biem.co – Jum’at sore yang dingin, gerimis tampak seperti parutan kelapa mengguyur bumi yang kering dan membasahinya secara perlahan. Saya meniatkan untuk tetap menerobos gerimis, memacu motor dengan kecepatan rendah menuju rumah seseorang di komplek Kidemang, Unyur, Serang, yang beberapa hari lalu mengirimkan surat ke kantor Dompet Dhuafa Banten melalui putrinya.
Rumah yang akan saya tuju itu adalah kediaman Pak Kusnoto, seorang lelaki paruh baya yang hidupnya berubah drastis setelah aneurisme menyerang pembuluh darah di bagian kepalanya beberapa tahun silam. Pak Kusnoto termasuk yang beruntung, pecahnya pembuluh darah di bagian kepala tidak sampai merenggut hidup lelaki yang pernah bekerja di salah satu anak perusahaan baja ini. Walau, kini kondisinya tak sembuh sempurna, sebagian tubuhnya lumpuh.
Di luar gerimis masih jatuh satu-satu, menyisakan irama di atap genteng rumah sederhana Pak Kusnoto. Ruang yang tidak terlalu besar dan tanpa perabotan mewah. Sempat mata saya menerawang ke beberapa bagian sudut ruangan yang dihiasi rak berisi penuh buku-buku. Ah, ada Al Qur’an di sana. Desir takjup memenuhi dada saya.
“Beginilah kondisi rumah saya, Pak Mokhlas. Punten saya di atas, ya. Kaki yang kiri masih belum bisa digerakin. Masih sakit,” lelaki itu bersuara, “… begini jugalah hidup saya sehari-hari, Pak. Kadang pengin kerja tapi apa daya, buat ngilangin suntuk, buku-buku inilah yang menjadi teman saya,” lanjutnya.
Lalu cerita tentang kehidupan keluarganya mengalir dari bapak dua anak ini. Bermula tentang dirinya yang bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan besar di Cilegon, yang tentunya kehidupan keluarga pada waktu itu bisa dibilang sangat cukup: menyekolahkan anak, bekal hidup sehari-hari, dan kebutuhan lainnya tidak menjadi keluhan kala itu. Namun, ujian hidup datang menyapa, pil pahit harus ditelan Pak Kusnoto dan keluarga. Tahun 1995, Pak Kusnoto dilarikan ke Siloam di Jakarta oleh perusahaan tempat ia bekerja saat itu, pembuluh darah di bagian kepalanya pecah, itu kata dokter yang menangani beliau kala itu.
Kepalanya dibedah, dioperasi, dengan harapan hidup hanya 30% saja, demikian pula kata dokter, kalaupun selamat, tidak bisa sembuh sempurna seperti sedia kala.
Gerimis masih betah, rupanya kini pindah ke mata Pak Kusnoto, bening berpendar di sana. “Alhamdulillah, saya termasuk yang diselamatkan oleh Allah, walau dengan keadaan seperti ini, setengah badan tidak lagi berfungsi. Tapi semangat hidup saya masih sempurna, Pak Mokhlas. Masih seratus persen,” lirihnya, namun begitu tegas.
Selamat dari operasi dan menjalani hari-hari menunggu kesembuhan di rumah, pil pahit kedua pun datang. Perusahaan tidak lagi bisa memerkerjakan Pak Kusnoto. Dari dana pensiun yang diterima, Pak Kusnoto sadar betul, dirinya tentu tidak akan lagi bisa totalitas dalam bekerja untuk menghidupi keluarga, maka diputuskan, uang itu digunakan untuk membeli sebuah rumah sedernaha yang kini menjadi saksi kisah pilu yang saya dengarkan.
Pak Kusnoto membuang pandang ke beberapa sudut. “Ya… alhamdulillah, dengan uang pensiun itu, kami bisa berteduh di rumah kecil ini, Pak Mokhlas.” Suaranya berubah serak. Menahan air mata agar tak tumpah.
Kini, sepuluh tahun sudah Pak Kusnoto bersabar dan menjalankan hidup dalam kekurangan. Dua putrinya masih butuh biaya untuk sekolah—si sulung masih belajar di kelas 12 SMA dan adiknya bersekolah dijenjang SMP. Semenjak sakit, tulang punggung keluarga pun beralih kepada istrinya.
“Apapun dilakukan, asal dapat memenuhi kebutuhan keluarga… menjadi buruh cuci….” Pak Kusnoto mencipta jedah beberada detik, “… makanya waktu itu saya kirim proposal ke Dompet Dhuafa, teman saya yang cerita kalau DD ada program Insan Tangguh di Banten. Saya ingin berguna bagi keluarga saya, Pak Mokhlas, saya ingin bantu-bantu….”
Semangat itu masih bergelora di dada Pak Kusnoto. Semangat yang dia tularkan kepada kami, kepada kita semua. Semangat yang akhirnya membuat kami memutuskan bahwa Pak Kusnoto harus kita bantu. Program Insan Tangguh yang diluncurkan DD Banten beberapa tahun silam memang bertujuan untuk membantu saudara-saudara kita penyandang disabilitas agar tetap produktif. Demikian pula halnya dengan Pak Kusnoto, bantuan dari donatur yang disalurkan DD akan beliau manfaatkan untuk membuka usaha kecil-kecilan di halaman rumahnya.
“Di depan kan ada madrasah, untuk melayani anak-anak jajan, insya Allah saya masih sanggup, Pak Mokhlas. Saya akan gunakan bantuan ini untuk buka warung jajanan anak-anak di depan,” katanya sumringah. Tampak betul dia begitu terharu. Ada harapan yang bersinar di matanya. Saya melihat itu….
Gerimis mulai reda. Saya memacu kendaraan dengan pelan. Udara Kota Serang terasa sejuk. Saya membawa pulang oleh-oleh yang sangat berharga dari Pak Kusnoto. Satu kalimat pendek, namun bersarang lama di dada dan pikiran saya: “Tubuh saya memang mati sebelah, saya cacat, namun alhamdulillah, otak saya masih normal dan bisa berpikir. Saya ingin bekerja semampu yang saya bisa.”
Ketika kisah ini sampai kepada Sahabat biem.co, sampai jualah oleh-oleh itu saya berikan. Banyak pelajaran yang dapat kita terima Pak Kusnoto. Bersyukurkah kita dengan keadaan jiwa dan raga kita yang sehat? Sudah berapa kali kita mengeluh hari ini lantaran masalah-masalah kecil yang kita hadapi? Sudah berapa besar usaha yang kita kerahkan lantaran rezeki yang diinginkan tak juga kunjung datang?
Sahabat, mari belajar dari semangat Pak Kusnoto untuk terus berusaha semampu yang ia bisa, dengan apa yang ia punya. Mari bantu mereka yang butuh uluran tangan kita. Mari tumbuh bersama.
Kisah ini ditulis oleh Mokhlas Pidono, Program Manager Dompet Dhuafa Banten.
Editor: Setiawan Chogah