biem.co — Apa yang menjadi persamaan antara Maudi Koesnaedi, Venna Melinda, Airin Rachmi Diany, dan Tina Talisa? Jika Anda menjawab mereka sama-sama berkarisma, populer dan cerdas saya tidak menampiknya. Namun yang saya maksud bukan itu.
Lantas, apa yang menyamakan antara Zumi Zola, Tommy Tjokro, dan Indra Bekti? Jika Anda mengatakan benang merah di antara mereka hanya keelokan rupa, maka Anda salah besar.
Lalu, apa hubungan antara semua tokoh yang saya sebutkan di atas? Mereka sama-sama pernah menjadi duta wisata di kota/kabupaten masing-masing di masa mudanya.
Tina Talisa pernah dinobatkan menjadi Mojang Jawa Barat sebelum menjadi pembawa acara berita tersohor. Venna Melinda pernah tercatat sebagai None DKI Jakarta sebelum melenggang ke ranah hiburan dan politik. Zumi Zola pernah bertengger dalam daftar Abang Jakarta Selatan sebelum menjadi aktor dan Gubernur Jambi.
Mungkin Anda bertanya-tanya, seberapa signifikan pengaruh pengalaman mereka sebagai alumni duta wisata dalam mendongkrak perjalanan karirnya? Barangkali terkesan subyektif jika diuraikan orang per orang. Namun, dalam riset independen yang saya lakukan terhadap ratusan duta wisata di 70 kota/kabupaten dan 20 provinsi dalam kurun waktu 2016-2018, hasilnya cukup membuat saya tercengang.
Keberadaan duta wisata selama ini memang masih luput dari perhatian publik. Mereka hampir tidak pernah menjadi bahan kajian akademik. Di saat bersamaan, ajang pemilihan duta wisata tidak jarang masih disamakan dengan kontes bertajuk pageant lain seperti Puteri Indonesia dan Miss Indonesia.
Padahal, pemilihan duta wisata lebih dari itu. Ia tidak semata-mata memilih orang yang “enak dipandang”. Di antara aspek penilaian memang berkutat pada kecerdasan (brain), keindahan (beauty) dan perilaku (behaviour). Namun aspek lain seperti keterampilan berbahasa asing dan lokal, berkesenian, dan pemahaman dengan budaya tidak kalah ditekankan. Sehingga tidak berlebihan jika ajang ini merupakan salah satu ajang terbaik dalam pemberdayaan pemuda.
Selama ini memang belum ada definisi baku mengenai duta wisata. Namun yang pasti mereka ialah anak-anak muda terpilih yang telah melalui serangkaian seleksi ketat dari pemerintah daerah masing-masing untuk membantu mempromosikan potensi budaya, pariwisata, dan ekonomi kepada publik. Baik dalam tataran lokal, nasional, bahkan Internasional.
Di Provinsi DKI Jakarta mereka yang terpilih dikenal dengan Abang-None. Di Provinsi Jawa Barat disebut dengan Mojang-Jajaka. Di Provinsi Sulawesi Selatan dinamakan dengan Dara-Daeng. Di provinsi asal saya sendiri Jawa Timur, penamaan bahkan unik di setiap daerah kota/kabupatennya. Misalnya saja Cak-Ning untuk Kota Surabaya, Kakang-Sendhuk untuk Kabupaten Ponorogo, Dimas-Diajeng untuk Kabupaten Ngawi, Kacong-Jebbing untuk Kabupaten Bangkalan, Cung-Ndhuk untuk Kabupaten Tuban, Joko-Roro untuk Kabupaten Malang, Kangmas-Nimas untuk Kota Batu atau Kethuk-Kenang untuk Kabupaten Pacitan. Singkat kata, gelar pemenang ajang ini menyesuaikan dengan budaya setempat.
Berdasarkan hasil riset independen saya, berikut ini beberapa alasan kuat mengapa generasi muda perlu mengikuti ajang duta wisata di kota/kabupaten/provinsi masing-masing.
Mengenal Potensi Daerah
Ini tentu menjadi faktor yang tak terbantahkan. Pasalnya, selama mengikuti ajang ini, para peserta dapat mendapatkan seabrek pelatihan atau pengetahuan mengenai daerah sendiri. Mulai dari aspek sejarah, budaya, pariwisata, ekonomi, hingga sosial politik. Selain itu, juga diajak untuk “turun ke lapangan”. Sehingga, disadari atau tidak, bisa menjadi inspirasi untuk mengembangkan daerah sendiri di masa depan, apapun profesi yang akan ditekuni.
Mendongkrak Soft Skills
Duta wisata di kota/kabupaten manapun dituntut untuk pandai berkomunikasi. Pasalnya, keterampilan tersebut begitu vital selama menjabat atau setelah mengarungi dunia nyata. Kabar baiknya, hampir semua paguyuban duta wisata di seluruh Indonesia memiliki sederet kegiatan untuk mengasah soft skills. Dari seni kepemimpinan, berbicara di depan publik, mengelola emosi, membangun tim, menetapkan sasaran, menyelesaikan masalah, mengorganisir, manajemen waktu, hingga kegesitan menyikapi perubahan atau ketidakpastian.
Membangun Jejaring
Ajang pemilihan duta wisata senantiasa dibanjiri oleh para talent dengan renjana dan bidang yang beragam. Itu mengapa sangat cocok dimanfaatkan untuk membangun jejaring. Singkat kata, kontes semacam ini paling tepat untuk mengenalkan kepada publik mengenai siapa diri kita dan bagaimana kemampuan yang dimiliki dapat bermanfaat kepada masyarakat. Kelak, jaringan yang terbangun tersebut dapat dimaksimalkan untuk mendongkrak karir masing-masing.
Mengenal Diri Sendiri
Di ajang pemilihan duta wisata, kompetitor sesungguhnya bukanlah peserta lain. Melainkan diri sendiri. Pasalnya, tidak perlu menjadi “lebih baik” dari orang lain atau “terbaik” di antara semua peserta. Para peserta hanya dianjurkan untuk menjadi yang terbaik versi dirinya sendiri. Karena para pemenang di daerah manapun biasanya adalah mereka yang mengenali diri sendiri lebih baik. Menerima kekurangan dan kelemahan sama pentingnya dengan mengoptimalkan kelebihan dan kekuatan. Singkat kata, ajang ini sangat cocok untuk membantu peserta mengenali diri sendiri.
Memang, tidak harus menjadi seorang duta wisata yang secara resmi diberikan “selempang kebesaran” oleh pemimpin daerah. Karena siapa saja sebenarnya bisa menjadi duta sesuai dengan kepakaran masing-masing.
Yang perlu diingat, bukan gelar yang sejatinya dikejar oleh para kawula muda. Namun, semangat berjuang dengan mental kesatrialah yang perlu dibiasakan untuk menjadi pribadi yang berkarakter. Itu bisa diperoleh melalui ajang pemilihan duta wisata.
Agung Setiyo Wibowo adalah Self-Discovery Coach, konsultan, penulis, dan pembicara publik. Ia telah menulis 12 buku dan lebih dari 700 artikel yang tersebar di jurnal ilmiah, surat kabar, majalah dan new media. Juga berbicara di 20 kota populer di Indonesia dan 10 kota di Asia-Pasifik. Salah satu buku terbarunya berjudul The Ambassadors’Journey: Cerita Saya dan Para Jebolan Duta Wisata Se-Indonesia.
Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.