InspirasiOpini

Usni Hasanudin: Absorpsi atau Adsorpsi: Sebuah Catatan Suara Umat Islam untuk 2019

Oleh Usni Hasanudin

Sekali lagi saya ingin mengulas uraian politik dengan menggunakan istilah dari ilmu eksak. Bukan karena dipengaruhi fenomena “kartu kuning” Ketua BEM UI (berasal dari Fakultas MIPA) beberapa waktu lalu yang ditunjukkan untuk Presiden Jokowi. Tetapi memang sebelumnya saya sudah meminjam istilah dari ilmu matematika yaitu fraktal. Untuk ulasan kali saya ingin meminjam istilah dari ilmu biologi yaitu absorpsi dan adsorpsi. Istilah yang hanya dibedakan dengan “b” dan “d”, namun secara definisi baik absorpsi maupun adsorpsi memiliki kesamaan yaitu proses penyerapan partikel atau energi. Absorpsi penyerapan pada bagian dalam sedangkan adsorpsi hanya pada permukaan.

Ini jugalah yang membedakan dua pendekatan antara marketing politik dan monografi politik. Marketing lebih pada permukaan, sedangkan monografi lebih menitikberatkan pada dinamisasi pergerakan energi yang terjadi di tengah masyarakat. Sama-sama melihat pergerakan dan penyerapan dari interaksi sosial politik di dalam masyarakat. Marketing lebih pada menggeser perilaku, monografi lebih pada ke mana energi legitimasi itu bergerak.

Dua komponen di atas sangat menentukan keterpilihan seorang calon di dalam sistem pemilihan secara langsung. Inilah hasil dari absorpsi dan adsorpsi, ini pula perlunya marketing dan monografi politik. Legitimasi keterpilihan seorang pasangan Presiden dan Wapres bergantung pada isu di masyarakat. Isu kesejahteraan tidaklah terlalu mempengaruhi karena antara realitas dan cita-cita kadang tidak sejalan.

Manakala kita bicara legitimasi keterpilihan, di situlah kita sedang berupaya untuk meraih dukungan umat Islam. Hal ini bukan tanpa alasan, karena secara kuantitas masih menjadi energi yang dapat diserap dalam bentuk dukungan. Sebagai energi terbesar di negeri ini, sepanjang sejarah politik Islam Indonesia merupakan partikel yang dapat berfungsi sebagai pemberi legitimasi sekaligus pendukung program pemerintah atau  perlawanan yang dapat menurunkan jalannya suatu rezim. Untuk itulah diperlukan daya penyerapan yang tidak selalu terbuai di atas permukaan atau adsorpsi, namun lebih dari itu harus melihat bagaimana penyerapan secara absorpsi.

Arah politik umat Islam yang terus terbangun kesadaran politiknya yang diiringi dengan perubahan paradigma dalam gerakannya menjadi kimiawi politik baru bagi umat Islam. Spirit ukhuwah yang terbangun akan menjadi persoalan tersendiri bagi siapapun yang akan bertarung di tahun 2019. Absorpsi ketika Pilkada 2017 meskipun belum bisa dijadikan ukuran utama, akan tetapi dapat digunakan sebagai warning bagi siapapun yang akan menjadi calon, bahwa suara umat Islam sangatlah menentukan.

Yang menarik, dari hasil survei yang dilakukan oleh LSI, peluang petahana belum sepenuhnya aman meskipun menunjukkan angka yang mengungguli kandidat lain. Untuk itulah bagi petahana jangan selalu terbuai dengan dukungan yang sifatnya adsorpsi, hanya sebatas dukungan level permukaan namun jauh dari absorpsi. Ini akan sangat merugikan, dan akan dimanfaatkan oleh kandidat lain sebagai energi utama mengalahkan petahana.

Indikasi ke arah itu sudah sangat terlihat, pertama ketergantungan partai-partai politik pada hasil Pilkada 2018, ketergantungan ini sangatlah keliru. Secara sistem, partai politik hanyalah mengusung atau mendukung, kalaupun ada partai politik yang mengusung kader partainya sendiri itu pun harus dengan partai lainnya. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang merujuk pada hasil Pemilu 2019 hanya sedikit partai yang bisa mencalonkan tanpa harus berkoalisi.

Kalaupun dapat memenangi setiap pemilihan kepala daerah, netralitas seorang kepala daerah haruslah terjaga. Siapa pun itu, posisi kepala daerah sangat berbeda dengan partai politik. Kepala daerah tidak mungkin memobilisasi suara umat Islam. Karena antara pemilihan kepala daerah dan Presiden tidaklah linear keterpilihannya bagi umat Islam.

Kedua memilih partai untuk mengusung. Bukan saja bagi petahana, untuk kandidat lain juga harus memperhatikan kemampuan partai politik dalam hal absorpsi di tengah umat Islam. Label Islam maupun partai berbasis massa Islam saat ini hanya sebatas adsorpsi. Pengalaman Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 ini seyogianya bagi para kandidat lebih memperhatikan absorpsi umat Islam ketimbang adsorpsi yang bersifat formal di permukaan, akan tetapi kosong secara basis umat Islam. Waallahualam.


Usni Hasanudin, adalah Direktur Lab Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button