Film & MusikHiburan

Pemutaran Film Dokumenter “Aroma of Heaven” dan Diskusi Terbuka di Umah Budaya Kaujon

KOTA SERANG, biem.coMengapa film? Mengapa “Aroma of Heaven?” Mengapa kita butuh berdialog? Tiga pertanyaan itu yang kemudian saya ajukan kepada Destian, founder Bimasena Visual. Sebagai Project Dierctor di Umah Budaya Kaujon, saya memiliki tanggungjawab penuh atas apa yang terjadi di rumah kuno jaman Belanda yang dikelola sebagai ruang alternatif bagi pelaku pegiat seni budaya, maka munculah obrolan kecil seperti di atas saat pertama kali Destian ingin berkolaborasi.

Dari tiga pertanyaan tersebut, obrolan kami liar kesana-kemari dan menjadi begitu melebar. Ada kerinduan Destian terhadap geliat putar film keliling yang sempat ramai dilakukan oleh kawan-kawan sineas di Serang, jaringan antar komunitas film lokal yang sekarang dirasa sudah jarang melakukan hal tersebut. Destian ingin memulai kembali memberikan pantikan kecil kepada komunitas film lokal di Banten khususnya di Kota Serang untuk kembali bersilaturahim melalui kegitan putar film keliling.

“Aroma of Heaven” menjadi pilihan film yang diputar dengan genre dokumenter. Kejujuran yang terdapat di dalam film dokumenter ternyata menjadi salah satu kesukaan Destian sebagai sineas di Serang. Dalam film tersebut mereka menceritakan bagaimana sejarah kopi di Indonesia dari sejak masa penjajahan Belanda hingga pada saat ini. Film tersebut tidak hanya sebatas film yang bercerita tentang kopi dan petani kopi, namun bagaimana kopi bisa menjadi pusat perputaran ekonomi di Indonesia.

Saya tahu persis Destian juga menyenangi dunia kopi hingga merintis usaha kedai kecil kopi bernama Kopi Semar yang juga merupakan alasan kuat kenapa topik yang diangkat adalah kopi. Di sini kemudian saya melihat dan menyadari satu hal, beberapa kedai kopi di Serang banyak sekali yang memberikan ruang alternatif kepada pelaku pegiat seni budaya seperti Padepokan Kupi, 51 derajat, Kopi Rona, Unrest Caffe, Well of Seven, dan Umakite. Beberapa kedai kopi yang saya sebut di atas memiliki kapasitas ruang yang cukup untuk berpameran ataupun melakukan pertunjukan mini. Hal ini yang kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan saya setiap kali ada beberapa teman yang berkunjung ke Umah Budaya Kaujon dan lalu mempertanyakan Umah Budaya Kaujon kedai kopi atau bukan.

Umah Budaya Kaujon milik Syalita Fawnia ini memang dikelola sebagai ruang alternatif yang memang memiliki kantin kedai kopi, kebetulan Kopi Semar ada di dalamnya. Kami mencontoh beberapa alternative space di luar kota Serang yang memang dirasa sangat pas apabila memiliki kantin untuk memudahkan kawan-kawan yang sedang berkegiatan agar tidak perlu jalan jauh keluar hanya untuk beli minum.

Semua hal tersebut berhubungan dengan kondisi saat ini di Serang. Dengan keterbatasan ruang berkesenian yang dikelola kota dan provinsi, maka munculah kedai-kedai kopi tersebut sebagai ruang alternatif. Maka ketika Umah Budaya kaujon muncul sebagai sarana ruang berkesenian untuk kawan-kawan pelaku seni, tak menutup kemungkinan dianggap sebagai kedai kopi.

Hal ini sangat menarik. Kekuatan kolektif antar pemilik kedai kopi, pecinta dan penikmat kopi, serta pelaku seni budaya yang juga selalu menyeruput kopi menjadi collaboration collective tanpa disadari. Koneksi terhubung satu sama lain dan keresahan ditampung bebrsama sehingga melahirkan solusi-solusi mutakhir. Masuklah ke pertanyaan saya yang ke-tiga, mengapa kita butuh berdialog?

Saya dan Destian merasa berdialog atau ngobrol santai antar sesama penyeruput kopi, bahkan dari dialog kopi kreatifitas seorang creator seni dapat mucul, dari pembahasan isu sosial sampai ke isu lingkungan. Terbukti saat acara berlangsung pukul 19.30WIB film diputar, lanjut diskusi setelahnya kami kedatangan pemilik Padepokan Kupi yaitu om Aliyth Prakarsa. Ia sendiri sebagai penikmat seni merasa bahwa kopi tak sekedar hanya secangkir air berwarna hitam yang rasanya pahit, lebih dari itu terutama pada keajaiban kelahiran-kelahiran creator seni yang saya sebut tadi mampu muncul dari segelas dialog kopi.

Malam itu jumlah yang hadir memang bisa dihitung jari. Ini hal yang menarik pula bagi saya. Selain masalah waktu yang bentrok, apakah hasrat menonton film lokal mulai menurun? Ini hanya pikiran iseng saya saja sebenarnya yang selalu mempertanyakan apapun sebagai bentuk catatan dan refleksi diri. Tapi dari situ saya belajar bahwa kuantitas tidak menentukan kualitas.

Saya berharap dari kopi ini bisa menjadi perpanjangan tangan dan harapan dari konsistensi semangat pelaku seni, pemilik kedai kopi, dan semua apresiator seni penyeruput kopi. (Putri Wartawati)

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button