Oleh Iip Syafrudin
biem.co — Sahabat Banten Muda, tentu kita sudah mafhum bahwa sebagian besar masyarakat kita termarginalkan. Kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan melahirkan sikap yang feodal, rendah diri, dan seakan menutup pintu keinginannya untuk maju, menuju kehidupan yang lebih baik.
Sikap dan sifat feodal, rendah diri, dan permisif negatif adalah pintu dari status quo yang seolah merasa nyaman dengan keadaannya sendiri meski sangat kekurangan serta dalam ketidaktahuan. Mereka merasa cukup dengan ketidaktahuannya. Mereka merasa Tuhan memang memberikan kehidupan kepadanya “hanya” begitu adanya. Tentu, semua orang ingin maju dalam keadaan yang kekurangan dan ketertinggalan tersebut, tetapi faktor-faktor internal diri mereka sendiri, ditambah banyaknya hambatan dari faktor eksternal, membuat mereka (warga masyarakat yang dalam konteks berkehidupan seperti pada paragraf pertama di atas) akhirnya memilih berkehidupan seada-adanya. Imbasnya adalah ketertinggalan. Bukan hanya orang dewasanya saja, tetapi akhirnya menurunkan sifat yang khas kepada anak-anak mereka.
Ketika kehidupan masyarakat tumbuh dan berkembang seperti pada ironi kehidupan yang dituliskan di atas, berbagai macam permasalahan sosial akan bermunculan dengan sendirinya. Permasalahan-permasalahan sosial tersebut menjadi satu keadaan yang dengan sendirinya tentu menimbulkan dampak negatif pada keberlangsungan kehidupan generasi mendatang.
Versi pemerintah melalui Kementerian Sosial, menyebutkan 26 jenis permasalahan sosial, di mana orang-orang yang menyandangnya disebut penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Tetapi di sini, penulis tidak ingin terjebak pada teori yang dihasilkan para akademisi dan pakar permasalahan sosial tersebut. Karena, ketika pada tataran praktisnya, keadaan di lapangan, sekelas pengambil kebijakan pun, mustahil bisa melenyapkan 26 jenis PMKS tersebut. Tentu, jika bisa dilenyapkan, tidak perlu lagi ada kelembagaan pemerintah dalam bidang sosial.
Sahabat Banten Muda, penulis ingin mencontohkan satu jenis saja PMKS pada tulisan ini. Sekadar menggambarkan, bagaimana jenis-jenis PMKS tersebut bermotifkan beragam keadaan marginal, baik dari faktor internal dan atau juga eksternal dari penyandangnya. Juga bagaimana seharusnya kita, orang-orang muda mengambil sikap ketika melihat, menemukan, dan mengadvokasi atau membantu mereka dalam upaya keluar dari ke-PMKS-annya. Dan berkaitan dengan aktivitas penulis saat ini yang diamanahi sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten, penulis ingin mengulas dan menginformasikan tentang anak-anak yang menjadi PMKS.
Anak korban kejahatan seksual
Mendengar 4 suku kata ini, pastinya Sahabat bisa membayangkan seorang anak yang dalam keadaan teraniaya, tak berdaya, dalam ancaman, bujuk rayu, atau paksaan akibat dari perbuatan jahat seorang predator anak, baik pelakunya orang dewasa dan atau juga masih usia anak. Berita-berita mengenai hal ini hampir setiap hari bisa kita baca, dengar, dan lihat di berbagai media, dan di berbagai tempat baik di Indonesia maupun di dunia. Kejadian ini sudah sangat fenomenal, dan akhirnya menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).
Ketika seorang anak menjadi korban kekerasan seksual, maka dia menjadi seorang anak PMKS. Anak korban ini masuk pada kluster anak yang membutuhkan perlindungan khusus (AMPK), di mana anak tersebut harus mendapatkan penanganan khusus, sehingga, jangan sampai ketika ada anak yang menjadi korban kekerasan, berlanjut menjadi korban-korban selanjutnya. Karena yang biasa terjadi, ketika seorang anak menjadi korban kekerasan seksual, kemudian seminimalnya anak tersebut akan menjadi korban selanjutnya:
Korban bully. Tetangga, teman, orang-orang yang mengetahui kejadian tersebut biasanya akan menggunjingkan anak korban.
Korban pendidikan. Pasca-menjadi korban, biasanya pihak sekolah, wali, dan atau keluarga melarang anak untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan, dengan alasan malu, mempermalukan sekolah karena sudah menjadi korban, dan alasan lainnya.
Korban kesehatan. Pasca-menjadi korban, lalu di-bully, tidak bisa mendapatkan hak pendidikan, anak korban akan menjadi murung, introvert/tertutup, menyimpan kesedihannya sendiri, tanpa bisa bersuara tentang keinginan dan harapan-harapannya. Kontinuitas merasakan hal ini, maka bisa dipastikan kesehatannya akan terganggu. Terlebih jika pascakejadian kejahatan seksual tersebut, korban menderita gangguan jenis penyakit kelamin. Tercatat di LPA Banten, 7 % anak korban kekerasan seksual terjangkiti penyakit menular seksual. Lalu kemudian pada psikisnya juga tentu bisa dipastikan akan sangat terganggu.
Jika semua kejadian kejadian ini berlanjut dirasakan oleh anak korban, maka akan memungkinkan kejadian selanjutnya, yaitu percobaan bunuh diri oleh si anak. Selama kurang lebih 3 tahun ikut melakukan penanganan kasus anak, ada sekitar 5 orang anak yang pernah mencoba melakukan hal tersebut, diduga karena sudah tidak kuat lagi menanggung permasalahannya.
Tercatat pada database LPA Banten, 73 % wali dari anak-anak korban kekerasan seksual ini berlatar keluarga tidak mampu, kurang berpendidikan, dan relatif kurang memahami teknik penanganan anak. Artinya, pada faktor-faktor internal wali dan anak korban, ada berbagai keadaan yang memudahkan si pelaku/predator anak dalam melaksanakan aksinya. Ditambah faktor eksternal dari si pelaku sendiri yang memang ingin melakukan kejahatan tersebut.
What must we do?
Sahabat Banten Muda, kaum muda sudah seharusnya mempunyai keresahan-keresahan nurani ketika kita menemukan ketimpangan dalam dunia sosial. Karena pada dasarnya, setiap manusia sudah diberikan God spot, yang salah satu fungsinya adalah membawa nurani kita ingin berbuat sesuatu bagi setiap makhluk yang membutuhkan bantuan dan atau pertolongan kita.
Permasalahannya adalah pada willing atau kemauan kita. Apakah memang keresahan nurani kita itu bisa diejawantahkan dalam bentuk langsung, atau sekadar berada di hati kita saja? Empati yang hanya di dalam hati atau empati yang teraplikasi pada kehidupan sehari-hari.
Saya sangat yakin, hari-hari ini, saat ini, di tempat ini, dan para kaum muda yang berkumpul di sini, adalah sekumpulan orang muda yang bukan saja punya keresahan, hanya sekadar mempunyai empati, tetapi lebih dari itu—juga yang penuh empati yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengaplikasikan perasaan empatinya ke dalam bentuk sesuatu tindakan positif bagi yang membutuhkan.
Kita jangan diam, ayo bantu mereka
Tulisan ini dirampungkan di Bekasi (TPST Bantar Gebang), 19 Juni 2016. Saat buka bersama dengan 550 anak-anak yang berasal dari sekitar TPST Bantar Gebang, bersama LPA Indonesia dan Menteri Sosial RI, Ibu Khofifah Indar Parawansa.
Banten Muda di mata saya
Bagi saya, Banten Muda adalah salah satu kiblat organisasi dalam upaya-upaya pemajuan pemberdayaan para pemuda. Berbagai macam aktivitas positif dilaksanakan oleh para pemuda pengurus Banten Muda. Berbagai bidang, seperti sosial, pendidikan, kesehatan, partisipasi, dan banyak lagi aktivitas yang sudah dilaksanakan oleh Sahabat-sahabat Banten Muda.
Secara pribadi, saya sungguh menaruh respek untuk Sahabat-sahabat di Banten Muda, terlebih untuk Kang Irvan Hq. Beliau adalah guru dan teladan yang banyak sekali membantu, bukan hanya saya, tetapi saya yakin, juga semua sahabat-sahabat yang hadir di sini, sudah banyak dibantu tangan dingin Kang Irvan Hq.
Iip Syafruddin, lahir di Pandeglang, 8 Mei 1980. Pada 2011, Iip bergabung di LSM Rekonvasi Bhumi. Semangat kerelawan dalam dirinya ia tuangkan dengan ikut berkiprah di Fesbuk Banten News sebagai volunteer, anggota FOPKIA Kabupaten Serang, dan koordinator Yayasan Sayap Ibu Bintaro di Serang. Pada 2014 hingga sekarang, Iip menjabat Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten.