Cerpen

Cerpen Pensil Kajoe: Jas Merah Milik Bapak

biem.co — Foto bapak dipajang di samping foto Bung Karno. Waktu aku masih kecil sering menebak-nebak kalau bapak dulu pernah jadi wakil dari seorang presiden pertama republik ini, sekaligus sang proklamator.

Keduanya tampak gagah dan berwibawa. Aku yakin semasa hidupnya, bapak bukan orang sembarangan. Aku sungguh beruntung punya bapak seorang pejuang .

Kata ibuku, aku lahir usai suara desing peluru. Zaman sudah cukup aman dari suara-suara dentuman bom, meriam dan pesawat capung yang bersliweran di atas atap rumah-rumah penduduk.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

“Beruntung, Kau Nak. Tak seperti kakak-kakakmu yang lain. Saat ibu melahirkan kakak-kakakmu, ibu dicekam rasa ketakutan yang paling hebat. Betapa tidak, saat kakakmu yang pertama lahir, rumah ini sudah dikepung oleh gerombolan pengacau. Salah satu dari mereka ada yang menodongkan senapan di perut ibu.” Mendengar cerita ibu, bulu kudukku merinding, membayangkan betapa ngeri situasi pada waktu itu.

“Lalu, di mana bapak saat itu, Bu? Kenapa bapak tak menemani Ibu?”

“Bapakmu, bersembunyi di suatu tempat, Nak. Karena tujuan orang-orang itu adalah untuk membunuh bapakmu.” Ucapan Ibu membuatku semakin penasaran, keingintahuanku tak dapat kusimpan.

“Kenapa bapak harus dibunuh? Apa salah bapak?”

“Bapakmu dianggap berbahaya oleh kelompok pengacau itu. Untunglah bapakmu selamat, keesokan paginya dia baru pulang dengan wajah dan tubuhnya pucat serta basah kuyup.”

“Kenapa?”

“Ternyata bapakmu semalaman bersembunyi di bawah jembatan sana,” jawab Ibu sambil menunjuk ke arah rel kereta api.

Nisan bapak tampak rimbun dan hampir tak terlihat. Aku merasa berdosa sebab telah lama tak menziarahi makam beliau. Paling setahun sekali, saat hari raya tiba.

“Anak macam apa aku   ini,” batinku memaki,

Nisan yang berlapis keramik itu hampir separuhnya tertutup lumut dan rerumputan. Dengan kedua tanganku, kucabuti rumput-rumput liar itu.

Sosok seorang bapak yang selama ini hanya bisa kulihat lewat foto. Bapak pergi ke hadiratNya saat usiaku masih lima bulan. Aku tahu cerita tentang beliau dari cerita ibu dan kakak-kakakku lainnya. Mereka lebih lama merasakan kasih sayang bapak dan melihat dengan mata kepala mereka, bahwa bapak adalah seorang pahlawan tidak saja bagi negara, tetapi pahlawan untuk keluarganya.

Bapak ikut turun ke medan pertempuran bahkan beberapa kali bertemu dengan Bung Karno. Itulah sebabnya, foto beliau dipajang di sebelah foto sang Proklamator.

“Ini coba lihat, foto bapakmu saat masih muda. Bapakmu sedang duduk di sebuah warung bersama Bung Karno,” ujar Ibu menunjukan album foto kuno, kala itu masih hitam putih belum full color seperti sekarang.

Dari foto itu aku yakin, bapakku pribadi yang hebat, meski tak sempat kudengar suara dan wajah dalam fotonya menjadi pengobat kerinduan padanya.

Beberapa buku koleksi bapak menjadi penghias lemari kaca. Ada satu buku yang membuatku ingin membacanya, tentang pidato terakhir Sang Proklamator. Kuresapi dalam-dalam tiap kalimat dalam buku itu.

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, atau yang lebih dikenal dengan Jas Merah didengungkan Bung Karno dalam orasinya di depan rakyat pada masa itu. Berkali-kali beliau mengajak agar bangsa tak melupakan peristiwa yang terjadi, baik di negerinya maupun dalam kehidupannya.

Sebuah amplop kecil berwarna cokelat terjatuh dari dalam buku, “Untuk Taufan Anakku.” Ada namaku tertulis di situ. Perlahan kubuka amplopnya,

“Surat dari bapak?” tanyaku dalam hati.

Surat tertanggal 25 Maret 1990, kurang lebih dua bulan sebelum beliau meninggal. Seperti firasat bahwa bapak akan pergi meninggalkan keluarga, beliau menulis surat pendek untukku.

Pesan terakhir bapak sebelum beliau mengalami kecelakaan waktu itu, di dalam suratnya beliau menulis

Nak, pakailah jas merah bapak . Tanyakan pada ibumu di mana bapak menyimpannya. Karena Jas merah itu sangat cocok untuk kau pakai, jangan sampai tidak.”

Tulisannya tegas, meski singkat namun sarat makna yang cukup membuatku mengernyitkan dahi.

Selama ini ibu tak pernah bercerita tentang jas merah milik bapak, begitu juga dengan kakak-kakakku lainnya; mereka tak pernah menceritakan tentang jas merah bapak. Lalu, kenapa hanya aku yang diamanati untuk memakai jas itu, bukan anak bapak lainnya. Mungkin karena ukuran jasnya pas dengan badanku yang tak terlalu gemuk.

“Bu, di mana Ibu simpan jas merah bapak?”

Mendengar pertanyaanku ibu terlihat seperti orang bingung. Ibu seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.

“Setahu ibu, bapakmu tak pernah memakai jas merah. Kenapa kau tetiba menanyakan hal itu, Fan?”

“Pesan yang ditulis bapak, Bu,” jawabku seraya menunjukan surat dari bapak.

Raut wajah ibu bertambah heran saat menerima surat dariku.

“Dari mana surat ini?”

“Dari dalam buku ini, Bu,” jawabku.

Ternyata selama ini bapak tak pernah cerita pada sesiapapun tentang surat yang ditulisnya, termasuk jas merah untuk kukenakan.

Aku coba menghubungkan pesan tersirat dalam surat bapak dengan buku tentang pidato Bung Karno, senada.  Ada benang merah di keduanya.

Nisan bapak jauh lebih bersih dari sebelumnya, tak ada lagi rumput-rumput atau lumut yang menempel di batu nisan.

“Bapak, jas merahmu akan tetap kupakai sampai kapanpun. Sebab jika aku tak memakainya aku benar-benar tak tahu diri. Tak sadar dari siapa kuberasal dan bertumbuh. Sebab dalam tubuhku mengalir darahmu.

Tumiyang-Pekuncen, 23 Oktober 2019


PENSIL KAJOE, lahir dan besar di Banyumas. Cerpen dan puisinya sudah banyak dimuat di koran di Indonesia. Membukukan 16 Antologi tunggal baik cerpen dan puis., 20 antologi bersama. Saat ini menjadi penulis rubrik Banyumasan di majalah berbahasa Jawa di Yogyakarta

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button