. Gosip tentang artis berubah kontennya menjadi perbincangan tentang agama atau kehidupan beragama para artis, serta perubahan-perubahan yang lainnya.

Perubahan-perubahan ke arah positif tersebut memang patut kita syukuri. Artinya, sampai titik tertentu, Ramadhan berhasil mengubah manusia. Namun sayangnya, terkadang perubahan tersebut hanya bersifat sementara. Ibarat sebuah bulletin hanya sebatas edisi Ramadhan. Keluar dari Ramadhan, kita kembali kepada kebiasaan semula.

Ini tentu menjadi renungan kita bersama tentang sejauh mana Ramadhan dapat mendidik, melatih dan membentuk manusia. Ibarat bulan pendidikan dan pelatihan yang Allah laksanakan setiap tahunnya, tentunya keberhasilan Ramadhan bukan hanya terletak pada amaliyah Ramadhan yang kita kerjakan dengan baik, tetapi juga yang sangat penting adalah bagaimana menunjukkan adanya peningkatan ketakwaan yang dimulai dari bulan Syawal hingga Ramadhan tahun yang akan datang.

Layaknya sebuah diklat prajabatan sebelum menjadi PNS ataupun training lainnya sebelum menjadi pegawai, tentunya target dari pendidikan dan pelatihan itu bukanlah pada saat diklat, melainkan ketika kita menjadi PNS ataupun pegawai. Sama halnya seperti Ramadhan, target dari puasa satu bulan lamanya di bulan Ramadhan bukanlah untuk satu bulan Ramadhan saja, melainkan untuk sebelas bulan yang akan datang.

Oleh karenanya, jangan sampai kita menjadi ”bunglon” di bulan Ramadhan, yang akan berubah warna ketika hinggap di tempat yang berbeda. Ketika hinggap di daun yang hijau, dia akan berubah menjadi hijau, dan ketika hinggap di ranting yang coklat, iapun akan berubah warna menjadi coklat, dan lain sebagainya. Artinya, jangan sampai perubahan positif yang terjadi pada diri kita di bulan Ramadhan hanya sebatas pada edisi Ramadhan saja, keluar dari Ramadhan kitapun kembali kepada kebiasaan semula, jauh dari masjid, jauh dari al-Qur’an, jauh dari kesabaran, jauh dari nilai-nilai kejujuran, dan jauh dari berbagai nilai positif lainnya.

Puasa sejatinya membentuk kita menjadi manusia yang bertakwa. Namun, kita juga harus ingat bahwa tidak semua orang yang berpuasa kemudian serta merta menjadi orang yang bertakwa. Perlu upaya yang sungguh-sungguh agar kita dapat meraih derajat takwa. Kita tentu tidak ingin amalan ibadah yang kita lakukan menjadi sia-sia sebagaimana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingatkan dalam sebuah haditsnya:

Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, melainkan rasa dahaga saja, dan betapa banyak orang yang melaksanakan qiyam (shalat tarawih), akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari amalnya tersebut melainkan hanya begadang saja.[1]

Oleh karena itu, menjelang akhir bulan Ramadhan ini mari kita sama-sama renungkan, apakah kita termasuk golongan manusia yang diungkapkan dalam hadits tersebut atau tidak. Namun, yang jelas kita semua tentu berharap bahwa kita tidak termasuk golongan manusia yang terdapat dalam hadits tersebut. Sebaliknya kita semua dapat meraih derajat ketakwaan.

Dengan demikian, Idul Fitri yang akan kita temui sebentar lagi sesungguhnya baru langkah awal menuju kemenangan. Kemenangan yang hakiki adalah ketika kita mampu melestarikan nilai-nilai ketakwaan di sebelas bulan yang lain, sampai kita bertemu kembali dengan Ramadhan di tahun yang akan datang.

Ini berarti, setelah Ramadhan kita akhiri, bukan berarti berakhir sudah suasana ketakwaan kepada Allah SWT, akan tetapi justru tugas berat kita untuk membuktikan keberhasilan ibadah Ramadhan itu dengan peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Karenanya bulan sesudah Ramadhan adalah Syawwal yang artinya peningkatan. Di sinilah letak pentingnya melestarikan nilai-nilai Ibadah Ramadhan.

Di akhir tulisan ini marilah kita sama-sama berupaya semaksimal mungkin, agar kita dapat melestarikan nilai-nilai ketakwaan yang kita peroleh selama Ramadhan untuk kita aplikasikan di sebelas bulan yang akan datang, sehingga kita betul-betul memperoleh kemenangan yang hakiki.***


[1] Ali bin Sulthon Muhammad al-Qory, Mirqot al-Mafatih Syarhu Misykat al-Mashobiih, kitab al-shoum, bab tanziih al-shoum, (Daar el-Fikr, 2002 M/1422 H), h. 2014

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : ” كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الظَّمَأُ ، وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ ” . رَوَاهُ الدَّارِمِيُّ وَذَكَرَ حَدِيثَ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ فِي بَابِ سُنَنِ الْوُضُوءِ

Uus Muhammad Husaini, adalah Pengurus Forum Dosen Agama Islam Universitas Serang Raya dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button