Opini

Imron Wasi: Pondok Pesantren dalam Harakah SDGs Desa

biem.co — Dalam sebuah catatan yang telah dipublikasi oleh Kementerian Agama dalam Pangkalan Data Pondok Pesantren menyebutkan bahwa jumlah pondok pesantren tercatat sebanyak 26.974 pesantren. Dalam catatan tersebut, terdapat kluster atau tipe pesantren, yaitu: (i) satuan pendidikan; dan (ii) penyelenggara satuan pendidikan; yang masing-masing memiliki jumlah yang berbeda.

Sementara itu, untuk satuan pendidikan, misalnya, terdapat 12.668 dan penyelenggara satuan pendidikan sebanyak 14.306. Seperti yang telah diilustrasikan dalam komposisi di atas, hal ini secara eksplisit menunjukkan telah terjadi peningkatan yang begitu besar dan pesat dalam aspek jumlah pondok pesantren, apabila ditelisik dari tahun 1977 (4.195 pesantren) dan 1981 (5. 661 pesantren) hingga saat ini.

Pada saat yang sama, pada kurun waktu 1977-1981, telah terjadi peningkatan yang cukup dalam mobilitas pembangunan pesantren. Akibatnya, pondok pesantren sebagai entitas yang heterogen pun mengalami transformasi di berbagai sektor. Hal ini mengimplikasikan bahwa ponpes tumbuh di berbagai wilayah di tanah air, baik di kota-kota metropolitan, terlebih di pedesaan. Selain itu, pada saat yang bersamaan, seiring peningkatan kuantitas pondok pesantren, secara faktual terdapat sejumlah problematika yang sampai saat ini masih begitu kentara dan tak bisa dinafikan dalam historis perjalanan pondok pesantren.

Pondok pesantren sebagai entitas sosial yang terletak di aras akar rumput mempunyai peranan yang sangat strategis dalam membentuk dan mewujudkan cita-cita nasional dan agama dalam mengurai dan/atau menghilangkan kesenjangan sosial, diskriminasi, kemiskinan, dan hal ihwal lainnya, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial seperti yang telah tercantum dalam diktum konstitusi. Spirit inilah yang semestinya dapat terus tumbuh di kalangan warga dunia, seperti yang telah diungkapkan oleh Epictetus, terutama dalam hal ini di Indonesia. Meski demikian, menurut Kuntowijoyo (2018), menggambarkan bahwa masalah pokok yang terjadi di Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan.

Kemudian, ia juga mengemukakan adanya dua elemen kesenjangan, yaitu: (i) kesenjangan natural (alamiah); dan (ii) kesenjangan struktural. Keduanya memiliki makna dan penanganan yang berbeda, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Pertama, dalam kesenjangan natural, Al-Quran telah mengilustrasikan kata duafa (orang kecil) dalam Surah Al-Baqarah (2): 266. Demikian Surah itu menyatakan, “apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil (dhu’afa’). Maka kebun itu dituiup angin keras yang mengandung api lalu terbakarlah. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.”

Kedua, dalam mustadh’afin (teraniaya), Al-Quran juga sudah memberikan gambaran secara gamblang mengenai kesenjangan stuktural. Seperti, dalam Surah An-Nisa’ (4): 75, yaitu: “mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari isi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”

Meminjam istilah Kuntowijoyo, kata “berperang” di atas menunjukkan kondisi atau ukuran zaman itu. Menurutnya, sebagai salah satu komitmen dan/atau serius-Nya Tuhan. Beberapa bulan dan/atau tahun terakhir, pemerintah mempunyai komitmen utuh untuk meningkatkan kesejahteraan, baik di desa maupun di kota, agar tidak terjadi ketimpangan, kesenjangan, dan kemiskinan.

Oleh karena itu, kementerian/lembaga pemerintah berupaya menangani hal tersebut dengan melakukan pelbagai mekanisme, termasuk dukungan terhadap dunia pondok pesantren melalui regulasi yang sekaligus dapat memerhatikan kondisi ponpes dengan memberikan sejumlah kekuatan finansal dan program atau kegiatan pemerintah lainnya, seperti program yang hadir di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Dalam literatur lain, kita mengenalnya sebagai SDGs Desa.

Relasi Ponpes terhadap Tranformasi Desa

Dalam studinya, Zamakhsyari Dhofier, menyebutkan lima unsur yang membentuk pesantren, yaitu: pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiai. Seiring berkembang dan tumbuhnya ponpes secara mutakhir, mengalami transformasi pula dari aspek yang lain, misalnya, seperti yang telah dikemukakan oleh Soedjoko Prasodjo et al terdapat ruang-ruang keterampilan, universitas, gedung atau aula pertemuan, auditorium, sekolah umum, dan lain-lainnya.

Relasi ponpes dengan desa perlu mendapatkan perhatian serius, karena konsep ponpes dan desa sudah menemui titik terang, tinggal pelaksanaan secara praksis riil. Bahkan, Kuntowijoyo (1991) sudah menyebutkan bahwa lembaga pesantren mempunyai tingkat “sustainable”. Hal ini sesuai dengan spirit SDGs Desa yang diprakarsai oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Seperti yang sudah diketahui, SDGs Desa memiliki beberapa komponen, yaitu: desa tanpa kemiskinan; desa tanpa kelaparan; desa sehat dan desa sejahtera; pendidikan dan berkualitas; keterlibatan perempuan desa; layak sanitasi dan air bersih; desa berenergi bersih dan terbarukan; pertumbuhan ekonomi desa merata; infrastruktur dan inovasi desa sesuai kebutuhan; desa tanpa kesenjangan; kawasan pemukiman desa aman dan nyaman; konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan; desa tanggap perubahan iklim; desa peduli lingkungan laut; desa peduli lingkungan darat; desa damai berkeadilan; kemitraan untuk pembangunan desa; dan kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Dalam konteks ini, terlihat sangat jelas bahwa spirit ini sangatlah sesuai untuk mengikis kesenjangan dan kemiskinan. Terbukti, dalam SDGs Desa juga ditampilkan fokus dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita agama dan nasional. Tak hanya itu, SDGs Desa pula selaras dengan spirit egaliter, melibatkan perempuan sebagai subjek pembangunan, dan sejenis elemen SDGs lainnya. SDGs Desa in bisa dilaksanakan dengan maksimal, apabila dilakukan secara bersama-sama, dalam hal ini, hubungan kemitraan dengan pondok pesantren. Keterlibatan pondok pesantren dalam pembangunan sangatlah substansial bagi akselerasi orientasi nilai pembangunan.

Konsep ini dikenal sebagai ‘value-oriented development’. Konsep ‘value-oriented development’ memiliki hubungan dekat dengan pemikiran Weberian tentang perlunya sebuah etika. Dengan kata lain, Kuntowijoyo memaknainya sebagai aktivitas-aktivitas yang lahir atas dorongan nilai atau yang mendapat pembenaran dari khazanah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Terlepas dari konsep yang sangat menarik di antara keduanya, tanpa ada kualitas sumberdaya manusia dan lembaga yang belum kompeten, maka akan cukup sukar untuk menciptakan dan mengembangkan pembangunan yang berorientasi nilai. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP), Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan unsur stakeholders lainnya untuk mempercepat transformasi desa.

Selama ini, komunikasi dan koordinasi secara horizontal maupun vertikal kurang berjalan baik. Seharusnya secara intensif FSPP, DMI, dan ormas keagamaan lainnya menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik, agar akselerasi pembangunan bisa terwujud sesuai yang dicita-citakan agama dan negara.

Pondok Pesantren Ujung Tombak Pembangunan

Pesantren bukan lagi sebuah lembaga yang tertutup dan esotoris. Lembaga ponpes sudah tumbuh dan menjadi sebuah network (Kuntowijoyo, 1991). Oleh karena itu, pondok pesantren menjadi pionir transformasi desa. Setelah terbitnya regulasi yang membahas ponpes merupakan angin segar. Sebab, dengan adanya regulasi tersebut, akan membuka network, seperti yang telah dikatakan oleh sejarawan dan budayawan di atas. Kini, pondok pesantren yang sudah memiliki badan hukum seringkali mendapatkan bantuan dana untuk keperluan pembangunan peningkatan sumberdaya manusia maupun fisik.

Dengan demikian, dengan adanya bantuan tersebut, diharapkan dapat lebih maksimal dalam menumbuhkan nilai-nilai etika dan norma sesuai ketentuan risalah keagamaan. Karena, risalah pondok pesantren ke depan dapat menjelma menjadi model pelestarian ajaran-ajaran Islam di tengah arus globalisasi yang tak terbendung. Terlebih, dapat menguatkan fondasi keimanan dan ketaqwaan melalui pembelajaran, sekaligus dapat menumbuhkan kreativitas santri-santri di pondok pesantren.

Ponpes tidak boleh tergelincir, dalam bahasa lain, tidak boleh meninggalkan relnya. Sebab, kalau pondok pesantren sebagai intitusi tergelincir dari relnya, sudah barang tentu akan menjadi institusi otoritas dan kekuasaan atau kata Aguk Irawan M.N (2018), menyubordinasi kebebasan santri sebagai manusia yang kompleks.

Sebagai institusi, pondok pesantren memiliki dwi peran, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Kuntowijoo (1991), yaitu peran pendidikan dan peran sosial. Oleh karena itu, ponpes memiliki peranan yang sangat penting atau menjadi ujung tombak pembangunan. Sebelum ikutserta membangun, FSPP sebagai tempat berkumpulnya para pimpinan pondok pesantren semestinya dapat membuat konsep pembangunan yang sesuai napas Islam yang disesuaikan dengan kultur masyarakat. Agar konsep tersebut menjelma dan menciptakan pengembangan yang dahsyat di aras pedesaan maupun pesisir.

Terlepas dari itu semua, tampak secara faktual, feodalisme di pondok pesantren juga begitu tinggi. Egaliternya konsep SDGs Desa dengan konsep risalah agama semestinya dapat lebih menghargai kesetaraan dengan membuka hubungan saling menghormati satu sama lain. Membangun spirit dialektika atau dialog yang komprehensif. Tampaknya, secara faktual, kita masih terjebak pada praktik feodalistik.

Selanjutnya, untuk membangun dan membina komunikasi dan koordinasi, FSPP juga seharusnya dapat membuat iklim yang lebih terbuka, seperti yang telah dijelaskan di atas, ponpes bukanlah lembaga eksklusif atau tertutup lagi. Misalnya, FSPP dan stakholders terkait dapat membuat akuntabilitas yang ideal kepada khalayak publik, karena pembiayaan yang diberikan pemerintah melalui anggaran negara, kecuali yang tidak mendapatkan bantuan dana karena belum mendapatkan badan hukum. Selain itu, untuk mengimbangi perkembangan zaman, teknologi komunikasi dan informasi juga harus segera dibenahi.

Jika melihat potensi ekonomi di pedesaan, semestinya ponpes membuka dan menciptakan koperasi dan pembangunan UMKM agar tidak memiliki ketergantungan terhadap dana yang digelontorkan pemerintah. padahal, dengan kekuatan koperasi dan UMKM, ponpes akan menjadi kekuatan yang dahsyat dan dapat menjadi lembaga yang mantap.

Dalam potensi ekonomi tersebut, terlihat teknologi hanya memiliki 366. Kemudian, maritim (318), agribisnis (1479), vokasional (112), koperasi, UKM, dan ekonomi Syariah (1844), peternakan dan perkebunan masing-masing (1053 dan 1142), pusat kesehatan, olahraga, dan seni budaya memiliki jumlah (349, 797, dan 716). Jika melihat data grafik di atas, memperlihatkan bahwa tingginya koperasi, UKM, dan ekonomi syariah (1844) tidak diikuti dengan peningkatan teknologi yang hanya berada dikisaran 366.

Secara umum, di tengah peradaban kontemporer, kerja sama sangat dibutuhkan, terlebih di masa pandemi seperti ini. Dibutuhkan komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan yang berorientasi nilai. Terlebih peningkatan kapasitas dan kompetensi santri dan masyarakat. sebab, sedari awal, ponpes sangat melekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, transformasi perlu mewujud di pondok pesantren dan lingkungan masyarakat. (*)

Tentang Penulis

Imron Wasi adalah seorang pria kelahiran Lebak, Banten. Lahir pada 13 April. Kini, ia aktif sebagai peneliti sekaligus Direktur Sekolah Karakter di Banten Institute for Governance Studies (BIGS), Selain itu, penulis juga meminati kajian seputar politik, pemerintahan, gender, dan kebijakan publik. Menulis sejumlah artikel di berbagai media. Di antaranya yakni pernah dimuat di majalah, media cetak dan media online. Buku-buku yang pernah dipublikasi yaitu berjudul, “Politik, Partai Politik, dan Perempuan: Frontstage and Backstage; Sebuah Catatan”. Dan “New Normal: Perspektif Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik Kontemporer.” Penulis dapat dihubungi melalui: [email protected].

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button