Oleh Ade Ubaidil
biem.co — Ciri paling mendasar bahwa seseorang sudah tua adalah ketika ia mengingat-ingat masa lalunya. Masa kejayaannya selama ia hidup di dunia ini. Barangkali, itulah cara ia agar, paling tidak, merasa bisa hidup lebih lama. Sebab ia mulai ditunjukkan batas-batas masa depannya lewat suara batuk yang kelewat sering, kepala gampang pening, minus mata bertambah, rekreasi penyakit dalam tubuh dan anggota badan yang lambat ketika bergerak.
Seno Gumira Ajidarma (SGA) melalui bukunya, Kentut Kosmopolitan (Koekoesan, 2008) berhasil menangkap fenomena tersebut. Di salah satu esainya berjudul, “Menjadi Tua di Jakarta” (hal. 39) berbicara mengenai kehidupan orang-orang yang hidup di kota metropolitan.
Manusia seolah dihidupkan hanya untuk bekerja. Melangkahkan kaki, mengendarai sepeda motor atau mobil dengan tergesa-gesa. Tidak ada waktu untuk memandang sekitar, berinteraksi dengan orang-orang yang ditemui, atau bahkan sekadar menghirup udara segar. Saking sibuknya ia sampai tak sadar kalau usia terus bertambah, keriput di wajah semakin kentara dan bagai menyaksikan sebuah penampilan sulap, ia dibuat takjub karena telah menjelma menjadi seorang tua.
April nanti usia saya genap 25 tahun. Angka yang tepat untuk melangsungkan pernikahan, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Tempo hari saya menghadiri pernikahan seorang teman di masa sekolah dulu. Ia bukan yang pertama. Di lingkaran pertemanan seusia saya, hampir setengahnya dari jumlah bangku di kelas dulu sudah menikah.
Ketika bertemu dengan mereka, sebab waktu berkumpul terbaik dan paling kumplit adalah saat menghadiri acara pernikahan teman, saya dengan sedikit ragu berkata, “ternyata kita sudah tua”. Hampir semua dari mereka tergelak, kecuali seseorang dalam diri saya. Ia menolak menjadi tua. Banyak hal yang masih ingin ia kerjakan. Menjadi tua, di pikirannya, adalah menjadi seseorang yang tidak bisa lagi melakukan banyak hal sesuka hati. Terlampau banyak aturan dan ada sesuatu yang harus dipertimbangkan sebelum dikerjakan.
Menjadi tua adalah ketika kebebasanmu sama artinya dengan ketiadaan. Isi kepala pun akan berganti; bukan lagi soal jalan-jalan, bersenang-senang dengan sahabat, melakukan apa yang disukai, vokal menanggapi isu sosial, belaga idealis, pulang larut malam atau seminggu kemudian dan melakukan banyak kenakalan lainnya. Kepalamu, ketika tua nanti hanya akan berisi; kenangan indah masa muda, memenuhi keperluan rumah tangga, biaya sekolah anak, investasi hari tua, menimbun harta dan sebagainya dan sebagainya. Kebebasanmu tercerabut bahkan sejak dalam pikiran. Prioritas utama adalah keluarga dan bukan lagi menghibur diri sendiri.
Kebebasan masa muda dan masa tuamu adalah dua hal yang memiliki makna yang berbeda. Ketika kamu bisa makan daging kambing dan durian dalam waktu yang bersamaan, di masa tua itu adalah kebebasan. Lain hal dengan mengembala kambing lalu bersembunyi di semak-semak dan melempari pohon durian di ladang orang lain dengan batu-batu. Paling tidak, saya berani menyampaikan suara seseorang dalam diri saya ini. Betapa keras kepalanya ia ketika menolak menjadi tua.
Di usia muda, ketika kamu bekerja pada orang lain dan kamu merasa tidak cocok keesokan harinya, kamu bisa mengundurkan diri saat itu juga. Tiada hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Ya, untuk setuju. Tidak, untuk menolak. Gejolak darah mudamu masih sangat dominan meski lebih sering lepas kontrol. Sedangkan ketika kamu beranjak tua, ketika hidupmu bukan lagi hanya untuk dirimu, percayalah, arti sebenarnya dari ya dan tidak akan kabur dalam benakmu.
Suka atau tidak dengan pekerjaan, hati dan pikiranmu akan berusaha untuk membuat kepalamu mengangguk, tanpa memberikan opsi lain. Dan bisa jadi kamu merasa itulah pilihan yang bijaksana. Padahal, kamu melakukan sesuatu bukan lagi dilandasi atas dasar dedikasi dan etos kerja. Di dalam tempurung kepalamu hanya ada uang, naik jabatan, menjilat atasan, menjadi kaya raya dan mati masuk surga. Kamu akan melakukan itu semua sebelum masa pensiun tiba!
SGA melihat ada dua tipe orang ketika menghadapi masa pensiun: pertama, mereka yang takut masa pensiun datang lebih awal, bahkan pensiun adalah momok yang mereka anggap bahwa segalanya sudah selesai. Kedua, orang-orang yang meminta pensiun lebih cepat, karena sadar betapa waktu hidup ini sangat terbatas untuk menyelesaikan sesuatu yang betul-betul dikehendakinya, sehingga ia merasa harus pensiun sekarang juga agar bisa segera benar-benar bekerja.
Jadi, masih menurut SGA, kita sudah melihat tiga kemungkinan: (1) masa tua sebagai masa hidup baru yang menggairahkan, dan ini tentu menyenangkan; (2) masa tua sebagai masa menjelang kematian saja, dan meskipun orangnya pasrah ini sangat menyebalkan; (3) masa tua yang sebenarnya masih potensial, tapi tidak mendapat jalan keluar, dan inilah yang bikin frustasi, karena tiada ruang produktif bagi orang tua dalam masyarakat Indonesia, kecuali bisa menjadi musisi dan legenda hidup seperti Iwan Fals.
Di Jepang, seni origami, seni melipat kertas menjadi bentuk-bentuk burung, katak, kura-kura dan banyak lagi adalah seni untuk manula—bukan untuk balita. Dengan kata lain orang tua dengan segala kapasitasnya tetap dipandang sebagai makhluk produktif, dan karya origami dihargai dengan penuh kasih atas sesama, sama seperti menghormati orang tua.
Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan—andai kau berumur panjang. Cepat atau lambat masa itu akan tiba. Menggantungkan segala kebutuhan dan keperluan pada mereka yang lebih muda barangkali bisa diminimalisir bila kita nanti bisa berkata, “cukup, biarkan saya melakukannya sendiri.”—dan di sanalah letak kebijaksaan yang sesungguhnya sebagai orang tua telah dimulai.
Sering kita temui, di perusahaan-perusahaan banyak pelamar yang didominasi usia muda (fresh graduation). Itu bukan lantaran orang tua tidak mau bekerja, tetapi memang aturannya yang membatasi mereka. Banyak pula kita dapati, bahkan mungkin kita sendiri, memperlakukan orang tua yang masih sehat sebagai barang antik, dipelihara dan diberi makan, tetapi tidak dibiarkan bekerja.
Sementara orang tua sendiri, tulis SGA, mesti tidak merasa enak, tidak juga merasa bersalah dengan penganggurannya—karena sudah terbentuk pendapatnya, bahwa menjadi tua hanya berarti siap untuk meninggalkan dunia.
Kita tidak tahu andaikata ada orang yang beranjak tua masih bersikeras ingin mengejar cita-citanya, tetapi ruang dan waktunya kita batasi. Bila masa mudanya sudah terkekang oleh rutinitas pekerjaan, siapa tahu ia ada upaya di usia tua nanti, ketika masa pensiun tiba ingin melakukan sesuatu sesuai keinginannya.
Jangan sampai seperti kata SGA, alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
Cilegon, 22 Januari 2018
Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon, Banten. Kelahiran Cibeber, 02 April 1993. Terpilih sebagai salah satu penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017. Buku terbarunya berjudul, Surat yang Berbicara tentang Masa Lalu (Basabasi, 2017).
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.