Opini

Soni Sadono: Perilaku dan Budaya Masyarakat Intuitif Saat Pandemi Covid-19

biem.co – Hari-hari di masa pandemi virus Corona atau Covid-19 ini, disamping banyak orang yang merasakan kekhawatiran bahkan ketakutan, masih banyak masyarakat yang seakan tidak peduli dan tidak khawatir sama sekali dengan wabah global ini. Ketidakpedulian ini pada akhirnya menjadi perilaku yang tidak memperhatikan protokol kesehatan terkait wabah Covid-19 seperti memakai masker ketika bepergian atau menjaga jarak (physical distancing) dengan orang lain. Di pasar-pasar tradisional,  banyak orang menjadikan wabah Corona sebagai candaan. Bahkan ketika saya mengunjungi sebuah supermarket di dengan buff (masker kain) menutup setengah muka, hidung dan mulut, lalu seorang penjaga salah satu counter memandangi saya sambil berujar, “Corona, corona.” Sebuah bentuk ketidakpedulian dari sekelompok masyarakat terhadap wabah Covid-19 yang mungkin banyak dari kita juga mendapati hal serupa dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelumnya, juga telah beredar lagu dangdut berjudul “Corona” yang merupakan plesetan dari Comunitas Rondo Merana (Komunitas Janda Merana). Sebuah lagu yang memplesetkan wabah Corona menjadi bahan candaan yang terkesan meremehkan dan juga menjadikan sekelompok orang (janda) menjadi candaan yang berkonotasi negatif. Di media sosial tak jauh berbeda, tak terhitung jumlah meme yang intinya menertawakan pandemi Corona. Sementara, data dan berita terkini mengabarkan bahwa jumlah kematian akibat virus ini kian meningkat. Bahkan terakhir beredar satu candaan tentang virus Corona yang disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD, yang menurutnya didapatkan dari Menko Maritimves Luhut Panjaitan yang berbunyi “Corona is like your wife. You try to control it, then you realize that you can’t. Then you learn to live with it”, yang kurang lebih artinya “Corona seperti istri anda. Anda mencoba mengendalikannya, kemudian Anda menyadari bahwa Anda tidak bisa. Maka Anda belajar untuk hidup dengannya”. Sebuah kalimat yang sebenarnya disampaikan untuk menggambarkan bagaimana masyarakat sekarang harus dapat “berdamai” hidup dengan virus Corona, namun menimbulkan kontroversi karena dianggap melecehkan perempuan (istri) dan tidak pantas diucapkan oleh seorang menteri.

Beberapa orang menunjukkan kejengkelan atas hal-hal di atas. Para dokter dan tenaga medis bahkan sampai “menyerah” terhadap perilaku masyarakat Indonesia yang tidak dapat diatur dan cenderung semaunya sendiri. Masyarakat kita cenderung ignorant, bandel, susah diatur, bar-bar, bahkan idiot. Beredar pula meme-meme yang menunjukkan perilaku tersebut. Saya coba melihatnya dari sudut pandang lain akan perilaku masyarakat kita itu. Saya awali dengan salah satu film pendek dalam Akira Kurosawa’s Dreams, yang berjudul “Village of the Watermills”. Salah satu adegan dalam film itu menunjukkan para penduduk desa sedang melakukan iring-iringan. Yang wanita menari-nari sambil sesekali menabur-naburkan bunga, sementara yang pria memainkan alat musik. Mereka sedang mengiringi jenazah ke pemakaman, merayakan kematian.

Adegan itu merupakan ilustrasi dari gambaran umum bagaimana pola perilaku masyarakat intuitif, yakni memandang kematian sebagai hal yang lumrah, tidak ditakuti, bahkan dirayakan karena roh akan kembali ke alam serba-suci, yang kekal, dan berkumpul kembali dengan leluhur yang mereka cintai. Demikianlah masyarakat intuitif yang amat akrab dengan hal-hal yang spiritual, yang gaib, dan tak logis. Para ahli future studies menyebutnya “possibility” atau posibilitas, kemungkinan yang berada di luar ruang dan waktu, yang unpredictable, incalculable, yang hanya bisa dijangkau oleh keyakinan, intuisi, seperti kematian, jodoh, rejeki, dan akhirat.

Masyarakat Nusantara, atau Timur pada umumnya, termasuk masyarakat intuitif. Meskipun sejak 1945 kita sudah menyatakan diri sebagai negara modern berbentuk republik dan berhaluan demokrasi yang berlandaskan hukum positif yang kesemuanya harus dijalankan dengan mekanisme rasional, toh arketif keintuitifan itu masih tetap kuat. Maka, kita pun mendapati jalan raya yang semrawut tak beraturan, antrean yang tak rapi, sampah yang dibuang sembarangan, pengelolaan berbagai institusi yang kacau, dan lain-lain. Ditambah saat bulan puasa lalu, di hampir tiap jalan-jalan utama kompleks perumahan, sore hari tetap ramai oleh para pedagang musiman dan diserbu para pembeli sembari ngabuburit, tanpa menghiraukan protokol kesehatan. Saat menjelang lebaran, tak sedikit yang nekad mudik meski dilarang pemerintah; bertemu sanak famili, silaturahim dengan tetangga di kampung halaman, dan bagi banyak komunitas muslim ziarah kubur menjadi hal yang tak bisa ditawar-tawar. Fasilitasnya modern, namun pemikirannya intuitif. Maka, begitulah mereka menghadapi pandemi Corona yang mematikan itu. Santai, cuek, bahkan ceria.

Hal ini amat berbeda dengan masyarakat di negara-negara maju, dimana masyarakatnya berpola pikir rasional, dan karenanya mampu bertindak secara sistematis dan terukur. Langsung menerima imbauan dari para ahli dan taat pada intruksi pemerintah. Jika masyarakat intuitif akrab dengan posibilitas, masyarakat rasional terbiasa dengan probabilitas, kemungkinan yang dapat diprediksi, dihitung, yang bisa dijangkau dengan nalar, rasio, seperti cuaca, gempa bumi, termasuk pandemi Corona. Dapat kita lihat Jepang, Korea, China, Singapura, dan lain-lain merupakan negeri-negeri Timur yang sudah termodernkan, sudah meninggalkan cara berpikir intuitif, kecuali memang di wilayah-wilayah tempat hidup masyarakat tradisi.

Burukkah masyarakat intuitif, masyarakat kita ini? Tidak, hanya saja, ruang hidupnya sudah berbeda. Ruang hidup modern menuntut cara berpikir yang rasional. Inilah, hemat saya akar masalah dan pekerjaan terbesar kita untuk memberikan penyadaran akan hal-hal yang logis dan rasional, termasuk mengenai wabah Corona saat ini. Para pejabat pemerintah juga seharusnya tidak memberikan ucapan-ucapan atau tindakan yang bersifat intuitif, tidak konsisten dan tidak tegas, agar masyarakat dapat lebih peduli dan menaati himbauan atau aturan yang ada.

*Penulis adalah Dosen Kajian Budaya Nusantara, Prodi Seni Rupa Fakultas Industri Kreatif, Telkom University Bandung dan Alumni S3 Kajian Budaya Universitas Padjadjaran Bandung

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button