InspirasiOpini

Smart City; Latah dan Salah Kaprah

biem.co – Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau upaya ketidaksetujuan terhadap penerapan konsep smart city. Akan tetapi ditujukan untuk mengajak semua elemen masyarakat sedikit memahami konsep smart city seperti apa. Smart city saat ini memang masih menjadi topik seksi untuk diperbincangkan, khususnya di kalangan birokrat.

Indonesia sedang digandrungi implementasi smart city mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Bahkan ketika berbicara konsep smart city, setiap daerah berlomba-lomba memamerkan hasil smart city yang sudah diterapkan di wilayahnya masing-masing. Kepala daerah mulai dari tingkat Gubernur, Bupati maupun Walikota sedang gencar-gencar nya menggaungkan konsep smart city yang dipercaya mampu menangani berbagai permasalahan perkotaan, seperti masalah transportasi, lingkungan, perekonomian dan sebagainya.

Mereka (red : Kepala Daerah) berlomba-lomba mengadakan studi banding dan kunjungan kerja ke kota-kota yang sudah lebih dulu menerapkan smart city, tidak tanggung-tanggung anggaran dana dengan mudah digelontorkan demi ambisi menerapkan smart city di daerahnya.

Seberapa penting smart city itu bagi wilayah kerjanya, tidak lebih menarik ketimbang gaung smart city itu sendiri. Seberapa penting memahami karakteristik masyarakat sebelum menerapkan smart city tidak juga menjadi pembahasan penting oleh setiap pemangku kebijakan ketika akan menerapkan smart city. Bagi mereka, smart city adalah jimat utama, lebih kepada untuk show of bahwa sebagai kepala daerah sudah merasa mampu membawa wilayahnya ke dalam perubahan yang berarti, menjadi kota cerdas.

Pada akhirnya, terjadi mis concept diantara banyak kepala daerah terkait implementasi smart city. Banyak kepala daerah dan masyarakat menganggap bahwa smart city lebih kepada konsep connected, dimana setiap kegiatan, pekerjaan dan hal lainnya dipermudah dengan penggunaan teknologi informasi. Tidak salah memang, akan tetapi ketika berbicara smart city kemudian orang selalu mengkaitkan bahwa teknologi informasi adalah komponen utama, itu yang salah kaprah alias keliru.

Bagaimanapun smart city secara umum memiliki enam komponen penting yaitu, smart governance, smart environment, smart economy, smart living, smart mobility dan smart people. Tidak ada istilah smart technology apalagi smart IT. Perlu dipahami bahwa teknologi informasi hanyalah sebuah enabler yang menghubungkan (connected) antara satu komponen dengan komponen lainnya.

Lalu apakah setiap komponen smart city harus selalu menggunakan teknologi informasi? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Semua tergantung kebutuhan di lapangan dan implementasi komponen smart city yang mana. Sebab tidak mungkin suatu daerah mampu menerapkan ke-enam komponen smart city secara bersamaan.

Harus ada prioritas komponen yang diterapkan dalam rangka menuju smart city. Jika memang setiap komponen smart city kemudian harus terhubung dengan komponen lainnya, maka peran teknologi hanya sebatas sebagai brigde atau connector  antara satu dengan lainnya.

Ada banyak pendapat yang menyatakan tentang komponen mana yang seharusnya diprioritaskan terlebih dahulu ketika akan menerapkan smart city? Sekali lagi jawabannya adalah, untuk kebutuhan apa smart city tersebut? Hal yang paling sederhana adalah melihat kembali rencana pembangunan masing-masing daerah baik yang bersifat jangka pendek, menengah maupun panjang.

Jangan sampai penerapan smart city hanya atas dasar ‘tidak mau tertinggal’ dengan wilayah/kota lainnya sehingga justru terkesan latah dalam mengimplementasikan smart city. Apakah kota lain tersebut memiliki permasalahan yang sama dengan kita? Pertanyaan itu yang harus dijawab terlebih dahulu. Paling penting selanjutnya adalah, banyak kota di Indonesia sibuk menerapkan smart city dengan banyak membangun infrastruktur baru baik dari bangunan, jaringan nirkabel bahkan migrasi pelayanan dari pelayanan satu atap menjadi pelayanan berbasis online, akan tetapi banyak juga dari kota tersebut mengesampingkan komponen smart people (society).

Banyak yang beranggapan bahwa masyarakat akan mengikuti dengan sendirinya perubahan perlayanan dari konvensional ke berbasis online. Betul masyarakat pasti terbiasa, karena menjadi ‘terpaksa’ mengikuti perubahan-perubahan tersebut sebab memang tidak ada pilihan lain.

Sangat penting dalam upaya penerapan smart city di suatu daerah adalah dengan diiringi usaha untuk membangun masyarakat cerdas yang mampu memahami, mengerti, pandai memanfaatkan fasilitas yang disediakan pemerintah dalam rangka mendukung konsep smart city di wilayahnya. Mengedukasi masyarakat menjadi ‘masyarakat cerdas yang dewasa’ dalam menyikapi berbagai perubahan yang diakibatkan implementasi dari smart city itu sendiri adalah point penting yang tidak bisa dilepaskan dalam upaya membangun kota cerdas.

Pembangunan daerah baik dari segi ekonomi, penguatan infrastruktur dan sebagainya yang tidak diiringi oleh upaya untuk membangun masyarakat yang cerdas tentu akan berdampak fatal di kemudian hari. Smart city pada akhirnya hanya sebagai ‘jargon sexy’ yang digunakan untuk kepentingan politik demi membangun citra dimata masyarakat, padahal sebetulnya masyarakat belum membutuhkan smart city. Ujung-ujungnya politisasi pengetahuan demi kepentingan pribadi atau golongan, bukan lagi bertujuan untuk membangun dan menciptakan kota cerdas yang diharapkan.

Latahnya implementasi smart city di berbagai kota, juga terjadi di Provinsi Banten sehingga menjadikan pengampu kebijakan sering salah jalan dalam memahami konsep smart city. Hanya dengan mengandalkan sms gateway kemudian sudah merasa menerapkan smart city, hanya dengan memanfaatkan fitur facebook, twitter dan media sosial lainnya kemudian sudah merasa bahwa smart city telah diimplementasikan.

Pembentukan komite smart city yang terkesan asal-asalan dengan tidak memilih ahli-ahli di bidangnya, menjadikan jargon smart city di beberapa daerah di Provinsi Banten terkesan menjadi ajang untuk mendapatkan proyek-proyek siluman bagi sebagian kelompok tertentu. Bermodalkan perangkat lunak dan dukungan teknologi tertentu, banyak pengampu kebijakan yang tertipu dengan konsep smart city yang ditawarkan. Yang lebih miris adalah, mereka merasa bahwa wilayahnya sudah ber-smart city ria.

Penerapan smart city di suatu wilayah tidaklah gampang. Dibutuhkan diskusi dan kajian panjang dari berbagai aspek dan melibatkan banyak pihak serta pakar-pakar diberbagai bidang, minimal pakar yang mencakup enam komponen smart city. Kebiasaan mengadopsi master plan smart city dari wilayah lain tidak selalu bagus untuk diterapkan. Sebab bagaimanapun Indonesia dianugerai keberagaman bukan hanya pakaian, bahasa dan warna kulit, namun keberagaman budaya, agama, kepercayaan, karakteristik, daya juang dan sebagainya.

Meskipun banyak kota di Indonesia mengaku sudah mengklaim wilayahnya sudah menerapkan smart city, pada kenyataannya Prof. Suhono Supangkat, Guru Besar Institut Teknologi Bandung, pencetus smart city Indonesia menyatakan, bahwa kita baru menuju, belum menerapkan. Bagaimanapun, smart city memang dibutuhkan oleh suatu wilayah saat semakin kompleksnya permasalahan perkotaan yang dihadapi. Namun tentu saja, sangat penting untuk melihat kembali apa yang dibutuhkan kota tesebut dari konsep smart city.


Tb. Ai Munandar

Penulis adalah Doktor Ilmu Komputer dari Universitas Gadjah Mada dan Dosen Teknik Informatika, Universitas Serang Raya dengan fokus riset di bidang komputasi cerdas (computational intelligence), data mining, artificial intelligence dan decision support system, dengan mengkhususkannya pada implementasi bidang riset untuk kebutuhan pengembangan aplikasi dalam rangka mendukung konsep smart city.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi


Artikel Terkait:
Fakhrur Khafidzi: Labirin Negeri Kita
Djoni Gunanto: Mengembalikan Martabat Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Udi Samanhudi: Masa Muda, Masa Depan dan Passion

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button