Opini

Catur Nugroho: Kemarahan Presiden Jokowi dan Buruknya Kinerja Pemerintah di Masa Pandemi

biem.co — Di masa pandemi Covid-19 ini masyarakat Indonesia pernah dikejutkan dengan munculnya video berdurasi 10 menit yang diunggah Biro Setpres di Youtube berisi pidato Presiden Joko Widodo di depan para peserta Sidang Kabinet Paripurna pada tanggal 18 Juni 2020. Di dalam pidatonya Presiden Jokowi menggunakan bahasa yang lugas dan bahkan secara langsung menyentil bahkan mengancam beberapa orang menteri yang menurut Presiden kinerjanya tidak memuaskan. Namun segala peringatan dan ancaman dari Presiden dalam video tersebut sepertinya tidak sesuai dengan realitas sosial dan politik yang terjadi. Berdasarkan hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) tentang respon publik terhadap kinerja pemerintah yang dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2020 kemarin, kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dan para pembantunya menurut publik dianggap semakin buruk.

Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah menurut hasil survei IPO mencapai 57 persen, yang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti persepsi masyarakat akan mahalnya harga bahan pokok, sulitnya mencari pekerjaan, dan kesulitan melakukan transaksi perdagangan. Satu hal yang tentu saja tidak selaras dengan kemarahan Presiden pada video empat bulan yang lalu dimana Presiden Jokowi terlihat “gaspol” dengan kalimat “Tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, kebijakan-kenijakan kita suasananya harus suasana krisis”. Sebuah kalimat tegas yang disampaikan Presiden kepada para pembantunya di kabinet terkait wabah Covid-19. Hal yang tidak biasanya dilakukan Presiden dalam pidato-pidato kenegaraannya.

Pidato ini menjadi tidak biasa dari seorang Presiden yang biasanya terlihat kalem dan tenang dalam menghadapi berbagai macam persoalan bangsa. Kalimat-kalimat yang disampaikan Presiden dalam pidato ini secara langsung menunjukkan kemarahan dan kejengkelan. Sebagaimana disampaikan dalam kalimat “Saya melihat masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja, Saya jengkelnya di situ”. Dari kalimat tersebut secara lugas dan gamblang Presiden menyampaikan ketidakpuasannya terhadap kinerja para menteri, terutama dalam menghadapi wabah Covid-19 yang telah berlangsung hampir sembilan bulan ini.

Hal yang menarik lainnya dari video pidato ini adalah tidak kurang dari empat kali Presiden Jokowi mengucapkan kata “extraordinary”, misalnya kalimat “Ini extraordinary, harusnya 100 persen”, juga terdapat kalimat “Langkah-langkah extraordinary ini harus kita lakukan”, “Langkah apa pun yang extraordinary akan saya lakukan untuk 276 juta rakyata Indonesia”, dan terakhir “Tindakan-tindakan extraordinary keras akan saya lakukan”. Beberapa kalimat di atas mewakili kegundahan Presiden atas kinerja para menteri yang tidak melakukan tindakan “luar biasa” di masa wabah yang sangat luar biasa ini.

Beberapa menteri menurut Presiden menganggap masa pandemi ini dengan biasa-biasa saja tanpa tindakan yang cepat dan berdampak positif bagi rakyat Indonesia. Masalah ini sebenarnya sesuai dengan penilaian publik terhadap kinerja para menteri Kabinet Indonesia Maju. Setelah satu tahun bekerja, menurut publik beberapa orang menteri seperti Menkes Terawan, Menkominfo Johny G. Plate, dan Menkumham Yasonna Laoly adalah beberapa nama yang layak untuk diganti karena dinilai tidak menunjukkan kinerja yang cukup baik. Penanganan pandemi Covid-19 yang selama ini dilakukan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan dinilai oleh publik sangat mengecewakan dengan berbagai kesemrawutan tentang informasi dan kebijakan dari pemerintah. Silang sengkarut informasi dan merebaknya disinformasi tentang Covid-19 yang salah satunya adalah tanggung jawab Kementrian Komunikasi dan Informatika menjadi penilaian publik akan jebloknya kinerja Menkominfo.

Sementara ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintah di sektor hukum berdasarkan hasil survei IPO Oktober 2020, menjadi yang tertinggi dibandingkan sektor lainnya mencapai angka 64 persen. Hal ini yang menyebabkan publik menilai Menkumham Yasonna Laoly layak diganti oleh Presiden. Beberapa permasalahan terkait penegakan hukum dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadikan Menkumham dianggap berkinerja tidak baik. Mendikbud Nadiem Makarim menurut penilaian publik juga layak diganti karena permasalahan pendidikan daring selama masa pandemi. Bantuan kuota internet untuk siswa, guru, mahasiswa dan dosen yang diberikan “setengah hati” oleh Kemdikbud kurang memuaskan publik karena hanya dapat digunakan untuk mengakses situs atau aplikasi belajar daring tertentu saja. Sedangkan siswa dan mahasiswa juga membutuhkan akses ke situs-situs lainnya untuk mendapatkan tambahan materi atau mencari materi tugas secara daring.

Ketidakpuasan Presiden dalam pidato bulan Juni lalu sepertinya tidak mendorong para menteri untuk dapat meningkatkan kinerjanya dan bekerja tetap “biasa-biasa” saja. Dengan bahasa yang cukup lugas dan mengandung kemarahan dari seorang Presiden, ternyata tidak cukup “melecut” para pembantunya untuk dapat berjalan lebih cepat. Bahasa, sebagaimana disampaikan Fairclough (2001), tak dapat dilepaskan dari perannya sebagai alat kontrol sosial dan alat kekuasaan. Dalam pidato ini, Presiden menggunakan bahasa untuk menghadirkan dan menunjukkan kekuatannya sebagai seorang pemimpin. Melalui bahasa suatu kekuasaan dapat menciptakan citra pihak-pihak lain sebagai subversi, inkonstitusional dan sebagainya, yang menggambarkan perlawanan terhadap penguasa. Namun, pada saat yang sama, bahasa juga dapat memberikan citra serba mulia dan positif bagi yang memegang kekuasaan.

Dalam hal ini, Presiden terlihat mencitrakan dirinya sebagai pihak penguasa yang seharusnya dipatuhi oleh para menteri. Dengan kondisi yang disebutnya extraordinary, Presiden mencoba melakukan klaim atas nama 276 juta rakyat Indonesia. Seperti yang terjadi selama ini di Indonesia, kekuasaan dan politik seringkali bermain dalam tataran klaim atau pengakuan. Atas nama pembangunan, atas nama kesetaraan, atas nama konstitusi dan peraturan, atas nama rakyat, atas nama Negara, dan lain sebagainya. Klaim-klaim atas nama tersebut muncul melalui bahasa, yakni bahasa yang membawa muatan kepentingan kekuasaan. Begitu pula yang terjadi dengan pidato Presiden di Sidang Kabinet Paripurna, dimana Presiden ingin menegaskan kuasanya sebagai pemimpin yang memiliki kewenangan untuk melakukan langkah-langkah politik dan pemerintahan sesuai dengan kewenangannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Bahasa yang digunakan Presiden dalam pidato ini mencerminkan bangunan dan proses kekuasaan yang dominan. Sebagaimana disampaikan Habermas (1984), bahwa bahasa adalah kepentingan. Kepentingan Presiden Jokowi dalam hal ini adalah untuk membawa rakyat Indonesia melewati wabah extraordinary dengan selamat dan korban meninggal yang minimal. Sehingga tidak salah ketika Presiden mengingatkan, bahkan “mengancam” para menteri agar lebih peduli dan mau bekerja lebih keras untuk menangani wabah Covid-19, karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Semoga para menteri Kabinet Indonesia Maju tidak melupakan begitu saja kemarahan Presiden yang bertepatan tiga hari sebelum ulang tahunnya. Setelah setahun bekerja dan hampir sembilan bulan pandemi Covid-19, seharusnya para pembantu Presiden dapat bergerak dan bertindak lebih cepat untuk dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan semoga Presiden juga tidak lupa dengan kemarahannya kepada orang-orang yang seharusnya membantunya dalam menyejahterakan rakyat yang telah memberikan kepercayaan.  Waktu satu tahun rasanya cukup bagi seorang pemimpin untuk dapat menilai kinerja bawahannya. Para pembantu presiden yang dinilai tidak tanggap dan cakap sudah sepantasnya untuk segera diberhentikan sebagai langkah untuk menyelamatkan bangsa dan rakyat Indonesia.


*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Kajian Budaya dan Media UGM, Dosen Ilmu Komunikasi Telkom University, dan Peneliti Senior pada Indonesia Political Opinion (IPO).

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

One Comment

  1. Dalam artikel diatas bisa dinilai bahwa wajar saja Presiden Jokowi sempat protes terhadap kinerja menteri yang memang belum maksimal. Karena tentu Presiden Jokowi pun menilai sesuai dengan bukti-bukti yang nyata dilihat dari mulainya ditetapkan/dilantiknya sebagai menteri di kabinet Indonesia sekarang. Namun disamping itu juga seharusnya Presiden Jokowi sebagai pemimpin di negara ini, harus lebih terbuka terhadap apa yang dibutuhkan oleh para menteri. Karena disamping kekurangan kinerja para menteri, tentu publik pun akan menilai terkait kinerja Presiden Jokowi juga. Alangkah lebih baiknya jika memang transparansi seburuk apapun itu memang perlu dilakukan dinegara kita ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button