Film & MusikHiburan

Ki Wasyid, Tokoh Pejuang Geger Cilegon 1888

 

biem.co – Banten melahirkan begitu banyak tokoh pejuang di zaman penjajahan, mulai dari sosok raja hingga ulama.

 

Sebut saja salah satu di antaranya adalah Ki Wasyid. Perlawanan kepada kolonial Belanda yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten terjadi dalam peristiwa Geger Cilegon.

 

Kebencian masyarakat Cilegon makin memuncak saat mereka tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita.

 

Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar, penyakit binatang ternak membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.

 

Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik.

 

Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.

 

Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.

 

Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras.

 

Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.

 

Kisah Ki Wasyid pernah diangkat ke dalam karya film pendek oleh sutradara muda Darwin Mahesa 2013 lalu. Film ini sukses menyabet beberapa perhargaan tingkat nasional, di antaranya juara Festival Film Edukasi 2013 yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

 

Seperti apa filmnya? Bisa kamu tonton di bawah ini, ya! (andri)

 

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button