Opini

Agus Supriatna: Warisan Politik Dinasti untuk Pandeglang

Sampai kapan Pandeglang menjadi daerah tertinggal?

Oleh : Agus Supriatna

Diawali dengan bismillah, semoga tulisan ini menjadi kado indah untuk kota berkah.

Provinsi Jawa Barat, atau Bandung yang lebih spesifiknya begitu populer di kalangan masyarakat sebagai “Paris van Java” (Parisnya Jawa), karena kabarnya kota tersebut pandai bersolek di segala aspek. Bukan hanya menyoal pendidikan, melainkan kehidupan sosial, budaya, bahkan kulinernya hampir selalu menjadi role model dan magnet tersendiri untuk bisa mendatangkan wisatawan lokal hingga mancanegara.

Penulis memberikan contoh sederhana bagaimana respon kita ketika mendengar kata “Seblak”, atau Cilok. Padahal, kedua contoh makanan yang disebut di atas berbahan dasar amat sederhana dan menjadi khasnya Jawa Barat. Bandung lah yang diuntungkan dalam hal ini dengan semakin tenarnya jenis jajanan tadi, karena telinga dan mulut kita akan terbiasa dan lebih nyaman mendengar serta mengucap istilah Seblak Bandung atau Cilok Bandung. Salah satu kunci keberhasilan tersebut menurut penulis adalah marketing yang masif dengan melibatkan partisipasi masyarakat (Jabar khususnya) yang secara sukarela giat menjadikan jenis kuliner medium class tersebut untuk dapat diterima selain sebagai ikon jajanan, juga passion mereka secara continue. Dan tidak kalah penting pula tentunya adalah leadership style atau dalam hal ini gaya kepemimpinan bupati atau walikota. Lhoo… ko jadi nyalahin pemimpin?

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Merujuk pada sebuah buku yang wajib dimiliki dan dikaji dalam disiplin ilmu pemerintahan dengan judul yang sama karya Prof. Inu Kencana Syafiie (2013:106), disampaikan oleh Pigors bahwa Kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan-perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengeja tujuan bersama.

Dari penjelasan tersebut, jelas terlihat dan dapat dengan mudah dipahami bahwa bagaimana peran atau upaya kepala daerah itu sangat krusial dan penting untuk kejelasan konsep daerah ke depan. Mau seperti apa dan akan bagaimana daerah tersebut tergantung kemampuan serta loyalitas kepemimpinan seorang kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung.

Keberadaan pemerintah itu sejatinya dapat menghadirkan manfaat dan maslahat bagi warga masyarakatnya, contohnya dua kuliner khas tanah Priyangan tadi. Pernahkah kita amati berapa banyak warga Jabar yang meraup keuntungan pundi rupiah hanya dengan berjualan Seblak dan Cilok baik yang tinggal di daerahnya maupun warga perantau seperti di wilayah Jabodetabek, dan kota besar lainnya? Bukankah itu adalah sebuah capaian pemerintah dengan keberhasilan kemampuannya memandirikan masyarakat setempat.

Sementara warga Jawa Barat sedang menikmati keberhasilan khususnya Pemerintah Bandung dalam mengelola roda pemerintahannya, lain halnya jika kita bergeser ke wilayah paling barat yang ada di Pulau Jawa, provinsi hasil pemekaran Jawa Barat pula yaitu Provinsi Banten tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Ya, Kota Santri atau Kota Badak, begitulah julukan yang tertulis di laman wikipedia.

Secara historis, Kabupaten Pandeglang sudah berdiri jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, tepatnya sejak Tahun 1874 silam. Pada 1 April 2019 nanti Pandeglang sudah berusia sekitar 145 tahun. Usia yang tidak lagi muda. Dan biasanya tetap menjadi rutinitas pemerintah setempat mengadakan kegiatan seremonial setiap tahunnya untuk memeriahkan hari jadi kota tersebut. Khusnudzan penulis, pada tiap perayaan selalu ada evaluasi program kerja.

Idealnya, penduduk yang masih hidup di atas tanah Pandeglang dengan modernitas digitalisasi zaman yang luar biasa serba canggih ini seharusnya tidak perlu lagi menyaksikan hal-hal yang dinilai sebagai kemunduran kerja pemerintah daerah, semisal buruknya akses infrastruktur.

Namun itulah realita di Pandeglang, berbanding terbalik dengan quote terkenal salah satu mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang mengatakan “Setiap orang punya jatah gagal, habiskan jatah gagalmu ketika kamu masih muda”, ataukah Kabupaten Pandeglang belum cukup usia untuk dikatakan tua sehingga masih harus menghabiskan jatah kegagalan yang terus berulang?

Sangat mudah ketika kita ingin mencari hal yang seharusnya tidak ditemukan (jalan rusak) di dalam daerah yang konon kini mengusung konsep sebagai kota pariwisata sesuai branding yang bertuliskan “Selamat Datang di Kota Wisata Pandeglang”. Tulisan tersebut terletak di jalur Pandeglang-Labuan, tepatnya di samping Jembatan Dua Goyang Lidah, Desa Curug Barang, Kecamatan Cipeucang, Pandeglang yang juga menuai kritik dari para aktivis setempat juga para akademisi karena dinilai tidak bernilai seni (estetika), meskipun hingga kini belum ada perbaikan dari pihak berwenang. Atau mungkin tidak ada yang perlu diperbaiki. Wallahu’alam

Saat ini, diera kepemimpinan seorang Bupati bernama Irna Narulita dan Wakil Bupati Tanto Warsono Arban yang sudah menjabat selama hampir 3 tahun sejak 23 Maret 2016, Kabupaten Pandeglang masih terperangkap dan terikat dalam Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal. Keseriusan Irna – Tanto mengelola pola pemerintahan dalam kurun waktu 2 tahun ke depan sangat dinanti oleh masyarakat.

Dalam Perpres tersebut tertulis bahwa suatu daerah ditetapkan sebagai daerah tertinggal berdasarkan enam kriteria yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksebilitas, dan karakteristik daerah.

Dari total delapan kabupaten/kota yang berada di wilayah Provinsi Banten, dua diantaranya dinobatkan masuk ke dalam deretan daftar catatan “daerah tertinggal” yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Miris memang ketika timbul persepsi Banten Selatan yang identik dengan keterbelakangan.

Jika dianalisa dalam perspektif politik, kepemimpinan Irna – Tanto merupakan buah atau kepanjangtanganan dari dua dinasti yang ada di Banten. Tercatat Irna Narulita merupakan istri dari politisi yang kini berlabuh dalam nahkoda PKS. Dimyati Natakusumah yang tidak bukan adalah mantan Bupati Pandeglang yang menjabat selama dua periode (2000-2005/2005-2009), dan pada pesta demokrasi 17 April mendatang juga maju sebagai calon legislator bersama 2 anaknya di dapil yang sama dengan 3 partai berbeda.

Sedangkan Tanto Warsono Arban yang meskipun namanya terdengar asing bagi sebagian kalangan masyarakat bawah sejatinya bukanlah aktor “tahu bulat”, namanya sudah sering menempati posisi strategis dalam pemerintahan seperti Ketua Komisi III DPRD Provinsi Banten periode 2014-2016 dan pernah menjadi Ketua KNPI Provinsi Banten. Tanto tidak lain adalah berasal dari dinasti Atut Chosiyah sebagai menantu mantan Gubernur Banten yang kini mendekam di hotel prodeo akibat terjerat kasus korupsi oleh KPK. Dan istrinya, anak dari Atut Chosiyah, saat ini juga maju sebagai Calon Dewan Perwakilan Daerah Banten, Andiara Aprilia Hikmat.

Sebetulnya, penulis tidak begitu alergi atas apa yang disebut sebagai “dinasti politik” yang saat ini bercokol tumbuh subur di Banten bak bulu ketiak, asalkan dalam implementasinya mampu merubah paradigma negatif yang kadung menjadi sebuah rahasia umum. Namun apa yang terjadi dari dominasi kekuasaan ini justru umumnya berimbas petaka dan selalu di posisi sial, wabilkhusus bagi masyarakat setempat yang merasakan dampak secara langsung bagaimana daerah seolah tanpa kemajuan dan diam di tempat bahkan mundur, terutama Kabupaten Pandeglang.

Menurut buku yang ditulis Agus Sutisna (2017) yang saat ini menjabat di Komisioner KPU Provinsi Banten  sedikitnya ada beberapa catatan sisi gelap dari pemilihan kepala daerah secara langsung. Disebutkan sekurangnya ada 4 problematika yaitu mahar politik, money politics, munculnya roving bandits dan praktik shadow state yang keseluruhan permasalahannya tidak mudah untuk diurai karena diumpamakan sungai, empat faktor tersebut adalah merupakan agenda dari hulu hingga hilir. Khusus mahar politik, dianalogikan seperti “kentut” yang keluar dari perut tak sehat, tak tampak tapi bau busuknya menyengat.

Namun apakah sistem demokrasi dengan model pilkada langsung yang kita bangun untuk mencapai tatanan kehidupan ideal harus selalu dicurigai sebagai arena bermainnya para local strongman? Tentulah tidak. Semua kembali pada fitrah manusia dalam hal ini para pemimpin agar benar-benar ikhtiar meluruskan niat. Dapat melalui metode pendekatan spiritual yang menekankan bahwa sekecil apapun tindakan akan dipertanggungjawabkan kelak.

Kembali pada topik awal perbincangan, dimana julukan “The Sunset of Java” untuk Kabupaten Pandeglang terus ditawarkan oleh pihak terkait (dinas pariwisata) guna mendongkrak sektor wisata agar mendapatkan sebuah pengakuan khususnya wisata pantai. Namun malang, hingga kini upaya yang sudah dikemas sedemikian rupa belum juga menghasilkan nilai yang signifikan. Padahal sektor tersebut menjadi salah satu indikator dari lima isu strategis yang dijanjikan pada masa kampanye yang kemudian tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021 masa kepemimpinan Irna – Tanto.

Visi Kabupaten Pandeglang di bawah kepemimpinan mereka adalah terwujudnya Pandeglang Berkah melalui transformasi harmoni agrobisnis, maritim bisnis dan wisata bisnis menuju rumah sehat dan keluarga sejahtera 2020. Sedangkan misinya, yakni memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membangun konektivitas wilayah, meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, meningkatkan nilai tambah sektor maritim, modernisasi pengelolaan potensi wisata, meningkatkan tata kelola pemerintahan dan memperkuat sistem inovasi.

Ikhtiar untuk mencapai visi tersebut memang bukanlah hal mudah, apalagi jika belenggu Perpres 131 tahun 2015 yang sudah disampaikan sebelumnya masih mengikat kuat. Perlu tenaga ekstra dan sedikit gila dalam mengeluarkan terobosan-terobosan inovatif. Namun, terlepas semua masalah tadi semoga ada ‘itikad baik dari Irna – Tanto untuk lebih serius menangani kompleksitas Pandeglang dengan jumlah penduduk total sekitar 1.205.203 jiwa yang tersebar di 35 kecamatan, sehingga dapat berbuah manis hingga masa periode berakhir.

Terakhir, dengan perasaan pilu dan kecewa penulis ingin menyampaikan pesan melalui tulisan ini bagi pemimpin di daerah (khususnya Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pandeglang) agar lebih amanah atas kewenangan yang dimiliki. Hingga ke depan tidak ada lagi kabar beredar (viral) seorang pasien harus ditandu menuju Puskesmas dengan alasan akses jalan yang tidak memadai. Apalagi disusul dengan pembelian unit kendaraan dinas (randis) oleh pemerintah daerah dengan harga fantastik, Rp. 1,9 Miliar. (AS)


Agus Supriatna. Warga pandeglang yang sementara bermigrasi ke kota lain untuk mencari nafkah.

Editor: Jalaludin Ega

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button