InspirasiOpini

Mewacanakan Wacana Bahasa Indonesia untuk Bahasa ASEAN

Oleh : Ferdiyan Ananta *

Kehadiran wacana bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN tidak dapat dilontarkan secara monolog oleh pemerhati atau pegiat bahasa Indonesia yang merupakan “orang Indonesia”, karena akan memberi kesan bahwa wacana bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN semata-mata “klaim” yang tergesa-gesa dan ambisius.

biem.coBukan sesuatu yang mengkhawatirkan ketika mewacanakan tentang perkembangan bahasa suatu negara sebagai bahasa negara tempat bahasa tersebut digunakan, tapi menjadi sangat berbeda ketika mewacanakan suatu bahasa dari suatu negara sebagai bahasa bagi banyak negara. Banyak sekali yang harus dipertimbangkan dengan seksama untuk tidak melahirkan respon yang kontraproduktif. Akan banyak tantangan yang perlu dihadapi secara tangkas, lebih dari sekadar tentang keberadaan, keberkembangan, dan pertumbuhan jumlah penggunanya, melainkan persoalan batas negara, kepentingan-kepentingan politik, dan perbedaan konsep akulturasi budaya ketika pun bahasa suatu negara yang diajukan sebagai bahasa banyak negara melalui jalur kebudayaan.

Di dalam “kekhawatiran”, pewacanaan dan pelaksanaan untuk dapat menempuh “kemungkinan” bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN terus bergulir di dalam negeri, termasuk yang diutarakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim, sebagaimana diwartakan oleh Liputan6.com pada 21 Februari 2020. Bahasa Indonesia pada harapan Nadiem ditempatkan sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara.

Hal tersebut disambut oleh Kepala Badan Bahasa kala itu, Dadang Sunendar. Ia menuturkan bahwa perhatian terhadap kemajuan dan pengembangan bahasa Indonesia tidak saja dilaksanakan di tanah air, melainkan juga di negara-negara lain di dunia melalui program internasionalisasi bahasa Indonesia. Satu di antara bentuk program yang dimaksud adalah BIPA. (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing), sebuah program pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia (berbicara, menulis, membaca, dan mendengarkan) bagi penutur asing. Tidak kurang dari 45 negara yang menjadi peserta BIPA dengan 174 tempat yang digunakan untuk pelaksanaan program-programnya.

Menyikapi fakta-fakta tersebut, kekhawatiran sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, kiranya tidak perlu jadi batu sandungan untuk terus melangkah menuju tatanan hubungan internasional yang lebih kokoh di kawasan Asia Tenggara atau di tubuh ASEAN sebagai asosiasi. Sebab, bagaimana pun yang namanya suatu pemikiran besar yang menyangkut harkat dan hajat negara-negara senantiasa dihadapkan pada dinamika yang tidak mudah karena koridornya senantiasa dipandang politis.

Selain itu, penawaran bahasa kepada publik dunia sebagai bahasa bersama tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, karena bukan sesuatu yang sepenuhnya dapat ditentukan sebagaimana penentuan sikap politik, diselesaikan di atas meja atas kesepakatan di atas berlembar-lembar kertas kesepahaman.

Bahasa adalah produk sekaligus pemroses kebudayaan. Berkaitan dengan kebudayaan berarti mengarah kepada daya pikir. Oleh sebab itu, Perhimpunan Pelajar Indonesia di United Kingdom (PPI-UK) melihat bahasa Indonesia untuk Bahasa ASEAN perlu terus didorong dari berbagai arah, di antaranya adalah dengan melibatkan para penulis, pemerhati bahasa, dan sastrawan dari berbagai negara di Asia Tenggara. Hal tersebut dirasa sangat perlu untuk tidak membiarkan wacana bahasa Indonesia untuk Bahasa ASEAN berpusar di tengah sesama “orang Indonesia”.

Kehadiran wacana bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN tidak dapat dilontarkan secara monolog oleh pemerhati atau pegiat bahasa Indonesia yang merupakan “orang Indonesia”, karena akan memberi kesan bahwa wacana bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN semata-mata “klaim” yang tergesa-gesa dan ambisius. Perlu ada pandangan penyeimbang dari pegiat dan pemerhati bahasa lain di ASEAN, khususnya mereka yang memiliki wawasan mengenai bahasa negara-negara ASEAN. Maka tepat kiranya jalan yang ditempuh oleh PPI-UK sebagai penggagas sekaligus pelaksaan pembuatan buku, menghadirkan penulis dari berbagai negara yang bergabung di dalam ASEAN. Walau dalam jumlah terbatas, ada keterwakilan sebagian negara di Asia Tenggara.

Satu Buku Penting

Buku Bahasa Indonesia untuk ASEAN merupakan satu buku penting dalam wacana kebahasaan antarbangsa. Dimulai dari sejarah, perkembangan, persebaran, dan keilmuan bahasa Indonesia; tentang kemungkinan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN luwes dibicarakan melalui berbagai perspektif. Kehadiran para penulis dari berbagai negara yang menawarkan pandangannya masing-masing di dalam buku ini, tidak begitu saja menyetujui atau menolak bahasa Indonesia untuk bahasa ASEAN. Ada retorika yang menarik untuk diikuti. Mereka memilih memberi pandangan yang bersifat terbuka, walau ada beberapa penulis yang memberi pandangan tertutup dengan segera memberi pernyataan “setuju”.

Secara umum, antara satu penulis dengan penulis yang lainnya memberikan warna yang khas tentang bahasa Indonesia dan kemungkinannya untuk bahasa ASEAN. Pada bagian awal, penulis yang dikenal sebagai pemerhati dan pegiat kebahasaan bahasa Indonesia asal Padang, Holy Adib, membuka dengan pemaparan sejarah singkat dan perkembangan bahasa Indonesia. Ia menjelaskan melalui dua periode penting. Pertama, tentang bahasa Indonesia sebelum bernama bahasa Indonesia. Kedua, bahasa Indonesia setelah bernama bahasa Indonesia.

Di dalam paragraf pembuka, ia menuturkan bahwa nama bahasa Indonesia bersifat perjuangan dan mengandung ideologi sudah final, tapi ia tidak setuju jika bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa baru dan baru ada ketika bernama bahasa Indonesia, yang dicetuskan oleh Tabrani (1926), lalu diresmikan pada Kongres Pemuda II (1928).

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
1 2 3 4Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button