Cerpen

Cerpen Ahmad Wayang: Perempuan Simpanan

biem.co — Malam itu Rani bermalas-malasan di sofa panjang ruang televisi. Tangannya sibuk memainkan ponsel. Kedua kakinya yang jenjang dan mulus diseleonjorkan. Sejak satu jam lalu ia masih mengusap-ngusap layar ponsel, mencari promo big sale di situs belanja online, mencari barang-barang keperluan kesehariannya, yang sesungguhnya sudah ia miliki: beberapa baju baru, sepatu high heels terbaru dan tas berwarna merah kesukaannya. Semuanya barang-barang bermerek. Anti bagi Rani membeli barang-barang KW. Bahkan baju tanktop hitam yang ia kenakan semuanya  bermerek.

Sesungguhnya barang-barang sejenis yang tadi dipesan Rani, sudah menumpuk di kamar serta lemari khusus di ruang tamu. Tapi ia menginginkan tas, sepatu dan baju keluaran terbaru.

“Oh ya, satu lagi. Aku lupa membeli  blush on dan lipstik. Aku harus membelinya sekarang, sebelum blush on dan lipstikku habis pada penghujung bulan,” kata Rani bicara sendiri dan segera memasukkan semua barang-barang itu ke menu keranjang.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Setelah semuanya beres, Rani membuka email. Ada pesan dari toko online yang berisi rincian sejumlah uang yang harus dia bayar lewat bank, Rani buru-buru menelpon Mas Gendut.

“Mas Gendut sayang, bayarin ya. Rani udah pesan beberapa kebutuhan Rani buat jalan malam Minggu nanti,” kata Rani dengan manja.

“Kamu belanja online lagi? Bukannya kemarin kita sudah belanja di Mall?” kata Mas Gendut dari seberang.

“Tapi ini barang baru Mas. Mumpung lagi ada diskon besar-besaran. Lumayan, kan?”

“Ya, tapi enggak bisa belanja sesering itu Rani sayang. Nanti uang Mas Gendut habis, dan isteri Mas Gendut akan curiga.”

“Kalau curiga, bilang aja uangnya buat keperluan lain. Gitu aja kok repot! Tuh, aku udah kirim ke WA jumlah tagihannya. Jangan lupa. Batasnya cuma dua hari. Awas kalau enggak dibayar!” Rani mengancam dan lekas menutup sambungan teleponnya.

Awas aja kalau enggak dibayar, aku bakal ngambek Mas. Dan aku enggak akan bukain pintu rumah ini buat kamu, Rani menggumam.

Tak berapa lama Mas Gendut menelponnya lagi.

“Rani, gila kamu! Ini tagihannya sampai sepuluh juta lebih? Kamu mau belanja atau mau bikin Mas Gendut jatuh miskin?” Mas Gendut tak bisa menahan amarahnya.

“Mas Gendut enggak bakal miskin. Kan uang Mas Gedut banyak. Katanya kemarin habis ngadain acara besar di kantor? Ya ambillah sedikit uang dari sana, seperti yang sudah biasa Mas Gendut lakukan .”

“Ya, tapi enggak bisa selamanya Mas Gendut korupsi. Sekarang sudah ketat. Lagi pula, emang kamu mau Mas Gendut nanti ditangkap KPK?”

“Ya enggak Mas. Tapi Rani kan butuh barang-barang itu.”

“Nanti saja ya belanjanya sayang. Akhir bulan Mas Gendut akan transfer uang ke kamu.”

“Tapi Rani mau semua barang itu. Kalau enggak, Mas Gendut mending enggak usah datang ke rumah lagi. Titik!” telepon dimatikan.

Selang beberapa menit, Mas Gendut kembali menelpon Rani. Ia akhirnya luluh juga, karena Rani ngambek.

“Iya udah deh sayang. Ini Mas Gendut sebentar lagi sampai rumah kamu. Buka pintu ya. Mas Gendut habis pulang kunjungan kerja dan mau tidur di situ saja.”

“Nah gitu dong. Bawa oleh-oleh ya, Mas Gendut sayang,” kata Rani penuh manja.

“Pasti dong. Ini Mas Gendut bawa oleh-oleh dari Sumatera.”

“Mas Gendut pake taksi dong?”

“Iya. Mang Udin udah Mas Gendut pecat gara-gara mulutnya bawel. Nyaris cerita sama Maya soal hubungan kita.”

“Ya sudah, Rani tunggu di rumah.”

***

Malam itu Mas Gendut datang pukul satu malam. Dan Rani sudah mulai menguap, hampir saja ia tertidur di sofa panjang, sebelum akhirnya terdengar suara telepon masuk.

Mas Gendut sudah di depan rumah, sayang, begitu suara yang terdengar dari telepon. Rani hanya menjawab ia, karena mata masih sedikit berat. Rani lekas membuka pintu rumah. Seketika Mas Gendut menubruknya dengan pelukan hangat, sambil menyodorkan barang-barang bawaannya.

Ini oleh-oleh dari Sumatera, kata Mas Gendut dengan riang. Rani yang semula mengantuk seketika jadi semangat. Isinya apa Mas? buru Rani. Ada makanan dan juga oleh-oleh khas Sumatera, buka saja.

Itu untuk Rani semua, kata Mas Gendut sambil menyerahkan oleh-oleh. Mata Rani seketika berbinar-binar sambil berteriak girang saat melihat ada Bika Ambon di sana. Itu adalah salah satu makanan kesukaannya. Dengan cepat Rani menghadiahi Mas Gendut ciuman di kening beberapa kali, dan mengucapkan terima kasih, sebelum kemudian lekas mengunci pintu.

Mas Gendut pamit mandi, sementara itu Rani sibuk mencicipi Bika Ambon yang legit. Tak berapa lama Mas Gendut sudah terlihat lebih segar dengan menggunakan kaos dan celana kolor pendek. Ia lekas duduk di samping Rani. Rani lekas duduk di pangkuannya.

“Mas Gendut enggak capek?” tanya Rani manja sambil mengusap-usap wajahnya yang klimis, tanpa kumis dan jenggot itu.

Mas Gendut menggeleng dan tangannya mulai mengelus rambut Rani.

“Kalau capek, malam ini kita istirahat aja ya,” Rani membimbing Mas Gendut ke kamar.

“Enggak. Justru Mas Gendut ke sini mau bersenang-senang. Bukan untuk istirahat,” katanya genit, tangannya menjawil pipi Rani.

“Tapi udah dibayar kan semua pesanan online Rani?”

“Udah sayang. Tapi kenapa mesti belanja lagi sih? Kan yang kemarin masih ada dan baru.”

“Ini beda Mas Gendut sayang. Rani itu cari yang keluaran terbaru dan mumpung lagi ada big sale. Kalau enggak ada promo, mungkin harganya lebih mahal dari itu.”

“Ya, tapi jangan sering-sering ya,” Mas Gendut mengajak Rani rebahan di ranjang.

Lampu kamar dimatikan.

“Mas Gendut enggak kangen istri?”

“Mas Gendut lebih kangen kamu. Besok pagi Mas Gendut baru pulang.”

“Bisa aja,” Rani membantu membuka kaos yang dikenakan Mas Gendut.

***

Sejak dua tahun lalu, ketika umur Rani genap 23 tahun, ia sudah menjadi wanita simpanan Mas Gendut. Rani sesungguhnya tahu nama asli Mas Gendut. Tapi Mas Gendut memintanya untuk memanggil dengan sebutan itu, dan merahasiakan hal ini kepada kalian. Pertemuannya dimulai saat Rani diterima menjadi staf Mas Gendut di sebuah lembaga jaminan sosial. Mas Gendut menjabat pimpinan tertinggi di sana. Berkat bantuan Mas Gendut pula, Rani akhirnya bisa lolos seleksi dan menjadi staf khususnya.

“Nanti saya juga akan memberikan honor lebih kepadamu setiap bulannya. Tapi jangan  bilang-bilang yang lain ya,” kata Mas Gendut berbisik kepada Rani. Rani tentu saja senang.

Setiap kali Mas Gendut ada rapat di luar kota, Rani selalu diajak dan menginap di hotel. Suatu malam Mas Gendut memintanya datang ke kamarnya. Rani tak menolak. Di kamar itu, Mas Gendut memberikan hadiah rumah kecil di ujung kota untuknya.

Mas Gendut memberikan kunci rumah itu pada Rani, sambil memberinya ucapan selamat ulang tahun. Rani merasa surprise. Ini hadiah yang luar biasa baginya. Rani menghadiahi Mas Gendut pelukan dan ciuman malam itu, dan Rani tak keberatan menemani Mas Gendut tidur berdua malam itu. Dan juga untuk malam-malam berikutnya, ketika Mas Gendut menginginkannya.

Pernah suatu hari, Maya, istri Mas Gendut, tiba-tiba datang ke ruang kerjanya dan mendapati suaminya tengah berduaan dengan Rani. Maya, jelas marah besar, tapi akhirnya bisa diatasi oleh Mas Gendut.

“Dia ini staf Papah, Bu. Ini kita sedang kerja, membicarakan urusan kantor.”

“Ibu enggak percaya! Kenapa tadi Ibu lihat kalian pegangan tangan?”

“Maaf Bu, saya tidak bermaksud demikian,” kata Rani tak mau ribut dengan istri Mas Gendut, memang itu yang diajarkan Mas Gendut kepadanya, jika ketahuan istrinya, ia mesti tak membantah dan harus mengakui kesalahannya.

“Saya yang salah Bu,” kata Rani lagi, lalu pamit pergi.

“Dasar perempuan sundal!” kata Maya kemudian. Dan Rani mendengar itu.

Rani tentu saja menangis mendengar ucapan itu yang dialamatkan kepadanya.

Setelah keribuatan itu, Maya meminta suaminya mengganti Rani dengan staf lain. Mas Gendut menurut. Rani akhirnya dimutasi. Tapi Maya tidak bisa memisahkan hubungan asmara antara mereka berdua. Di belakang Maya, Mas Gendut masih menjalin kasih dengan Rani, bahkan Rani sudah seperti menjadi istri keduanya. Lebih tepatnya wanita simpanan Mas Gendut di suatu rumah kecil yang tak pernah diketahui Maya dan juga anak-anaknya.

***

Menjelang sore itu, pintu rumah Rani diketuk kurir yang membawa barang-barang pesanannya. Nama kurir itu Yanto, lelaki tanggung yang cukup tampan menurut Rani. Wajah Yanto mengingatkan Rani pada pacarnya dahulu di kampung. Rani menebak, mungkin umur Yanto sekitar 20 atau lebih sedikit. Yanto sudah sedikit akrab dengan Rani, karena ia sering mengantarkan barang pesanan Rani, sehingga mereka jadi kenal cukup baik.

Sekali waktu Rani pernah menyuguhkan minuman dingin untuk Yanto, karena kasihan melihat Yanto penuh dengan keringat di dahi. Atau mengizinkannya masuk kamar kecil rumahnya, ketika Yanto mengaku sudah tak tahan ingin kencing, dan lain hari Rani membolehkan Yanto mencharger ponselnya yang hendak mati, dan di sela-sela menunggu itu, mereka banyak bertukar cerita.

Yanto asli dari Jakarta, dan sudah bekerja sebagai kurir selama dua tahun terakhir. Ia jomblo sekarang, setelah pacarnya memilih meninggalkan Yanto saat tahu dirinya bekerja sebagai kurir. Kok bisa? Kata Rani penasaran ingin tahu cerita lengkapnya.

Mungkin, ia malu melihat pacarnya seorang kurir, kata Yanto kemudian dengan sedih. Bahkan aku tak pernah malu, memiliki orangtua di kampung yang bekerja sebagai buruh tani, kata Rani juga menceritakan soal keluarganya yang ada di kampung. Dan mereka jadi semakin akrab dan dekat.

Dan sore itu, Rani menyuguhkan Yanto segelas kopi dan sepiring kecil Bika Ambon dari Mas Gendut. Sambil mencicipi kue itu, Yanto memandang Rani penuh ingin, matanya memangsa tajam pada mata Rani yang bening dan indah. Lewat mata itu, Yanto mengirim pesan, jika boleh, ia ingin mengulum bibir Rani yang merah merekah. Rani tak kalah ingin, ia menggoda Yanto dengan lirikan matanya yang nakal.

Ia lalu menggigit bibir bawahnya sendiri dengan pelan, seolah menjawab keinginan Yanto: ciumlah aku sepuasmu, sesukamu. Yanto menyudahi makannya. Tanpa ragu Yanto mendekat ke sebelah Rani. Di sofa panjang ruang tamu itu mereka melebur jadi satu, lupa mengunci pintu.

***

Mas Gendut melihat pemandangan itu, melihat Raninya telah lengket dalam pelukan seorang lelaki yang tak ia kenal.

“Anjing!” Mas Gendut murka, sebelum akhirnya Rani bersijingkat dan Yanto ketakutan dengan kedatangan laki-laki lain di rumah itu, sebab yang ia tahu, Rani tinggal seorang diri di rumah ini, paling tidak itulah yang diceritakan Rani kepadanya beberapa hari lalu.

Rani dan Yanto buru-buru mengenakan busana mereka. Rani mencoba menenangkan Mas Gendutnya, bahwa ia akan menjelaskan duduk persoalannya.

“Dia hanya tukang kurir, bukan pacarku, sebab pacarku cuma Mas Gendut,” kata Rani sambil memohon. Tapi amarah Mas Gendut sudah sampai puncak, ia mengeluarkan pistol miliknya jenis JZ 839 FN dengan sembilan peluru dan mengarahkannya kepada Yanto.

“Jangan Mas…” teriak Rani memohon. Tapi Mas Gendut tak peduli. Dua peluru bersarang di dada Yanto. Hanya hitungan detik, Mas Gendut berhasil mengirim Yanto ke Neraka. Rani hanya bisa menangis menjerit. Rani mendorong Mas Gendut dengan sekuat tenaga hingga ia membentur tembok dan tak sadarkan diri.

“Mas Gendut… bangun…” Rani makin histeris menangis, saat ia melihat ada kucuran darah dari tembok.

Sebelum sejumlah warga sekitar sampai ke gerbang rumah Rani, satu tembakan kembali terdengar dari dalam rumah itu. (*)


Tentang Penulis:

Ahmad Wayang, pegiat literasi. Aktif di Rumah Dunia dan FLP Banten. Buku yang sudah terbit, Cinta Jangan Marah (2018), serta Siti dan Cerita Cinta Lainnya (2013).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button