biem.co – Terungkapnya keberadaan Rp 300 triliun “dana mencurigakan” di Kementerian Keuangan sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Transaksi aneh itu tentunya bukanlah tindakan korupsi yang mencuri uang negara, melainkan TPPU.
Bahkan kerugian yang timbul akibat pencucian uang jauh lebih besar dibandingkan rasuah. Transaksi janggal Rp 300 triliun di Kemenkeu berkaitan dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal ini melibatkan sekitar 467 pegawai Kemenkeu dan terjadi sejak 2009 silam.
Sudah bertahun-tahun yang lalu sebenarnya KPK mengusut kasus tindak tidana korupsi ini dan publik sudah menduga bahwa kasus ini akan melibatkan figur-figur politik penting Tanah Air.
Khusus kasus ini, anggaran negara dikorupsi dengan menyimpangkan kewenangan antarlembaga negara. Kemenkeu diduga merupakan lembaga paling bertanggung jawab dalam permainan anggaran ini.
Publik sudah mahfum bahwa korupsi di lingkaran Kemenkeu sudah berlangsung terstruktur dengan melibatkan lembaga berwenang, sistematis karena sulit dibongkar, dan masif dengan tingkat kerugian negara yang sangat besar.
Berita terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Rafael Alun Trisambodo (RAT), Mantan pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagai tersangka.
KPK telah melakukan penahanan terhadap Rafael untuk kepentingan penyidikan. Konstruksi perkara Rafael adalah penyalahgunaan wewenang ketika menjabat kepala pemeriksaan penyidikan dan penagihan pajak pada Kanwil DJP Jatim 1.
Rafael juga diduga memiliki beberapa perusahaan yang salah satunya bergerak di bidang konsultasi. RAT disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bermula dari Perang Argumen
Bermula dari perang argumen antara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait transaksi mencurigakan Rp349 Triliun.
Sepak-terjang Menko Polhukam Mahfud MD belakangan menjadi sorotan publik setelah dia mengungkap laporan PPATK terkait dugaan transaksi janggal dan pencucian uang setelah harta jumbo PNS eselon III Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo terkuak.
Manuver Mahfud dalam mengungkap temuan transaksi mencurigakan senilai ratusan triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) layak diapresiasi.
Beberapa waktu sebelumnya dia pun pernah mengunggah karikatur yang menyebut ‘minta keadilan mesti beli’ di akun media sosialnya.
Teranyar, Mahfud juga membongkar modus para hakim tidak berintegritas yang suka ‘bermain’ dengan putusan pengadilan. Mahfud mengatakan hakim bisa membuat pasal-pasal yang akan dijeratkan pada terdakwa. Karenanya, dalam memutus perkara itu membutuhkan moral integritas.
Penulis menilai manuver ala Mahfud itu merupakan bagian dari upaya kontrol kelembagaan. Langkah Mahfud yang sebetulnya memiliki wewenang membenahi penegakan hukum Indonesia itu merupakan cara eks hakim konstitusi itu mendorong pembenahan dengan dukungan publik.
Cara mengungkap kasus di muka publik yang dilakukan Mahfud itu mengikuti tren viralisasi isu. Hal itu dilakukan Mahfud guna mengundang diskursus publik terhadap hal negatif yang selama ini tertutup atau menjadi sebuah rahasia umum. Tujuannya, untuk mendorong lembaga terkait intropeksi karena mendapat penghakiman publik.
Manuver pengungkapan kasus ke publik yang dilakukan sebagai upaya Mahfud meminta bantuan atau back up dari masyarakat.
Cara mengekspose kasus itu memang harus dilakukan Mahfud karena masalah hukum di Indonesia sudah sangat berkarat.
Mahfud, mungkin telah berusaha memperbaiki hal-hal tersebut secara internal. Namun pihak ditegur dinilai memang bebal atau tak mau diberi tahu. Oleh karena itu, eks hakim konstitusi itu meminta dukungan masyarakat dengan cara mengungkap sejumlah persoalan-persoalan yang terjadi di ruang publik.
Publik berharap Mahfud tak bosan dan terus mengungkap kasus-kasus di ruang publik agar terus mendapat dukungan dari masyarakat untuk melakukan pembenahan.
Di dalam negara demokrasi, sah dan wajar bagi seorang pemimpin meminta dukungan rakyatnya ketika tidak kuat menghadapi persoalan yang ada.
Peran Publik Cegah Korupsi
Belajar dari kasus ini, perlunya menggelorakan semangat dan gerakan untuk membangkitkan publik untuk dapat melakukan kontrol sekaligus koreksi terhadap perilaku korup elite politik.
Ketika tak ada lagi institusi yang benar-benar steril dari kepentingan politik dan perilaku korup di semua lini, publik yang cerdas satu-satunya harapan.
Karena itu, publik harus selalu didorong agar dapat bangkit sebagai alat “mengonggong” (watchdog) yang selalu meneriakkan penegakan nilai-nilai serta kebajikan universal berdasarkan prinsip-prinsip humanisme internasional.
Bocornya transaksi mencurigakan Rp349 Triliun yang megemparkan, merupakan puncak era keterbukaan global terhadap tindakan.
Kini tak adalagi yang bersifat sakral dan rahasia. Semua dapat dikonsumsi publik secara missal, tanpa sekat negara, ras, dan agama. Seluruh informasi media yang berbau irasional dan tak normatif akan memancing pengamatan khalayak.
Kini makin kokoh tradisi kebebasan berekpresi secara missal. Ini membuktikan tak ada lagi relasi subordinat absolut antara penguasa dan rakyat, selebriti dan kalayak, konglomerat dan rakyat.
Karena tradisi subordinasi absolut telah menghadirkan totaliter dalam politik dan konglomerasi ekonomi. Di mana-mana muncul kaum rente yang tak terbendung dalam waktu lama. Semua itu telah menghadirkan sistem politik timpang dan selalu memperlebar jurang kemiskinan.
Karena itu kekuatan publik ini kian tak terbendung dan sesungguhnya telah hadir penjelmaan kekuasaan oleh publik itu sendiri.
Ketika kekuasaan makin timpang dan korup di mana elite konglomerat kian rakus menyembunyikan kekayaan dari hasil bisnis ilegal, akan dibongkar publik.
Negara dan para aparatusnya tak bisa lagi menyelewengkan kekuasaan (abuse of powers) seenaknya. Demikian pula para rente ekonomi dan konglomerat nakal dunia tak akan lagi dapat menyembunyikan aset-aset hasil korupsi dan bisnis illegal dalam berbagai bentuk. Publik akan membongkarnya. (Red)
Eko Supriatno, penulis adalah Intelektual Entrepreneur, Pembina Future Leader For Anti Corruption (FLAC) Regional Banten, Pengurus ICMI Orwil Banten, Pengurus IDRI Provinsi Banten, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten.