Opini

Teguh Fachmi: Masa Depan Guru di Era Digital, Akankah Tergantikan oleh Mesin?

Oleh Teguh Fachmi

biem.co – Sebuah kenyataan bahwa saat ini terdapat banyak sekali sumber informasi yang bisa dengan mudah diakses oleh siapapun. Dahulu sumber informasi itu berasal dari guru dan tumpukan buku lusuh di perpustakaan, namun dewasa ini guru dan buku-buku di perpustakaan bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Hal ini berdampak pada proses kegiatan belajar dan pembelajaran di sekolah. Sebagai pembelajar, siswa masa kini adalah orang yang paling melek teknologi informasi, kemampuan literasi digitalnya tidak dapat diragukan lagi, karena mereka dilahirkan pada masa dimana teknologi sudah mapan terbentuk (established) tumbuh diasuh oleh gadget sejak balita, dan berkembang bersamaan dengan pesatnya gelombang inovasi teknologi informasi. Jika boleh meminjam istilah kelakar seorang kawan bahwa “bayi saat ini dilahirkan melalui proses download, diasuh oleh media sosial, dan bertumbuh kembang bersama hoax.”, sekedar satire saja.

Keadaan di atas menjadi hal yang paradoksal jika dibandingkan dengan kondisi para guru. Dewasa ini sebagian guru kita masih ada yang berasal dari generasi baby boomers lahir pada rentan tahun 1946-1960, generasi ini lahir dan tumbuh di zaman belum modern, dimana teknnologi belum berkembang mapan, menyebabkan generasi ini cenderung gaptek. Sebagian besar guru kita juga berasal dari generasi X lahir pada rentan tahun 1961-1980 yang sudah memiliki keterbukaan dalam berpikir dan sebagian  generasi Y lahir pada tahun 1981-1994 yang cenderung open and digital  minded, juga sebagian kecil berasal dari generasi Z lahir pada rentan tahun 1995-an millenials. Jumlah komposisi guru yang berasal dari lintas generasi ini menjadi menarik untuk dikaji. Sebagai upaya untuk mengetahui seberapa siapkah mereka menghadapi perubahan dalam dunia pendidikan di era digital.

Industri 4.0 mendorong dunia pendidikan melakukan perubahan (shifting). Digitalisasi pendidikan menjadi sebuah keniscayaan mutlak. Bagi institusi penyelenggara pendidikan yang bisa cepat beradaptasi dengan perubahan, selalu berinovasi, dan mengedapankan nilai efektif-efisien, maka mereka akan bertahan (survive), jika tidak maka lambat laun akan terdisrup atau tergilas oleh zaman. Iklim dunia saat ini hanya akan cocok bagi mereka the quickest one atau mereka yang tercepat dalam beradaptasi dengan perubahan, jika tidak cepat maka akan tersingkirkan.

Digitaliasasi pada sektor pendidikan memicu terciptanya kecerdasan buatan (artificial intelligent) yang bisa sangat dengan cepat menjawab dan menyediakan sumber informasi bagi siswa, teknologi ini menjadi sangat memungkinkan karena didukung oleh sistem cognitive computing, sebuah platform komputasi yang dapat berfikir secara realtime layaknya manusia. Fenomena semacam ini belum bisa dipahami sepenuhnya oleh guru-guru kita, kebanyakan guru-guru masih menggunakan metode lama dalam mengajar, dengan pemanfaatan teknologi informasi yang belum optimal, padahal saat ini sudah banyak tersedia MOOC Massive Open online Course kursus pembelajaran terbuka daring, atau pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang bisa dengan bebas diakses oleh siapapun, dimanapun, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Belum lagi bermunculannya lembaga kursus yang menawarkan sistem siberfisikal, dimana sistem ini dapat membuat salinan bentuk fisik secara virtual, ini memungkinkan seseorang bisa bekerjasama/belajar bersama melalui jarak jauh tanpa bertatapan langsung. Selain mudah diakses, cepat, simpel, menarik dan yang terpenting dapat dijangkau dengan harga murah, sebagai contoh hadirnya produk lembaga belajar daring Ruangguru, atau Quipper hanya dengan harga sekitaran dua ratus ribu-an saja siswa bisa mendapatkan video tutorial dan materi pembelajaran dalam satu semester dengan layanan konsultasi penuh jarak jauh. Fenomena ini membawa kita pada sebuah pertanyaan “bagaimanakah eksistensi guru di masa depan, akankah tergantikan oleh mesin?”.

 

Guru vs Mesin

Kendati demikian, maraknya digitalisasi di bidang pendidikan dengan pemanfaatan teknologi internet untuk segala (Internet of Thing), penggunaan sistem siberfisikal, dan pemaksimalan robot kecerdasan buatan (artificial intelligent) seyogyanya tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru sebagai pendidik dan pengajar. Ada hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh mesin, karena hanya guru sajalah yang dapat melakukannya. Mesin mungkin bisa saja menjadi sumber informasi yang komplit, namun proses transfer nilai-nilai kebaikan, nilai moral, nilai etik, pembentukan karakter, dan perlakuan mendidik dengan penuh kasih yang humanis tak akan pernah bisa dilakukan mesin. Guru bukan hanya mengajar namun juga mendidik. Oleh sebab itu harus ada perubahan paradigma pedagogik dalam strategi mengajar oleh guru di era digital dewasa ini. Guru tidak bisa mengajar dengan metode yang diajarkan untuk anak-anak era 70 atau 80-an, dewasa ini guru akan didorong untuk berperan sebagai kolaborator dan fasilator ketimbang menjadi sumber informasi/pengetahuan.

Proses kegiatan belajar sebaiknya diubah menjadi flip atau terbalik, dimana guru tidak mesti menjadi satu-satunya sumber informasi/pengetahuan, akan tetapi guru diplot agar menjadi konduktor, kolaborator, dan fasilitator. Guru dianjurkan untuk melakukan flip teaching method memberi instruksi terlebih dahulu kepada siswa agar mengumpulkan banyak informasi mengenai materi tertentu yang akan dibahas, untuk kemudian guru yang akan mengkolaborasikan, dan menyimpulkannya bersama dengan murid. Dengan cara seperti ini siswa akan berperan sebagai penghimpun informasi, dan didorong untuk dapat memanfaatkan segala bentuk teknologi informasi dalam proses pencariannya, baik sumber digital ataupun non digital. Metode mengajar demikian sering disebut dengan “flip teaching method” metode mengajar terbalik.

 

Arah baru pendidikan di era digital 4.0

Kapitalisasi market bidang pendidikan dengan pendekatan 4.0 sudah banyak kita jumpai. Hal ini kemudian menjadi sebuah tantangan bagi penyelenggara pendidikan baik negeri, atau swasta. Lembaga penyelenggara pendidikan selain dituntut untuk sesegera mungkin merubah paradigma dalam mengajar, pun juga diharapkan dapat memaksimalkan nilai-nilai humanisme dalam mengajar. Mengapa demikian, fenomena di era industri 4.0 ini kebanyakan orang terlena oleh kecanggihan teknologi. Ada sebuah kecendrungan jika seseorang menggunakan teknologi seolah-olah sudah merasa paling canggih dan keren, padahal teknologi esensinya hanyalah sebuah alat (tools) bukan segalanya, sedangkan kualitas pembelajaran dalam kelas, dan proses interaksi guru dan murid di kelas itu merupakan substansi daripada pendidikan. Kunci dari arah baru pendidikan di era revolusi industri 4.0 adalah terletak pada guru. Guru harus memiliki keterbukaan cara pandang, kemauan berubah, kecintaan terhadap pedidikan dan memiliki hasrat keinginan untuk terus belajar.

Selamat Hari Guru Nasional 2019, untuk guru-guru ku dimanapun engkau berada, salam takdzim dari ku semoga engkau selalu dikaruniai kesehatan, keselamatan, dan keberkahan dalam hidup. Guru suluh peradaban. (red)

Tentang Penulis

Teguh Fachmi, merupakan Dosen Ilmu Psikologi Pendidikan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button