biem.co — Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 membengkak pada akhir Juli 2018 dibandingkan bulan sebelumnya. Defisit tercatat mencapai Rp151,3 triliun atau setara 1,02 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari bulan sebelumnya yang hanya sekitar 0,75 persen dari PDB.
Menteri KeuanganSri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit melebar karena besar pasak daripada tiang. Dalam artian, belanja negara lebih besar ketimbang penerimaan negara. Meski begitu, ia mengklaim defisit ini tetap lebih baik dari periode yang sama pada 2016 dan 2017. Tercatat, masing-masing defisit pada tahun itu sebesar 1,82 persen dan 1,55 persen dari PDB.
Seperti dilansir dari CNN Indonesia, defisit terjadi karena belanja negara mencapai Rp1.145,7 triliun atau 51,6 persen dari target APBN sebesar Rp2.220,7 triliun. Realisasi belanja tumbuh 7,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengatakan, belanja itu berasal dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp697 triliun atau 47,9 persen dari target Rp1.454,5 triliun dan tumbuh 15,3 persen (yoy). Belanja pemerintah pusat terbagi atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp375,9 triliun dan belanja non-K/L Rp321,1 triliun.
Berdasarkan jenisnya, belanja K/L terbesar untuk belanja barang mencapai Rp132,9 triliun. Diikuti belanja pegawai sebesar Rp132,7 triliun, belanja modal Rp54,1 triliun, dan belanja bantuan sosial Rp56,2 triliun.
Berdasarkan realisasi per kementerian, belanja terbesar dilakukan Kementerian Pertahanan mencapai Rp49,46 triliun. Lalu mengekor, Kepolisian Republik Indonesia (PolrI) Rp45,37 triliun, Kementerian Kesehatan Rp38,93 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rp37,54 triliun, dan lainnya.
“Secara keseluruhan, realisasi belanja meningkat karena kami melakukannya lebih cepat agar lebih efektif,” kata Askolani.
Sementara belanja non-K/L terbesar berasal dari pembayaran bunga utang yang mencapai Rp146,4 triliun. Diikuti pembayaran subsidi energi dan nonenergi mencapai Rp91,3 triliun dan belanja lain-lain Rp1,9 triliun.
“Peningkatan pembayaran bunga utang terjadi karena pelemahan rupiah saat ini. Sedangkan peningkatan subsidi karena kami melunasi kewajiban pembayaran sampai Juli lalu,” terangnya.
Lalu, belanja juga berasal dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang mencapai Rp448,6 triliun atau 58,6 persen dari target Rp766,2 triliun. Kendati realisasi TKDD sudah cukup besar, namun pertumbuhannya justru terkontraksi minus 2,3 persen dibandingkan tahun lalu. TKDD berasal dari transfer ke daerah sebesar Rp412,8 triliun dan dana desa Rp35,9 triliun.
Direktur Jenderal Perimbangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan realisasi TKDD justru terkontraksi karena menurunnya penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. Hal ini karena pemerintah menerpakan mekanisme baru pada penyaluran DAK Fisik dari semula sebesar 30 persen pada tahap satu, kini menjadi 25 persen dari kontrak yang digarap.
“Meski begitu, tapi jumlah kontrak yang sudah dibuat cukup baik, sudah mencapai 93 persen, jadi tinggal penyalurannya saja. Mudah-mudahan bisa lebih cepat,” jelasnya. (IY)