biem.co — Jagat politik terasa hareudang (gerah) di tengah padatnya tahap kontestasi elektoral Pilkada 09 Desember 2020 di 270 wilayah di Indonesia. Awan politik publik setiap kontestasi elektoral politik selalu meriah oleh “kegaduhan” antar tim sukses, parpol pengusung, pendukung paslon saling menyajikan kelebihan kandidat yang diusung, terlebih para kontestan politik telah merampungkan pengundian nomor urut masing-masing pasangan calon, Kamis (24/09/20).
Syahdan, pilkada yang sejatinya menjadi sinyal bagi publik untuk mendaur ulang cita-cita dan menjadi tema obrolan yang seru bukan saja pada ranah siapa akan bertarung melawan siapa, tapi juga jadi momen menakar rekam jejak, visi misi para kandidat yang layak dipilih untuk memandu kearah kemajuan. Tapi hadirnya Covid-19 telah mengubah arah bandul politik berbentuk harapan dan kecemasan.
Pilkada di era pandemik tetap waspada. Covid-19 terlanjur di stempel sebagai bencana non-alam yang memakan korban meninggal, merusak tatanan kesehatan, ekonomi, sosial budaya, mental spiritual. Maka wajar jika sekaliber Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat organisasi Muhammadiyah, Komnas HAM, dan sejumlah lain merekomedasikan atau ijtihad politik agar Pilkada ditunda yang elatnya demi keselamatan kemanusiaan dan kebangsaan.
Terlebih mengacu pada prinsip kaidah fiqih “Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah, manuthun bi al-Maslahah” bahwa “kebijakan penguasa negara atas rakyat mesti diorientasikan bagi kemaslahatan”, dan nasihat Imam Sya’fi’i (w. 204 H) “Manzilat al-Imam min al-Ra’iyyah, manzilat al-Waliy ‘ala al-Yatim” bahwa “kedudukan penguasa terhadap rakyatnya sebagaimana kedudukan wali atas anak yatim”. Kekuasaan dan jabatan bukan hibah, tapi amanah.
Baca Juga
Demokrasi Pandemik
Demokrasi terlanjur dilamar sebagai sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Robert A. Dahl (1999) dalam On Democrasy, berkata jujur, bahwa praktik demokrasi yang ideal tak mungkin terwujud, syaratnya rumit, sifatnya dinamis, evolutif terus mencari bentuk, fleksibilitas demokrasi di masa pandemik berguna dan mungkin menguntungkan satu pihak, mungkin tidak bagi pihak lain, tergantung siapa yang memaknai dan pemilik kekuasaan.
Fleksibilitas demokrasi jika merujuk sabda Robert A. Dahl (1999) banyak tercermin pada hasil Rapat Kerja, Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan menteri dalam negeri, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP pada Senin, (21/09/20) menghasilkan ijtihad politik Pilkada serentak 2020 tetap berlangsung sesuai rencana.
Pilkada yang keukeuh dilanjutkan, menurut pakar komunikasi politik, Ade Jamrud (2020) Pilkada di era pandemik ini ibarat pernikahan seorang gadis dengan pria hasil pilihan orang tua. Perjodohan suka atau tidak, pernikahan tetap dilaksanakan sesuai rencana, waktu sudah ditetapkan, undangan terlanjur tersebar, panggung, logistik aman terpesan, sayang jika tak dilanjutkan. Pernikahan tanpa rasa cinta, bahagia atau pun tidak di pikir belakangan, dicoba saja, jika pun nanti akan berakhir tragis, itu mungkin jadi suratan nasib mu Nak. Tegas Ade Jamrud. Duh!
Demokrasi Clickbait
Pilkada di masa pandemik rumit, bukan hanya soal elektoral juga masalah menjaga kesehatan dan keselamatan. Walaupun hasil Rapat Komisi II DPR RI telah banyak menghasilkan catatan, dan juga tambal sulam regulasi elektoral dari PKPU 6 Tahun 2020, menjadi PKPU 13 tahun 2020 kemudian didaulat menjadi pedoman, Rabu, (23/09/20).
Yang menarik perbincangan terkait teknis kampanye yang seolah dipaksakan di masa pandemik tertuang di Pasal 58 poin 2 huruf b berbunyi “membatasi jumlah peserta yang hadir secara keseluruhan paling banyak 50 (lima puluh) orang dan memperhitungkan jaga jarak paling kurang 1 (satu) meter antar peserta kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 9, serta dapat di ikuti peserta kampanye melalui media sosial dan media daring”.
Baca Juga
Mengikuti kampanye melalui media sosial dan media daring atau akronim dalam jaringan sebagai saluran komunikasi politik bagi para kontestan yang direstui menjadi infrastruktur untuk menyampaikan pesan politik bertujuan mempromosikan, dan meningkatkan popularitas serta elektabilitas akan tamapk sulit di wujudkan.
Pertama, akses jaringan internet tidak merata dan masih “diskriminatif” hanya dapat di akses publik di wilayah perkotaan dan sinyal terkadang rada pelit di pelosok perkampungan. Kedua, segmentasinya hanya diperuntukan bagi kaum berduit dan melek politik, ketiga, mengikuti kampanye di media sosial atau daring bagi kaum lemah dan korban PHK hanya akan meneguhkan “curiosity gap” atau memperluas jurang kesenjangan pengetahuan.
Wajar jika meminjam ide George Ritzer (2004) dalam The Globalization of Nothing. Bahwa kampanye di media sosial atau daring adalah sejenis “Democrasy Nothing” atau demokrasi kosong, sepi subtansi, hampa karena terlahir akibat faktor kecelakaan (by accident) yang kemudian menyebabkan demokrasi menjadi ‘terluka”; “cacat” dan bahkan berpotensi menyebarkan wabah “penyakit”.
Kampanye daring berpotensi menjadi “penyakit”, seolah hanya memindahkan dan menggiring kerumunan massa pada kampanye tatap muka ke jejaring situs-situs dan kanal media internet dengan kecepatan sirkulasi lalu lintas informasi yang sulit dikontrol, ditambah tingkat literasi media publik masih rendah, kemudian menjadi umpan kaum buzzer para kontestan politik yang akan mempolarisasi emosi agar masuk kedalam perangkap “Clickbait” yang dimaknai sebagai “judul” menjebak, provokatif, rumor, hoax, fiktif dan tergoda menyebarkan kampanye negatif.
Strategi “Clickbait” memang telah lebih awal digunakan dalam industri media global untuk meningkatkan jumlah peng-klik portal pembaca dan pengiklan dengan banyak memproduksi konten, dengan kemasan berbentuk “judul” yang vulgar, sensitif dan merangsang tangan untuk meng-klik, berkomentar dan sekaligus memberikan jempol menekan like or dislike.
Maka wajar jika fenomena strategi “Clickbait” di industri media juga akan terjadi pada pelaksanaan hajatan kontestasi elektoral Pilkada, terutama akan memasuki di masa kampanye sebagaimana tertuang pada PKPU 5 tahun 2020 tentang tahapan dan jadwal, tahapan kampanye akan di mulai 26 September 2020. Dimana para tim sukses akan diwajibkan mengemas pesan-pesan kampanye yang sama persis menggunakan strategi “Clickbait” .
Sekedar saran, ada baiknya di dalam masa pandemik dan ditengah menguatnya kecemasan publik terhadap penyebaran covid-19 yang mengancam secara sistemik, terstruktur dan masif telah menumbuhkan tingkat sinisme yang kemudian berdampak menurunkan tingkat partisipasi publik. Maka akan menjadi elegan dan cihuy, jika para tim sukses membuat, mengemas pesan-pesan kampanye politik bisa berbentuk lewat video, meme, player yang dipadukan dengan racikan seni humor, lucu dan menghibur. Tentunya para kandidat dan tim sukses tak boleh patah semangat, jangan kalah kreatif sama Odading Mang Oleh.
Odading Mang Oleh, hmmmm
Rasanya seperti Anda menjadi Iron Man
Belilah Odading Mang Oleh di dieu
Karena lamun teu ngadahar Odading Mang Oleh
Maneh teu gaul jeung aing. (*)
Iin Solihin adalah Mantan Ketua Umum Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan Ciputat.