Kabar

Eko Supriatno: Manusia Otonom

biem.co – Banyak peristiwa traumatis terkait penyampaian kritik yang ujung-ujungnya berujung bui. Ketakutan untuk menyampaikan kritik bisa jadi merupakan imbas adanya pasal 45 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik. Juga pasal 45a dan 45b yang banyak menjerat pengguna media sosial terkait penyampaian ujaran kebencian, ancaman kekerasan, dan menakut-nakuti.

Rasa takut untuk mengkritik semakin memuncak tatkala dihadapkan pada pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa. Pasal itu sebenarnya tidak bisa secara otomatis diberlakukan. Sebab, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pasal 207 KUHP tidak dapat dikenakan terhadap seseorang apabila sebelumnya tidak ada pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang merasa dirugikan (delik aduan).

Jika melihat berbagai pasal di atas, seolah kita terjebak dalam dimensi bahwa mengkritik sama halnya dengan menghina ataupun menyampaikan ujaran kebencian. Padahal, UU Nomor 9 Tahun 1998 juga memberikan keleluasaan dan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dalam hal tersebut, penulis berpendapat bahwa masyarakat yang menyampaikan masukan dan kritik harus dianggap bukan sebagai tindak kejahatan. Melainkan bentuk partisipasi dan pengawasan publik, sekaligus ekspresi masyarakat atas berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.

Menurut penulis, sebuah kritik tidak boleh langsung dimaknai sebagai penghinaan jika belum memenuhi pembuktiaan seluruh unsur kebenaran objek kritik tersebut. Malah bagus sebuah ‘kritik’ itu, untuk membuka setiap diskursus agar publik bicara persoalan dalam percakapan-percakapan berkualitas dan diskusi dalam tataran yang bermutu. Masyarakat yang menyampaikan masukan dan kritik merupakan bagian kebebasan berpendapat.

Manusia Otonom

Pemaknaan manusia otonom selalu multitafsir. Tergantung dari sisi mana memberi interpretasi, manusia amat leluasa membangun persepsi dan cara berpikirnya sendiri. Olah pikir, olah rasa dan olah raga sepenuhnya ada dalam kontrol otoritas yang kita miliki.

Manusia adalah otonom, tidak dikekang orang lain, apalagi dijajah orang lain. Manusia otonom merupakan barometer utama dalam tata kehidupan yang dijelaskan kehidupan, maka makhluk yang menghuni bumi setara dan sederajat. Karena itu, tak salah kalau manusia adalah otonom, tidak dikekang orang lain, apalagi dijajah orang lain. Manusia otonom adalah manusia yang ‘membebaskan’ dari dari penghambaan terhadap apapun, termasuk penghambaan kepada sesama manusia dan seluruh materi.

Manusia otonom adalah manusia menunggalkan penghambaan hanya kepada Tuhan semesta, membebaskan manusia dari dunia yang sempit menuju dunia yang luas, serta dari kesewenang-wenangan. Manusia otonom adalah manusia yang meneguhkan sikapnya untuk ‘bebas merdeka’, demi sebuah ‘otonom’, bukan pula manusia yang secara liar tak mau diatur. Manusia otonom adalah manusia sudah bisa berdiri sendiri, lepas dari tuntutan apapun, tidak terikat atau tergantung pada pihak mana pun, bersifat leluasa, yang terletak pada kedalaman hati manusia. Setiap orang yang berhasil menjaga hatinya dari niatan tidak baik keserakahan, kerakusan, dendam kesumat, dan kebencian tetapi membiarkan diri dikuasai oleh cinta kasih, kepedulian dan pengorbanan adalah manusia otonom. Manusia otonom adalah manusia yang telah mencapai jati dirinya sehingga dia bisa ‘membebaskan dirinya juga orang lain.

Menjadi manusia otonom itu artinya menjadi manusia yang sudah terbebas dari rasa takut. Karena ketika manusia masih diliputi rasa takut, ia masih terbelenggu atas beban yang dibuatnya sendiri. Jadi, dalam arti tertentu, inilah dasar dari segala kebebasan. Dalam situasi ketakutan, manusia sulit melakukan sesuatu. Dengan kata lain, hanya dalam rasa aman seseorang bisa bertindak dan berpikir tenang. Rasa takut membuat pikiran tumpul dan tidak produktif. Beban karena tidak mau melihat pembebasan yang telah diberikan Tuhan. Selalu kuatir akan hidup yang serba tidak berkecukupan, padahal sudah diberi berkat berkelimpahan. Semisal, ketika kita tidak mau bersyukur atas nafas yang telah Tuhan berikan secara percuma.

Semakin kita biarkan ada pihak lain mengkolonisasi kebebasan kita untuk otonom berpikir, otonom berperasaan dan otonom bertindak, maka selamanya hidup akan terbelenggu dan terjajah. Tidak ada celah untuk memimpikan kebebasan itu tiba dan benar-benar membebaskan. Oleh karena itu, sebelum membebaskan yang lain, sebaiknya diri sendiri dulu yang otonom dari rasa takut. Saat ini, rasanya masih banyak warga yang mengalami ketakutan. Masih ada yang belum bebas dari rasa takut menjalankan hak yang paling hakiki, melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan pahamnya.

Inilah ‘otonom asasi’ yang belum terpenuhi untuk sebagian warga. Dengan bahasa lain, masih ada orang yang sudah otonom lama tapi tetap berada dalam “ketidakotonoman” batiniahnya. Itulah barangkali simpul dari makna Manusia otonom ini.

Keberanian masyarakat untuk aktif memberikan kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintah adalah cerminan dari hakikat ‘manusia otonom’, masyarakat bisa memilih, mengkritik atau memuji. Masyarakat memilih dan mengkritik. Kenapa disalahkan?

Sungguh keliru besar jika ada orang yang menganggap kebebasan berpendapat harus diartikan sebagai memuji pemerintah saja. Mestinya, prinsip bebas berpendapat itu diartikan bahwa seseorang bisa memilih pendapat yang mendukung maupun yang tidak mendukung.

Dalam konteks ini, tidak salah kalau Pembukaan UUD 1945 menegaskan “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Ketegasan Pembukaan UUD 1945 bila kita lihat dalam akar teologi ‘manusia otonom’. Pemaknaan setara dan sederajat ‘manusia otonom’ adalah kekuatan teologis yang bisa membuktikan kompetisi kehidupan di alam jagat raya “hanya” dimenangkan oleh kaum yang ‘bebas merdeka’. Makanya penjajahan yang terjadi, yang justru mengerdilkan makna ‘manusia otonom’, jelaskan berlawanan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Dalam Alquran bahkan dinyatakan bahwa segala bentuk pemasungan kebebasan dan kemerdekaan sangat bertentangan dengan nilai Islam yang diajarkan Nabi Muhammad.

Mari kita ‘bebas merdekakan’ Indonesia dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan. Mari kita ‘bebas merdekakan’ Indonesia dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan sosial. Kita lahirkan Indonesia baru dengan nama ‘manusia otonom’ sehingga terbuka jendela rahmat Tuhan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama.


Eko Supriatno, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan UNMA Banten, Penekun Kajian di Lorong Diskusi, Ketua Departemen Humas Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA)

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button