CerpenInspirasi

Cerpen Bayu Angora: She’s a Rainbow

 

She’s a Rainbow

Terminal Leuwi Panjang, jam empat belas tiga puluh. Awan yang menggelayut berat di atas sana membuat siang ini terasa seperti menjelang Magrib. Kuperkirakan hujan akan segera turun setengah jam lagi. Kerumunan calo saling menawarkan jasanya.

“Kampung Rambutan… Kampung Rambutan…”

“Lebak Bulus… Lebak Bulus… Lebak Bulus…”

“A, kamana, A?” salah seorang calo menawariku penuh semangat.

Aku tetap berjalan tanpa menanggapi mereka. Bukannya sombong, tapi keadaanku yang tuna wicara ini membuatku harus ekstra hati-hati dalam berkomunikasi. Apalagi hidup di negara yang masih terbilang diskriminatif dan rawan bullying terhadap kaum disabilitas sepertiku ini.

             Aku harus kuat mental. Sebetulnya aku tidak tuna wicara secara total. Aku masih bisa mengucapkan sepatah dua patah kata secara pelan. Namun aku tidak yakin apakah orang yang baru mengenalku akan mengerti dengan apa yang aku ucapkan atau tidak.

“A, ka Jakarta, A? Nu ieu we, A. Patas AC…” calo yang lain menawariku tak kalah semangat, namun aku tetap cuek memilih-milih bus tanpa menggubris tawaran calo tersebut.

“A, Bulus, A?” calo lainnya ikut menawariku.

“Sialan! Masa keren gini disebut bulus!” gerutuku di dalam hati sambil meninggalkan kerumunan calo tersebut.

Meskipun aku seorang tuna wicara, tapi aku tidak pernah merasa minder. Aku menganggap keadaanku yang tuna wicara ini bukan sebagai kekurangan, melainkan sebagai tantangan. Apa yang orang lain bisa lakukan, aku harus bisa, meskipun dengan cara yang berbeda.

             Apalagi kemampuanku yang terbilang multitalent ini, tentu saja membuatku semakin percaya diri. Di masa sekolahku dulu, aku pernah menjadi juara lomba menggambar, lomba aransmen musik, lomba menulis cerpen, lomba bersepeda, dll. Dari tingkat sekolah, kota, hingga provinsi. 

Aku memang orang yang selalu penasaran dengan hal-hal baru, termasuk transportasi. Setiap kali aku bepergian ke Jakarta seperti ini, aku selalu mencoba berbagai macam bus yang ada di situ. Dengan begitu, aku akan tahu mana bus yang pelayanannya baik, dan mana yang buruk.

Aku memilih bus patas AC menuju Kampung Rambutan, Jakarta. Kali ini aku ke Jakarta untuk menghadiri acara pembukaan pameran seni rupa karya para seniman muda, di salah satu galeri yang cukup ternama di Jakarta, besok malam. Aku bersyukur karena salah satu karya lukisanku lolos seleksi dan ikut dipamerkan di sana.

             Untuk tinggal sementara, aku akan menginap di rumah Abdul, mahasiswa jurusan Psikologi yang baru saja buka usaha counter pulsa di garasi rumahnya. Kebetulan lokasi rumahnya tidak terlalu jauh dari galeri yang akan kuhadiri besok.

“Tarahu, tahu… Tahu panas, tahu, tahuuuuu… Tahu, A?” tukang tahu menawariku.

Aku menolaknya.

“Karacang, kacang, kiripik, kacaaaaang… Kacangna, A?” tukang kacang menawariku.

Aku menolaknya.

“Koran, koran… Koran, Koran…” tukang koran menawarkan dagangannya.

Nah, kalau yang ini patut dibeli nih. Aku memang bukan orang yang rajin beli koran. Tapi kalau untuk hari Minggu, sebisa mungkin aku menyisihkan uang untuk beli koran. Karena hanya di hari Minggu saja koran-koran biasanya memuat cerpen, puisi, dan ulasan seni.

“Koran, A?” tukang koran itu menawariku.

            Aku pun menunjuk dua koran yang berbeda sambil menyodorkan uang.

Dua koran yang berbeda. Sama-sama ternama, dan sama-sama memuat rubrik sastra. Kubaca koran pertama langsung ke halaman cerpen dan puisinya. Koran ternama yang satu ini biasanya hanya memuat cerpen dan puisi dari orang-orang yang sudah saling kenal, yang bisa dibilang itu-itu saja.

            Kubaca koran yang satunya lagi langsung ke halaman cerpen dan puisinya. Untuk yang satu ini sepertinya lebih fair. Setidaknya masih mau memuat karya sastra dari orang-orang baru yang tidak itu-itu saja.

“Kampung Rambutan berangkaaaat…” kondektur menutup pintu bus setelah satu penumpang terakhir naik.

Wanita cantik tersebut celingukan mencari tempat duduk sambil menuju ke arahku. Mataku tertuju pada kaos hitamnya yang bergambar logo lidah Rolling Stones, band favoritku.

“Kosong?” suaranya mengalun lembut.

Aku tersenyum mengangguk mempersilakan duduk.

“Terima kasih,” katanya sambil mengisi tempat duduk kosong di sebelahku.

* * *
Satu jam lebih menghantarkanku ke Tol Cipularang, tol yang sengaja dibuat membelah gunung supaya akses Bandung – Jakarta lebih dekat dan cepat.

“Boleh ditutup ACnya?” wanita di sebelahku memecah kebekuan.

            Aku tersenyum mengangguk mengiyakan.

“Dingin banget. Mana lupa bawa jaket lagi,” katanya.

            Aku menawarkan jaket dari dalam tasku kepadanya. Awalnya dia segan dan menolaknya. Namun setelah kutawarkan untuk kedua kalinya, dia memakainya.

“Terima kasih,” katanya tersenyum padaku.

            “Sama-sama,” aku menjawab semampuku, pelan dan terbata.

Dia heran sejenak. Lalu dia mulai menyadari bahwa aku tuna wicara.

“Ke Jakarta sendirian?” dia bertanya.

Aku mengangguk sambil menyodorkan undangan pameran seni yang akan kuhadiri besok malam.

“Kamu ikut pameran?” dia bertanya.

Aku mengangguk sambil menunjuk namaku di list peseta pameran pada undangan tersebut.

“Wah. Hebat ya!” dia kagum.

“Terima kasih!” jawabku terbata.

“Oh, iya. Namaku Rainbow,” dia menyodorkan tangannya.

“Richard,” aku mengenalkan diri sambil menyalaminya.

Dia memberikan kembali undangan pameranku namun aku memberikan isyarat suapaya dia menyimpannya. Aku memperlihatkan kepadanya bahwa aku masih punya undangan satu lagi. Dia pun berterima kasih.

A beautiful angel has a beautiful name. Seperti salah satu judul lagu favoritku, She’s a Rainbow. Di luar sana hujan semakin deras dan dingin. Di dalam sini ada yang bertukar cerita, semakin akrab dan hangat.

* * *
Terminal Kampung Rambutan sudah dekat. Aku merasa perjalanan Bandung – Jakarta kali ini terasa lebih cepat dari biasanya. Tentu karena ada sesuatu yang membuat perjalananku lebih istimewa dari biasanya. She’s a Rainbow.

“Kalau mau balik ke Bandung, kasih tahu aku ya. Siapa tahu kita bisa bareng lagi,” katanya.

            Aku mengangguk. Dia mengembalikan jaketku yang dipinjamnya sepanjang perjalanan. Tidak lama kemudian, dia menyebutkan nomor ponselnya lalu aku save nomornya di ponselku. Ketika aku hendak melakukan panggilan ke nomor tersebut, ternyata pulsaku habis. Aku lupa belum beli pulsa karena niatnya memang mau isi pulsa di counter barunya Abdul.

Bus telah sampai di Terminal Kampung Rambutan. Rainbow pun langsung pamitan dan turun menuju mobil keluarga yang menjemputnya. Sedangkan aku berjalan ke arah lain menyusuri hujan untuk memesan taksi menuju rumah Abdul.

* * *
Sesampainya di rumah Abdul, badanku basah kuyup. Maklum, rumah Abdul ada di ujung gang yang tidak bisa dimasuki mobil. Jadi aku harus melewati gang tanpa bisa menghindari hujan yang cukup deras.

             Tampak beberapa orang sedang berkumpul di counter barunya. Mungkin pelanggan yang sedang isi pulsa, atau sedang berkonsultasi, atau juga sekadar nongkrong dan bergosip. Abdul yang sedang melayani para pelanggannya tersebut tiba-tiba heboh menyambutku.

“Selamat datang seniman muda kita! Wah, kehujanan nih,” Abdul berdiri menyambutku.

            Aku tersanjung disambut dan disebut seniman muda seperti itu. Tidak lupa Abdul juga mengenalkanku pada para pelanggan di counter Abdul yang ternyata teman-teman satu kompleksnya. Aku pun menyalami mereka satu per satu. Dari caraku menyebutkan nama yang sedikit terbata, sepertinya mereka mulai paham bahwa aku tuna wicara.

Sebagai teman lama yang paling paham mengenai aku, Abdul turut menjelaskan pada mereka mengenai berbagai kegiatan dan prestasiku. Mereka pun tampak kagum dan antusias ketika Abdul menceritakan bahwa aku sering menjadi juara berbagai lomba hingga rumahku dipenuhi piala. Sungguh aku bangga sekaligus bahagia memiliki teman baik seperti Abdul yang selalu support terhadap karya-karyaku.

            “Oh iya. Katanya mau isi pulsa?” Abdul menawarkan bisnisnya.

            Lalu aku menyodorkan uang lima puluh ribuan. Aku termasuk irit dalam hal pulsa. Karena aku hanya memakainya untuk SMS dan internet, bukan untuk panggilan telfon.

            “Yang lima puluh ribu? Ke nomormu yang biasa?” Abdul mengecek ponselnya.

            Aku mengangguk sambil merogoh kantong celana. Ponselku basah kehujanan. Kucoba menghidupkan ponselku tapi tetap tidak bisa menyala. Abdul ikut mengecek ponselku dan sepertinya ponselku memang rusak.

“Komponen banyak yang kena. Sepertinya harus beli ponsel baru nih,” Abdul mulai pesimis.

Aku coba alihkan sim card dari ponselku ke ponselnya Abdul. Sial! Ternyata tadi aku menyimpan nomornya Rainbow di internal ponselku yang kehujanan itu. Bukan di email ataupun di sim card. Melihatku sedih, Abdul dan teman-temannya mencoba menenangkanku. Mereka tidak tahu bahwa yang membuatku sedih bukanlah kehilangan ponsel, melainkan kehilangan Rainbow.

Tiba-tiba aku teringat dengan undangan pameran seni rupa yang aku berikan pada Rainbow tadi. Masih ada secercah harapan. Semoga dia besok malam bisa ikut menghadiri acara tersebut. Hujan mulai reda. Kutengadahkan wajahku ke arah langit. Baru kali ini aku melihat ada pelangi membentang di malam hari. (*)


Bayu Angora
Freethinker | Musician | Visual Artist
Website: http://angora.me
Twitter: twitter.com/BayuAngora
Facebook: facebook.com/BayuAngora

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button