Puisi

Sajak-sajak Agung Wicaksana

Liturgi Natal Hibakusha

Kyushu, aku melihat langit
berangsur karam. Asteroid
hunjam sebagai tukik segumpal atom
menjunam dinosaurus
racau tanah kami
tiga majus memerciki
air suci, dahak para ibu
cacing-cacing mencerup
usus anak-anak
semacam api dalam sekam
membagi-bagi demam

malam natal wangi pohonan surga
jalan-jalan Kyushu harum kembang
rumah duka. Ungu mata ibu-ibu
Hiroshima, pipi selicin batu
sungai Ota. Jasad-jasad mencari darah mereka
pelabuhan Ujina tak lebih dari kultus
larung siapa saja memilih nyawa

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

di tempat ini, bayi-bayi mirip
pohon natal beserta hiasannya
kepala macam kuning kilap bola
tangan kaki setebal kaus kaki santa
jari-jari ranting cemara

malam natal wangi pohonan surga
jalan-jalan Kyushu harum kembang rumah duka.
gelisah para papa menunggu santa tiba
mengepal jemari mereka menuju tugu peringatan
mengetam hitam rahim Maria

malam kudus, pepat api pada pucuk cemara-cemara
lahir bayi-bayi luka dari temaram harapan
sembuhlah kami, Bapa

2019

 

 

The Boulevard of Broken Dreams__Tony Bennett

Lagu-lagu murung
sebongkah salju meniban kepala
rusa Caledonia. Darah betina, reput daging
merah muda. Strawberry sorbet
melumuri bayonet, Tony Bennett muncul
Aku si badut imut, memainkan bola, mengubah
merpati jadi kelinci, setangkai mawar jadi konfeti

Separau rintih Indian
deras hujan mengaveling tanah moyang
tak satupun keledai mencatat riwayat
Martin Luther King, cilukba!
bagaimana kau bisa sembunyi dariku
bila kerumun kumismu kelewat mengkilap
disorot lampu kereta ekspres
Betapapun cahaya melaju lebih lekas
ketimbang kata-kata seperti kehadiran
tanpa arti, kepergian melukai

Pada pengang panggung bar bawah tanah
Ella Fitzgerald memimpin paduan suara
mengimprovisasi raung kolong-kolong
Kita sambut Louis Amstrong! pastur baru katedral
menyabdakan yang lelap di gorong-gorong
Wahai putra altar bar San Reno,
aku pesan sepiring usia dengan taburan kedamaian
Close order.
Damai Tuhan besertamu. Sengal tuts grand piano
tersedak debu. Irama sumbang boogie woogie
“It’s a wonderful messy world, baby!”

Pohon-pohon, pirang ikal Marilyn Monroe
ditebang semalam. Sungguhpun
Kita rurut daun-daun, batang menggelupas usia
O ‘Hollywood’, dua serak ranting bersilang
pada mimbar perjamuan. Haleluya!

Malam. New York bonyok
digebuk pialang saham yang ngamuk
tapi siapa mampu melihat rupa dalam gelap
Bursa-bursa rumit, bengkak-letup buih
di bath tub. Apa masih ada yang percaya
keteguhan dengan kebebalan
seperti vodka merendam zaitun

putar piringan hitam
Ini gospel atau jazz?
kita bergoyang lincah, kibas ikan atas kaca
sebelum kenyang air mata

2019

 

 

Asmara Hadi

Masih ia tulis. Sajak-sajak yang macan
Tanpa taring tanpa cakar
bergidik orang lihat dalam kandang.

ssst, munci-munci urian
jenak pada ranjang. Kelopak
mata setipis bilah parang. Di luar,
adakah mayat larut pekat malam?

Asmara Hadi. Asmara Hadi, namaku.
Mani yang mengadon rahim spionase japan

kering menghampar kebun
stoples selai kosong
retak pecah bibir
Letup perang tak berbentuk
amuk batin di nusakambangan
ceku-pengar mengaram ende
seorang kelasi limbung
oleh nyenyat riak ratapan.

hoii, nian rawan nan layu
lenyai liur melulur cantigi
sedang gelegak kepundan serupa mulut itu
kuarkan bacin belerang
sabda priyayi kacung tirani.
Dasar cetek!

hoii, sebuah komedi
Tak henti bergulung-gulung dalam kepalaku.
‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’

Dengan lutut yang tengkorak anak-anak,
aku menjejak menjunjung langit yang sagu. Sementara
masihkah punggung ini tega menggarit repih
pungkur para ibu yang ruhnya lesap tanpa kita tahu.

ssst, jangan banyak cincong!

Sedang ia selesaikan. Sajak-sajak yang macan
Tanpa taring tanpa cakar
mengira orang, ngeong ngeong
kucing sekarat dalam kandang.

2019

 

Kembali Masuk Rumah Cokro

(pada telapak tangannya
koin-koin perak semacam lepuh telapak kaki
Ikat emas tak lebih rantai melilit leher
yang kerak tahi sapi)

Terletak di atas pagu: cincangan tembakau tengik,
reput tulang serdadu, sekantung pelor,
geblokan jampi khali ruapkan bacin menindih nadi.

Aku memasuki pintu yang katup nadimu sebagai lejit darah.

Merabak barikade lemak: kuning-kuning, rambut kuning,
madu setan. Benggolan kidal, terus melata dalam
senyap sepungkas maklumat: Mata yang ladang, petani diusir
lahan moyang.

blam, aksioma para jani merawikan silsilah Mallaby.
Menenung sepastel sore yang pucat ragi 74 tahun lalu
daging-daging perih, obituari kelak diwartakan televisi.

Terlanjur silang, faring menangkis khianat. Brantas mengair mata
dan jeluk jembatan digelinjang tartar orasi Tomo.
Mungkin kita tak pernah  ada dalam perpisahan Eddie Polo
dengan Kusno. Cuma hirup-embus udara melepas Cokro
selekas itu, sesekerjap mataku.

ting, recik rokok jelagakan seisi kepala, memberangus wajah Ibu.
Bluder yang muai pada dadanya, susut. Sebuah revolusi untuk bahu
sebagai kalang untuk bersandar, kempuh lengan buat riwayat merebah.

(pada telapak tangannya
koin-koin perak semacam lepuh telapak kaki
Ikat emas tak lebih rantai melilit leher
yang kerak tahi sapi)

2019

 

 

Sidik Jari Sidik

Di Hotel Yamato yang warna ganih
Sidik yang dengkik bermimpi angin
menembus kakinya. Ia terbangun
dari kursi, dikelilingi gigir-gigir besi.

Seperti ia selalu mendongengi anaknya sebelum lelap,
Kuapnya menjadi-jadi setelah melahap seboyak nasi
dan pedas gembus pagi tadi.

Di Hotel Yamato yang lebam-lebam tegak
Sidik bergeleser dalam lumpur perundingan
tentang bendera yang dikerek dengan sidik jarinya
yang sudah direntangkan sebagai benang.

“Tak ada liang bagi pengecut!
namun siapa yang mencintai negeri ini,
kenapa musti mati sebagai pengkhianat?”

Nasib yang tergesa-gesa
seperti meminggirkan dekat mencengkeram jauh.
Takdir berpintas seolah cekik simpul tali mati

2019

 

1942: Separuh Megatruh

Kesaksian yang kau ucapkan
mematri parang pada licin dadaku.
Ihwal romusha mencemeti Jogja
: tak lagi ada liang bagi kepala-kepala.

oit, jangan anggap aku batu.
Sebab waktu tak mengenali hilir Opak
sedang detik berkecipak dari Kali Progo.
Sesungging pirus tanpa senyum,
lamun paras lamur memadas Mataram.

Bagai tempuling didera angin,
begitu gelagat pejalan
tanpa badan. Seperti hilang ampuh
menebak terik bakal memecah paseban.

oit, apalagi selain tanak kemarau,
gagal panen palawija,
hingga bertaruh menuju entah
dendangkan putus asa?

Sepapar atap sekolah terbang melayang
“pasti kugapai itu bulan.”
Sembari mengusung buku-buku,
anak-anak meraut kepandaian.

Tentang Penulis

Agung Wicaksana, lahir pada 15 September 2000 di Surabaya, Jawa Timur. Singgah di Yogyakarta sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada sambil bergiat di Sanggar Puisi Lincak. Puisinya dimuat di berbagai media massa, di antaranya di Koran Tempo, Minggu Pagi, Riau Pos, Banjarmasin Post, Harian Fajar, Tribun Bali, dsb. Buku puisinya Fanatorium terbit 2017.

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button