Oleh Asep Syahril Fajri
Riwayat
Ajari aku mencintai senja. Sebab malam nanti kita akan bersama dalam rumah yang masih gelap, dan kita pun coba nyalakan lilin yang berikan setitik cahaya di hati masing-masing. Yakinlah, di fajar nanti embun akan membelai lembut bunga-bunga yang kita tanam pada taman luas. Walau tak lama setelahnya matahari berapi-api, berpijar ganas membekas di jidat hari. Saat kita menapaki tanah-tanah retak untuk tinggalkan taman bunga milik kita. Dan pastikan saja hari esok kita akan dapat menggurui senja. Ketika langit merona kelabu, hilangkan jingga ditelan awan mendung. Dan pada malam itulah kita bersama coba menulis cerita pada indah sinar purnama yang menjalar di hati kita.
Tentang Masalalu
Siang-malam kami hapus bayang-bayang di antara arloji yang berdetak dan tergantung di dinding waktu. Tak lupa kami eja tanggal-tanggal di lipatan almanak tahun purba. Kami pun lihat burung-burung terbang ke belakang, kala ringkihnya samar bertalu di genderang telinga. Dan matahari telah keringkan lembar-lembar kenangan yang tadi kami jemur karena dibasahi oleh airmata.
Namun tak sesayup juga nyanyian masa kecil hadir sebagai pendengaran hantar rasa lelah setelah kami menapaki ratusan atau bahkan ribuan anak tangga di gedung yang mendongak ke atas untuk menjaring bintang-bintang di semesta. Seusai sampai di ketinggian kami hendak membatik azura sebagai hiasan masadepan dengan usaha, doa, serta harapan yang disatukan pada sebuah tempat bernama keyakinan.
Dan saat ini masih wajah kami hadapkan ke depan dengan sesekali menoleh ke belakang menatap cagak memori jingga, yang pernah hadir bersama langkah-langkah turangga.
Pada Nyanyian Musim
Satu matahari berpijar di nurani
Desah bayu mengitari delapan penjuru
Pada nyanyian musim yang akan datang
Dedaun gugur dari dahan lapuk
Di ujung kemarau menyenggamai siang
Kala kaki-kaki hujan berlarian
Berkelakar hampiri lapang basah
Dan tunas muda pun bermunculan
Gantikan cerita kemarin hari
Dari tanah ke tanah kodrat sang waktu berjalan
Manusia datang dan pergi
Isi cerita dalam dunia fana
Mengingat Waktu Kematian
Setelah anak panah lesat jauh di ketinggian; kami namai roda yang masih berputar ini dengan teka-teki. Sebelum kendaraan benar-benar berhenti lalu engkau bertanya pada diamnya sangsi. Pernah juga di suatu jalan kita kenang guguran daun-daun,saat cahaya dari lampu merkuri tiba-tiba redup begitu saja. Dan mungkin juga engkau lihat bayang-bayangmu sendiri seakan sedang tertawa karena arloji yang engkau kenakan pada salah satu lenganmu berhenti berdetak karena mungkin baterai sudah habis atau barang tersebut rusak. Entahlah?.
Aku Hanya Ingin Menjadi Batu di Dasar Kali
_ _ _ Dan kumasih diam dalam semedi
: Pun sama dengan kemarin
Aku hanya ingin menjadi batu di dasar kali
Saat riak menggerayangi laju sampan
Sebab kabut menghitam pucat
Jua reranting mengering, gugurkan daun tua
Tanggalkan persinggahan capung termenung
Pada hymne lolong menyeringai
Di tepi rimbun hutan perdu
Toh tak kurasa parau yang nganga
Sebab aku hanya sekeping batu
Di dasar kali coklat pekat
Riak pun tak mampu mencabik tubuhku
Kala sampan terbalik olehnya
Soneta di Pemakaman
Orang-orang sibuk menggali lubang
Sebagai pekuburan kenangan nanti
Sementara aku-engkau masih larut dibawa senja
Setelah tadi kita lantang mentertawakan waktu
Dan tangis kian deras cucurnya
Kala kehilangan singgah di dada
Kami pun dengar requiem di tanah basah
Iringi serdadu menuju taman kamboja
Hingga masa menghisab usia
Kitakah yang larut dalam lupa
Pada-Nya Yang Maha Ada
Tanam saja seberkas cahaya
Di sepetak tanah perenungan
Sebelum pintu taman bebar-benar tertutup