biem.co — Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sudah disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan tersebut ditetapkan pada Rapat Paripurna DPR yang digelar di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2020) lalu.
Sebelum ditetapkan menjadi Undang-undang, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Supartowo menyampaikan laporan mengenai pembahasan RUU Minerba yang disebutkan dimulai pada 13 Februari 2020 dengan pembentukan Panitia Kerja (Panja).
Pembahasan dilakukan secara intensif bersama pemerintah kemudian dilakukan pada 17 Februari hingga 6 Mei 2020 atau selama tiga bulan. Ini artinya selama adanya pandemi mereka mengambil celah untuk membahas RUU kontroversi ini.
Revisi UU No 4 Tahun 2009 ini dilakukan dengan latar belakang UU Minerba Nomor 4/2009 yang dianggap belum mampu menjawab persoalan kebutuhan hukum dalam penyelanggaraan minerba. Selain itu, mereka juga mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba tersebut telah disinkronkan dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sangat dikecam oleh masyarakat.
Hasil sinkronisasi itu, pada akhirnya menghasilkan banyak sekali perubahan, terutama terkait kewenangan pengelolaan pertambangan minerba, penyesuaian nomenklatur perizinan, dan kebijakan divestasi saham. RUU Minerba telah disinkronkan dengan RUU Cipta Kerja sesuai dengan keinginan pemerintah pusat.
Meskipun pada kenyataannya, ada banyak kelompok masyarakat sipil telah menyuarakan kritik terhadap RUU Minerba, tetapi mereka (DPR) tidak pernah mendengar kritikan tersebut. Padahal RUU Minerba menjadi salah satu RUU yang ditolak dalam aksi “Reformasi Dikorupsi” pada September 2019kemarin.
Kami melihat RUU Minerba hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batubara, tanpa memerhatikan dampak terhadap lingkungan, serta masyarakat di daerah tambang. Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan.
Namun yang harus dicatat adalah tidak sedikit pun ada pasal yang mengakomodasi kepentingan, dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan. Pembahasan RUU Minerba tidak berdasarkan evaluasi atas daya rusak operasi pertambangan minerba yang selama ini terjadi.
Oleh karena itu, kami meminta Presiden Joko Widodo dan DPR membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba. Atas nama Undang-Undang Dasar (UUD) yang menjamin keselamatan rakyat, Presiden Joko Widodo dan DPR RI harus membatalkan pengesahan RUU Minerba pada pembicaraan tingkat dua.
Dalam hal ini, yang harus dipikirkan wakil rakyat (DPR) dan pemerintah adalah bagaimana bisa fokus untuk menyelamatkan nyawa rakyat di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 yang mematikan.
Cari Celah di Tengah Wabah
Saat ini, tampaknya pemerintah memiliki landasan hukum dalam penanganan dampak ekonomi Covid-19, setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang. UU Tentang Covid-19 ini dinilai penting oleh pemerintah dengan dalih akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk mengelola ekonomi 2020 dengan lebih baik. Sehingga bisa melewati masa sulit saat pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, kami meminta agar UU yang baru itu segera diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, pasal-pasal dalam UU tersebut, terdapat pelanggaran konstitusi yang serius. Selain itu, dalam hal ini kami juga melihat banyak pelanggaran-pelanggaran yang serius terhadap tatanan konstitusional di atas. Tidak sampai disitu, kami juga berpendapat bahwa UU ini harus segera diuji kembali di Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan azas proporsionalitas.
Hal ini penting untuk dilakukan, sebab selama ini, status kedaruratan akibat pandemi membenarkan adanya pembatasan dan penyimpangan, sesuai dengan hal ihwal kegentingan yang memaksa atau keadaan mendesak. Yang harus menjadi perhatian dan harus dipahami adalah soal pembatasan dan penyimpangan tersebut tidak boleh meniadakan atau melanggar tatanan konstitusional yang sangat mendasar.
Tatanan konstitusional yang sangat mendasar tersebut adalah sendi demokrasi, sendi negara hukum yang harus menghormati substantive and procedural due processes of law dan sendi konstitusional yang menghendaki pemerintahan yang terbatas untuk menghormati hak asasi manusia.
Pemerintah harus melihat kembali Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) Perppu Corona. Pasal itu adalah pasal-pasal yang melanggar tatanan konstitusional. Karena tidak dikualifikasi sebagai kerugian negara, maka dikatakan ayat tersebut bermakna ‘penghapusan atau peniadaan pertanggung jawaban hukum yaitu pertanggungjawaban tindak pidana korupsi’. Akibatnya, ketentuan-ketentuan pidana yang bertalian dengan kerugian atas keuangan negara tidak berlaku.
Dengan kata lain, ayat ini menciptakan imunitas atau Kekebalan Hukum. Padahal, sesuai ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum. Ayat 2 yang memuat frasa ‘iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan’ merupakan ketentuan yang tidak jelas.
Siapa yang berwenang menentukan sesuatu dilakukan menurut iktikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan? Menurut kami yang berwenang menentukan adalah kekuasaan kehakiman, bukan pemerintah. Kalau pemerintah yang menentukan, maka terjadi konflik kepentingan dan bisa terjadi bias.
Adapun pada ayat 3, ketentuan ini memberikan imunitas sempurna bagi pejabat-pejabat pelaksana. Bukan hanya melanggar prinsip demokrasi, negara hukum dan konstitusional, ketentuan ini melanggar pula asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik. UU ini meniadakan hak warga negara untuk ‘memperkarakan’ negaranya.
Baca Juga
Padahal dalam negara hukum yang demokratis, adalah hak setiap warga negara untuk memperkarakan negara dalam rangka melakukan kontrol terhadap penguasa.
Maka berdasarkan hasil kajian kami, ada beberapa desakan. Pertama, meminta kepada DPR RI untuk menunda seluruh agenda pengesahan Rancangan Undang-Undang Di Tengah Pandemi Covid-19. Kemudian jangan mengambil celah di kala susah seperti ini. Karena jika mengesahkan kebijakan dalam kondisi terdesak seperti ini, akan memunculkan kebijakan yang tidak objektif dan terkesan tumpang tindih.
Kedua, kami mengimbau kepada Presiden Joko Widodo dan DPR RI Untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba, dikarenakan tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan, serta masyarakat sekitar daerah penambangan, serta hanya melihat kepentingan oligarki tambang.
Ketiga, kami menegaskan agar UU yang baru segera diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena terdapat pelanggaran konstitusi yang serius karena banyak pelanggaran-pelanggaran yang serius terhadap tatanan konstitusional. (*)
Emyr Mochammad Noor, Koordinator Presidium Angkatan Muda Pegiat Sosial DKI Jakarta.