Opini

Catur Nugroho: Habituasi Budaya Siber di Masa Pandemi Covid-19

biem.co — Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama tiga bulan ini menciptakan kebiasaan baru di dalam kehidupan masyarakat. Istilah-isitlah lockdown, work from home, study from home, video conference, PSBB dan webinar menjadi istilah yang familiar di berbagai kalangan masyarakat. Kehidupan sosial kita mengalami perubahan yang sangat signifikan, budaya baru muncul dan memaksa kita untuk masuk ke dalam cyberculture atau budaya siber yang sebelumnya diramalkan akan menjadi budaya bagi generasi milenial baru (generasi Z) dan generasi Alpha.

Keterpaksaan untuk tetap tinggal di rumah, ditunjang perkembangan teknologi dan media baru yang revolusioner, telah membuat kita secara suka rela memasuki budaya baru. Bekerja, belajar, sekolah, kuliah, seminar, rapat, belanja, memesan makanan, dan bahkan menonton film atau pertunjukan seni dan konser musik terpaksa kita lakukan dari rumah dengan memanfaatkan dunia maya (dunia siber).

Hubungan dan komunikasi interpersonal, kelompok, organisasi, bahkan publik telah bergeser dari realitas sosial di dunia nyata ke realitas virtual di dunia maya. Dunia siber yang terbentuk oleh kolaborasi internet dan teknologi informasi mampu membentuk masyarakat baru yang biasa disebut masyarakat siber (cyber-society).

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Pierre Levy (2000)  berpendapat bahwa dengan penyebaran internet, bentuk pengetahuan baru dan bentuk-bentuk distribusi baru muncul, bentuk-bentuk baru tidak hanya mengubah cara kita memanipulasi informasi, tetapi sekaligus mengubah masyarakat itu sendiri.

Pandemi Covid-19 telah mengubah bentuk-bentuk hubungan sosial masyarakat di berbagai belahan dunia. Masyarakat yang saling terkoneksi dalam jaringan internet mengalami perubahan dalam hampir semua bidang kehidupan sosial, politik, budaya, bahkan dalam bidang agama.

Pada tahun 2004 Jacub Macek menyampaikan analisis sederhana dari titik dasar pandangan konsep cyberculture. Pertama konsep utopis, dimana cyberculture sebagai suatu bentuk masyarakat utopis yang diubah melewati teknologi informasi dan komunikasi. Budaya siber mulai muncul pada masa komputer generasi pertama dan jaringan pengguna yang melibatkan anggota masyarakat virtual awal yang berkembang melalui jaringan komputer di tahun 1980-an dan awal 1990-an. Di masa pandemi Covid-19 ini mungkin menjadi awal bagi sebagian masyarakat untuk dengan “terpaksa” terlibat dan menjadi bagian dari cybersociety dan sekaligus mengikuti kebiasaan-kebiasaan baru yang membentuk cyberculture ini.

Bagi generasi Z atau yang populer dengan sebutan “generasi rebahan”, mungkin kebiasaan dan ritual berbasis online telah menjadi habitus yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Namun bagi sebagian generasi millenial (lahir 1981-1994) dan generasi X (lahir 1965-1980) kebiasaan baru tersebut suka tidak suka telah merenggut kebiasaan-kebiasaan lama yang telah menjadi zona nyaman mereka.

Sebagaimana Pierre Bordieu menyampaikan konsep habitus sebagai produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan  berinteraksi  dengan  masyarakat  dalam ruang dan waktu tertentu. Bekerja di kantor, rapat dengan rekan kerja atau klien di tempat-tempat yang nyaman, makan siang bersama di sela istirahat, atau ngopi atau nonton film bersama teman-teman seusai jam kerja adalah kebiasaan-kebiasaan atau ritual yang telah kita jalani selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Kebiasaan-kebiasaan yang secara otomatis kita jalani setiap hari tersebut pada akhirnya harus digantikan dengan bekerja dari rumah, rapat online dari rumah, memesan makan siang atau kopi favorit dari rumah, sampai menonton film pun dilakukan dari rumah.

Konsep kedua dari cyberculture adalah konsep informasi, dimana cyberculture sebagai sebuah pemunculan yang berkembang, dan didasarkan pada fenomena retrospektif yang tercermin, dan merupakan suatu set praktek budaya yang memungkinkan kita untuk berurusan dengan informasi baru. Mencari informasi, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan memanfaatkan media sosial atau aplikasi pesan seperti Facebook, Instagram, Line, dan Whatsapp telah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sebagian besar masyarakat selama ini. Termasuk memanfaatkan aplikasi e-commerce atau transportasi daring untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti memesan makanan, membeli obat, membeli pakaian dan perlengkapan rumah tangga.

Ketika dihadapkan pada kebiasaan baru seperti bekerja dari rumah (work from home) atau belajar dari rumah (study from home), tak ayal banyak orang yang mengalami “gegar teknologi”. Kita dipaksa untuk mengunduh dan menggunakan berbagai macam aplikasi atau program yang dapat digunakan untuk menunjang berbagai kegiatan dari rumah tersebut. Untuk dapat melakukan rapat secara online misalnya kita harus membiasakan diri dengan aplikasi Zoom, Google Meet, Google Hangouts, atau Skype yang telah lebih dulu populer.

Konsep ketiga dari Macek adalah konsep antropologis, yang melihat cyberculture sebagai sebuah konstruksi budaya dan rekonstruksi yang berbasis teknologi baru. Dalam konteks masyarakat saat ini, maka perubahan bentuk budaya di dalam masyarakat menjadi hal yang harus disikapi dengan hati-hati.

Dapat kita lihat bagaimana sebagian besar kebiasaan dan ritual kita terpaksa harus dihilangkan atau ditunda. Ritual keagamaan bagi umat Islam misalnya, begitu banyak masjid yang harus meniadakan pelaksanaan ibadah sholat Jumat atau ibadah sholat Tarawih di bulan Ramadan karena wabah Covid-19. Salah satu bentuk ritual yang tak mungkin digantikan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Karena sampai saat ini belum ada ulama yang membenarkan ibadah jamaah sholat Jumat dilakukan secara daring di rumah masing-masing.

Karena pandemi Covid-19, satu hal yang diramalkan akan menjadi habitus bagi generasi Z dan generasi Alpha, ternyata telah muncul menjadi habitus bagi generasi-generasi sebelumnya saat ini. Selamat menikmati habitus baru sebagai bagian dari masyarakat siber, selamat memasuki cyberculture yang maya… (*)


*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Telkom University Bandung, dan Peneliti Senior Indonesia Political Opinion (IPO).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button