Puisi

Sajak-Sajak Sulaiman Djaya

 

Kepada Frischa 

Terjaga pada gerimis pagi
Januari, terpikir olehku
Barangkali bahasa
Tak selamanya memahami
Rasa asing. Seperti si peragu
Yang tak tahu alur hidup
Dan bertanya: Adakah puisi
Jadi tak berdaya.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Misal padamu aku jatuh cinta
Mungkin karena hasratku
Pada apa yang indah.
Seperti gugusan rambutmu
Yang lurus teratur. Kelembutan
Dan ketenangan suaramu
Saat membaca
Larik-larik kata.

Barangkali memang
Hidup tak ubahnya
Menunggu keberangkatan
Di bandara
Seperti yang kau ceritakan
Dengan sajakmu
Sebelum rindu mendebam
Cemas dalam dada

Pada kepulangan.
Tiket di tangan
Tak ubahnya usia
Menuju ajal keabadian.
Misal tentangmu kutulis puisi liris
Sudah pasti tak berarti
Utuh jadi lagu
Untuk dinyanyikan.

(2021)

 

Puisi Era Medsos

Rasa sayangku padamu seperti nasi dan piring, seperti gelas dan air, seperti daun-daun yang mencerai embun bila fajar berlabuh di matamu, seperti ranting-ranting yang menjaring matahari sorehari, seperti apa adanya kamu yang kadang cantik dan kadang membosankan. Tetapi bukan seperti pakaian dan tubuhku yang kulepas dan kupakai sewaktu-waktu, rasa sayangku padamu seperti pagi yang diriuhkan ceracau burung-burung selepas subuh singgah di tebing-tebing sunyi, dan lain-lain dan lain-lain.

Rasa sayangku mengada ketika aku sudah lupa bagaimana ketika aku kepadamu jatuh cinta dan terpesona begitu saja, mirip sebuah sinetron yang ceritanya membuatku mual, barangkali juga ketika aku sudah tak punya hasrat untuk mencintaimu lagi. Rasa sayangku kepadamu justru ada ketika aku tak sanggup menahan rasa marah bila kau cemburu ketika aku jatuh cinta pada perempuan yang lain, bila kau bertanya adakah hatiku terbagi untuk wanita yang lain, dan lain-lain.

(2021)

 

Sajak Gombal

Engkau adalah cuaca yang menggema,
Daun-daun yang merindu.
Engkau adalah rahim kata
Api senja di wewangi bunga.
Sebuah nama

Yang menyusun pintu dan jendela
Rumah bahasa. Aku membacamu seperti puisi
Yang tak pernah usai ditulis. Sebuah nama
Yang menyusun mata malam
Dan langit bintang-bintang.

Sebuah nama yang juga menjelma
Gerimis. Di raut wajahmu ada waktu
Yang menabung rindu.
Telah kutempuh kesunyian panjang
Sebelum denganmu aku berjumpa.

(2021)

 

Amsal Air

Air adalah asal diri
Jadi hujan
Jadi sungai
Kehidupan. Lidah kata

Terlembaga
Bahasa dusta.
Manusia jadi mesin
Dan benda-benda.

Air adalah kasih
Kesabaran.
Sunyi
Yang menghidupkan.

Dan di halaman
Ricik bertabuhan.
Seakan dulu kala
Kanak-kanak berlarian

Ke ketiadaan
Seperti kamu
Berumah hatiku
Memeluk kedamaian.

(2020)

 

Di Dunia Mesin

Di halte dan stasiun, orang-orang menunggu:
ada yang tampak gembira.
ada yang terlihat muram,
ada yang terkantuk,
ada yang membunuh sepinya
dengan berpura-pura

bahagia.
Dan kebanyakan dari mereka
tak saling menyapa
apalagi berbicara.

Si perempuan belia begitu asik
dengan gawainya, juga barangkali
sekedar menyembunyikan kegelisahannya
dengan sebuah mesin.
Aku pun menunggu, dan seringkali bosan
di dunia yang justru menyediakan

segala hal. Dan anehnya, banyak orang
mempercayai para pembual
yang berjualan agama
layaknya para pedagang obat kuat.

Ke mana suaraku?
Di mana bahasaku? Kenapa orang-orang
lebih suka dihasut oleh mereka
yang jualan agama
di tivi-tivi, di youtube
seperti robot dengan tubuh mekanik

yang ditombol segelintir penipu.
Di dunia mesin,
orang-orang tak sanggup berpikir
karena telah menjadi mesin.

(2019)

 

Di Kebon Sirih

Di pedestrian rindang ini, aku pernah membeli
segelas plastik kopi dari seorang ibu,
duduk menunggu seseorang
dan kini seperti
belum lama terjadi
cahaya matahari yang sama
luruh bersama daun-daun kering
disapu seorang bapak
seakan menyapu puing-puing nasib

atau sesosok malaikat memunguti luka-luka
kebiadaban sejarah manusia
dalam perpustakaan yang seringkali
ditulis dengan dusta

dan aku bertanya: tentang apa
puisi mesti ditulis?
Ketika lalu-lalang perempuan-perempuan belia
berseragam dan para pedagang asongan
sama nyatanya di hadapan mata.
Seakan ini kali kesekian aku percaya
bahwa perumpamaan bukan sesuatu tentang
yang tak ada.

Barangkali, seperti ketika aku,
terkenang diam matamu
di kota yang lain, selalu saja, pada akhirnya
yang bagiku senantiasa indah
adalah ketika lelaki jatuh cinta
pada perempuan yang belum dikenalnya
yang memberinya tuah kata
dan bahasa
untuk menuliskan riwayat hidupnya.

(2019)


Sulaiman DjayaSulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button