InspirasiOpini

Mewacanakan Wacana Bahasa Indonesia untuk Bahasa ASEAN

Oleh : Ferdiyan Ananta *

Pandangan jelinya memberi tahu pembaca bahwa bahasa Indonesia, bukan ciptaan satu atau beberapa orang, melainkan konvensi banyak orang di sebuah wilayah. Dengan kata lain, bahasa Indonesia tidak dilahirkan dari sesuatu yang sama sekali baru, melainkan berdasarkan sesuatu telah ada, berkembang, lalu kemudian disepakati sebagai bahasa bersama. Adib menekankan bahwa pandangannya yang demikian bukan sebagai bentuk penolakan nama bahasa Indonesia, melainkan menjelaskan bahwa pendefinisian sebuah bahasa menurut linguistik tidak bisa berdasarkan sikap politik sekelompok orang.

Sebagai pemerhati dan pegiat kebahasaan bahasa Indonesia, khususnya penggunaan bahasa di media massa, Adib dapat menghadirkan sejarah bahasa Indonesia dengan sangat detail berdasarkan penalaran yang kokoh. Membaca esainya, dapat memberi peta yang jelas mengenai bahasa Indonesia sejak sebelum bahasa Indonesia itu bernama hingga bahasa Indonesia bernama, lengkap dengan lampiran dinamika perjalanannya, baik melalui pendekatan kebudayaan maupun politik, dimulai dari pendapat para ahli hingga rumusan-rumusan yang pada akhirnya disepakati.

Masuk ke dalam, penulis penerima Anugerah Puisi ASEAN, yang berkegiatan di Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa), Muhammad Rois Rinaldi, menguji kedewasaan pengguna bahasa Indonesia yang merupakan tumpah darah Republik Indonesia ketika bahasa Indonesia diwariskan kepada warga dunia. Menurutnya pembicaraan yang dibatasi oleh ihwal “apa”, “milik” dan “boleh digunakan” oleh siapa adalah pembicaraan lebih mengarah pada rasa memiliki yang terlampau besar terhadap sesuatu, sehingga mustahil sesuatu yang “dimiliki” oleh orang lain dengan perasaan memiliki yang berlebih itu dapat dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini, yang dimaksud oleh Rois adalah bahasa Indonesia.

Menurutnya, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dengan segenap hal yang bersifat ideologis adalah sesuatu yang final, hanya saja yang belum final atau bahkan belum dimulai adalah kesiapan Indonesia membuka wacana bahwa bahasa Indonesia adalah miliki warga dunia.

Rois melihat bahwa untuk dapat menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN atau bahkan bahasa dunia, yang terlebih dahulu ditata adalah mentalitas Indonesia dalam menyikapi kemungkinan penggunaan bahasa oleh warga dunia di masa depan. Bagaimana jika kelak bahasa Indonesia dikembangkan di negara lain dan itu ternyata melahirkan keilmuan kebahasaan bahasa Indonesia yang lebih maju, apakah akan disambut dengan bahagia atau sebaliknya, disambut dengan klaim bahwa tidak ada bahasa Indonesia yang lebih maju dibandingkan bahasa Indonesia di Indonesia karena bahasa Indonesia adalah bahasa milik Republik Indonesia. Karena itu, Rois memberi pandangan bahwa perlu ada pemisah kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kapan bahasa Indonesia sebagai warisan dunia. Rois menyebut “sebagai warisan dunia” karena menurutnya, men-internasionalisasi-kan bahasa Indonesia berarti memberikan dunia warisan berupa bahasa Indonesia.

Pemikiran menukik Rois juga mengarah pada persoalan klaim “bahasa Indonesia yang mudah” yang menandakan kurang layak sebagai ilmu bahasa dan “kompleksitas bahasa” sebagai indikator bahwa suatu bahasa “layak dikembangkan sebagai ilmu”. Baginya, keduanya dapat disepakati sekaligus dapat ditolak. Tergantung perspektif mana yang digunakan. Jika yang digunakan adalah tentang kematangan sistem bahasa yang telah ada, Rois dapat menerima “klaim kompleksitas” tersebut, meski dengan catatan, jangan lupakan mitos kesederhanaan. Keduanya mengandung celah untuk terus diuji kebenarannya. Jika perspektif yang digunakan adalah kemungkinan pengembangan bahasa, bahasa Indonesia bagi Rois berada pada posisi yang mengandung ilmu yang sangat besar. Potensi bahasa daerah yang dimiliki Indonesia disebut olehnya sebagai bahan penting untuk keberkembangan. Katanya, tinggal bagaimana para ahli memformulakannya.

Bergerak pada pandangan penulis Malaysia, yang dikenal sebagai penggagas utama sastra siber di Malaysia, Irwan Abu Bakar. Secara eksplisit, ia mengajukan data yang baginya dapat dijadikan landasan penting untuk menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN atau yang ia istilahkan “bahasa wilayah untuk rantau ASEAN”, di antaranya, bahasa Melayu merupakan asas bahasa kebangsaan 3 negara dari 10 negara ASEAN, meliputi 46% penduduk ASEAN. Dengan dialek yang berbeda-beda bahasa Melayu dituturkan di tujuh negara lain. Dialek bahasa Indonesia adalah yang paling luas penggunaannya, meliputi paling 41% penduduk ASEAN.

Di Malaysia banyak buku terbitan Indonesia, terutamanya dalam bentuk novel dan buku akademik, dapat diperoleh dengan mudah di negara-negara ASEAN yang lain. Berdasarkan data yang ia paparkan, Irwan Abu Bakar memberi rumusan bahwa “negara Malaysia dan Brunei Darussalam wajar segera menerima bahasa Melayu berbentuk bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan negara masing-masing. Negara-negara lain dalam wilayah ASEAN wajar mengajarkan bahasa Indonesia sebagai kursus akademik wajib untuk generasi muda, dengan sasaran menjadikannya bahasa resmi negara masing-masing dalam masa yang terdekat. Di samping itu, adalah wajar bagi ahli-ahli politik ASEAN untuk memformulasi suatu bahasa baharu yang dinamai Bahasa ASEAN, dengan berasaskan Bahasa Indonesia. Buku Kamus Bahasa Melayu NUSANTARA, yang diterbitkan di Brunei Darussalam (Edisi pertama, 2003), dapat digunakan sebagai titik mula yang baik.”

Sebagai seorang sastrawan yang pakar dalam dunia sains, Irwan Abu Bakar juga memandang bahwa keterkaitan antara hubungan sosial, politik, dan perdagangan antarnegara dalam ASEAN menjadi tolok ukur penting untuk menyegerakan penggunaan satu bahasa yang disepakati sebagai bahasa bersama di rantau ASEAN. Pada pandangan saya, pemikirannya rasional. Dapat diterima dengan nalar. Sebab, bagaimana pun di masa depan tantangan politik dunia sangat besar, sebuah asosiasi sudah semestinya membentuk bangunan budaya asosiasi untuk memberi suatu itikad kuat mengenai begitu banyak kerja sama, termasuk mengenai kesediaan dan kesetiaan untuk saling menjaga serta menghormati kedamaian masing-masing negara.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3 4Next page

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button