InspirasiOpini

Mewacanakan Wacana Bahasa Indonesia untuk Bahasa ASEAN

Oleh : Ferdiyan Ananta *

Mengenai pentingnya bahasa Indonesia sebagai pembangkit semangat kecintaan penduduk Thailand Selatan kepada bahasa ibunya, perlu dilihat sejarah yang berlaku atas keberadaan mereka. Negara Thailand merupakan sebuah negara yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, ras, dan bangsa sebagaimana di Indonesia, akan tetapi tidak sebanyak Indonesia. Penduduk asli Thailand disebut “orang siam”. Siam merupakan nama bagi negara sebelum diganti menjadi “Thailand” sebagaimana sekarang. Penduduk di Thailand, yang paling utama terdiri dari orang Siam. Kemudian, disertai juga oleh para imigran dari keturunan Tiongkok, Melayu, dan beberapa negara tetangga seperti Myanmar, Laos, Kamboja dan sebagainya. Warga Melayu Thailand dalam hal ini dihadapkan pada dominasi budaya “Siam”, merasa perlu melakukan sesuatu untuk tidak kehilangan akar budayanya sendiri. Berkembangnya bahasa Indonesia di Thailand menurut Mahroso salah satu jalannya.

Pandangan Mahroso itu amat menarik, semenarik pandangan penyair dan kritikus sastra kenamaan Malaysia, Djazlam Zainal dalam esainya yang bertajuk “Bahasa Melayu Teras Bahasa Indonesia Selepas Merdeka” yang bagiannya saya kutip berikut ini:

Mengembalikan bahasa Melayu Indonesia sebagai bahasa dunia adalah seperti memulangkan sireh ke gagang. Bahasa Melayu Indonesia yang menarik pada abad ke 17 tersimpan dalam koleksi Inggeris iaitu pada tahun 1615, Sultan Iskandar Muda, raja kerajaan Aceh yang mempunyai hubungan diplomatik dengan kerajaan Ottoman Turki dan Safavid Persia, membuat surat negara kepada King James I (Perpustakaan Bodleian Oxford).

Terdahulu, di seberang Sumatera dan semenanjung Tanah Melayu (Malaysia) berbagai karya ditulis dalam bahasa Indonesia seperti lisensi perdagangan, perjanjian kontrak, sejarah, syair, buku ilmu ketuhanan yang menunjukkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu. Sekiranya abad ke 16 bahasa Indonesia diklasifikasikan sebagai masa ‘pertemuan’ bahasa Indonesia oleh orang-orang Eropah, abad ke 17 dan seterusnya adalah masa kolonial mempelajari orang Asia Tenggara melalui buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia seperti buku pegangan de Houtman di mana daripadanya Eropah mulai melakukan penjajahan dan konsolidasi. Kini setelah penjajahan berakhir, Eropah dan bangsa penjajah seperti Belanda, Inggeris, Perancis, Sepanyol, sangat kenal dengan bahasa Indonesia dan wilayah pengucapannya.

Pandangan-pandangan menarik para penulis dari berbagai negara ASEAN di dalam buku ini sangat penting dihadirkan. Tidak untuk suatu klaim, melainkan untuk membuka pintu kebahasaan ASEAN atau bahkan dunia. Bahasa tidak mungkin mengingkari dirinya sendiri dari keberkembangan dan satu di antara cara merayakan keberkembangan bahasa adalah mengembangkan wacana kebahasaan, termasuk di dalamnya tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN atau bahasa dunia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Asep Rahmat Hidayat dalam “Bahasa Indonesia sebagai Ilmu dan Penghela Ilmu Pengetahuan”: Bahasa Indonesia merupakan sebuah bahasa yang prospektif hidup dan berkembang digunakan di wilayah yang luas menembus sekat geografi, ideologi, dan politik.

Bahasa Indonesia sebagai yang layak dipelajari tersebut tidak berhenti pada bagaimana bahasa itu berlaku dan diberlakukan melainkan juga bagaimana memahami media-media yang digunakan untuk berbahasa, mengingat dunia internasional hari ini adalah dunia yang sarat virtualisasi, sebagaimana yang disampaikan oleh penyair langganan juara sayembara puisi nasional, A’yat Khalili dalam esai “Bahasa Indonesia: dari Basis Indra hingga Fenomena Bahasa Virtual” yang kutipannya dapat dibaca di bawah ini:

Menyadari Bahasa Indonesia cukup pelik dengan aturan dan pedoman baik dan benar, maka fenomena berbahasa di dunia virtual seperti dengan sengaja merayakan momentum bahasa yang mudah dan praktis dikonsumsi, sebagai hasil campur aduk antara lisan dan tulisan –sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa virtualisasi bahasa itu tampak seperti orang bicara, atau sebaliknya, tidak ada suara yang benar-benar terasa suara. Kadang sebuah suara terasa sebuah teks tulis yang dinarasikan untuk menyampaikan informasi dan tindakan, tetapi di sisi lain kadang sebuah teks tulis mirip bahasa lisan demi memenuhi pencapaian pesan. Barangkali itu pengaruh besar arus multimedia sekarang ini –memayakan yang nyata ke hadapan kita secara luas –yang pada gilirannya memengaruhi bahasa itu sendiri. Virtualiasasi membuat bahasa jadi kreasi instan yang tidak punya kaidah, baik naratif dan aplikatif, dengan bias jejak naratif yang berujung sisa pemahaman semata.

Meneruskan Tradisi Baik

Keterbukaan pandangan yang diberikan para penulis ini baik sebagai pembuka wacana untuk kemudian hari dibuat ruang wacana yang lebih luas dengan melibatkan lebih banyak penulis, pegiat dan pemerhati bahasa-bahasa di ASEAN. PPI-UK belum dapat mengajak lebih banyak lagi pegiat bahasa di ASEAN untuk terlibat di dalam buku yang tentunya akan memberi manfaat baik bagi bahasa dan kebahasaan dunia. Oleh karena itu, besar harapan kami, penerbitan buku seperti ini dapat dijadikan tradisi baik untuk diteruskan dalam format yang terus menerus disempurnakan. Misal, diadakan kongres bahasa ASEAN yang mengundang pegiat, pengamat, pemerhati bahasa di ASEAN dengan jumlah yang lebih menunjukkan keterwakilan masing-masing negara untuk membicarakan bahasa Indonesia. (Red)

 

Ferdiyan Ananta, Stream Leader of Culture, Culinary and Ethnics ThinkLab Festival. Post-graduate at University of Leeds.

Editor: Muhammad Iqwa Mu'tashim Billah
Previous page 1 2 3 4

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button