biem.co – Apa yang kita persiapkan setiap menjelang ramadhan? Membeli kebutuhan pokok (gula, terigu, beras, minyak sayur, sirup, kurma, dll); menyiapkan baju lebaran; booking tiket PP mudik; menyiapkan THR untuk ponakan; dan mungkin banyak lagi. Jika kita mendengar ayat perintah puasa yang kerap dikutip setiap Khatib menjelang ramadhan, perintah puasa mengajak kita untuk meneladani metode, syariat, gaya, dan ekspresi berpuasanya orang-orang terdahulu sebelum kita (min qolikum).
Di sini kita batasi hanya merekam jejak puasanya kanjeng Nabi Muhammad SAW sang penutup para Nabi. Itupun sebatas ingatan dan kemampuan referensial penulis. Jika kita membaca sirah Nabi, kita bisa berkesimpulan bahwa ternyata seluruh prikehidupan Kanjeng Nabi dihabiskan total untuk mengekspresikan nilai-nilai puasa. Jika beliau tidak “berpuasa”, mungkin kita tak akan mengenal Islam sebagai risalah yang dibawanya.
Bayangkan, seorang Nabi dan Rasul, orang nomor satu kala itu, hidup begitu kelewat sederhana. Kemudahan akses koneksi dengan Allah dan para malaikat yang selalu stand by siap melayaninya, tak membuat Kanjeng Nabi jumawa dan manja. Beliau lebih memilih menjadi abdan nabiyya (nabi yang rakyat jelata) ketimbang mulkan nabiyya (nabi yang raja).
Sungguh, semakin kita berusaha merekam jejak kehidupan Kanjeng Nabi, semakin kita malu sendiri. Entah, sisi kehidupan Kanjeng Nabi yang mana, yang telah berhasil kita tiru-teladani. Disaat kita berlomba memiliki apartemen atau rumah mewah, dengan arsitektur yang bagus dan fasilitas serba canggih, sebagai suatu kebanggaan. Luas bangunan rumah Kanjeng Nabi ternyata hanya seukuran 4,80 cm x 4,62 cm. Lantainya hanya tanah liat, sehingga jika hendak rebahan, beliau mesti menggelar pelepah kurma kering sebagai alas, yang kerap membekas merah di punggungnya. Langit-langit rumahnya sangat rendah. Meski begitu, beliau tetap membuka pintu rumahnya lebar-lebar kepada siapa saja, kapan saja, yang memerlukan uluran tangannya seakan tanpa privasi.
Di rumah itulah beliau menjahit sendiri baju lusuhnya yang robek (konon pakaiannya hanya tiga helai; Satu dipakai, satu dicuci, satu disimpan), ngesol sendiri sandalnya yang jebol, tak segan membantu istrinya olah–olah di dapur, menyuguhkan sendiri makanan kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya. Annas pembantu setianya yang bekerja bertahun-tahun, mengaku tak pernah sekecap pun mendengarkan Kanjeng Nabi nyawad (mengkritik) pekerjaannya. Bukankah itu ekspresi puasa luar biasa?
Saat kita berburu berbagai tempat kuliner memperturutkan selera makan (berevolusi dari; bisa makan apa nggak? makan apa? makan di mana? hingga makan siapa?). Selama hidupnya Kanjeng Nabi justru tidak pernah kenyang selama tiga hari berturut-turut, kecuali selalu ada hari-hari diliputi kelaparan. Istrinya tak pernah bisa seminggu full menyiapkan menu makan dengan sempurna, kecuali ada saat-saat panjang tak ada secuil pun hidangan tersaji di meja makan rumah tangganya. Jika sudah begitu, Kanjeng Nabi kerap berpuasa dan memilih mengikat batu-batu kerikil di perutnya, agar tidak terlalu tersiksa didera lapar. Sehingga saat shalat berjamaah terdengar gemerutuk oleh para sahabat saat beliau rukuk atau sujud.
Bayangkan setingkat Rasul, orang nomor satu setaraf presiden, beliau sampai harus menggadaikan pakaian perangnya sekadar untuk membeli tiga puluh gantang gandum dari seorang Yahudi. Bukankah itu contoh nyata bentuk puasa dari nafsu kuasa?
Saat kita mudah tersinggung dan cepat naik pitam, ketika dikritik orang lain atau berselisih pendapat. Rasul dengan telaten justru menyuapi bubur gandum kepada kakek buta yang mengemis di bawah pohon yang setiap hari selalu mencaci-makinya. Kalau kita yang diperlakukan seperti itu, sendoknya pun mungkin sudah kita weuweulin (masukin dengan paksa) ke mulut sikakek. Tapi Kanjeng Nabi berpuasa dari melakukan hal konyol tersebut. Bahkan beliau menjadi orang pertama yang paling dulu membezoek orang yang selalu meludahinya disaat situkang meludahi tersebut terbaring sakit tak ada satu pun yang mempedulikannya.
Tatkala setiap negara melengkapi persenjataan super canggih dan mematikan, yang terkadang dipakai untuk membumi-hanguskan negara lain atas nama perebutan wilayah dan kekuasaan. Kanjeng Nabi di setiap pertempuran peperangannya, justru selalu berupaya meminimalisir jatuhnya korban sehingga tak pernah melebihi 500 orang. Bukankah itu pola-pola puasa, mengerem kehancuran menjaga keselamatan?
Rasul berpuasa dari gila hormat dan popularitas. Beliau melarang orang berdiri dan menundukkan kepala berlebihan dalam menghormatinya. Ia tidak mempunyai tempat khusus dan istimewa di ruang-ruang pertemuan (di masjid atau majelis) sebagaimana segelintir da’i da’i atau pemuka agama saat ini. Saat ada tempat yang masih longgar, disitulah beliau akan menempati.
Bahkan Allah tak mengizinkannya sekadar punya anak lelaki. Qosim diambil Allah saat masih kecil. Menantunya dibunuh orang. Cucu pertamanya diracun istrinya sendiri. Cucu kedua tak hanya dibunuh bahkan dimutilasi, kepalanya dipenggal lalu diseret pasukan berkuda sejauh ratusan kilo meter sehingga kuburannya ada di dua tempat. Tak mungkin manusia bisa kuat menerima kenyataan pedih memilukan seperti itu tanpa lelaku puasa.
Saat diracun Zaenab, beliau memilih dirawat di rumah Aisyah ketimbang di kediaman Maimunah. Beliau ingin semua orang bebas membezoeknya. Karena jika dirawat di rumah Maimunah yang masih keluarga dekatnya, khawatir orang lain yang hendak menjenguknya tidak leluasa. Beliau, Kanjeng Nabi bahkan berpuasa dari kepentingan pribadinya. Seluruh hidupnya ia wakafkan untuk melayani kepentingan orang banyak.
Jika pulang terlalu larut malam, setelah khusyuk tahajud di masjid. Beliau tak tega sekadar membangunkan istrinya dan memilih meringkuk tidur beralaskan kayu di luar rumahnya. Kalau kita, mungkin akan gedor-gedor pintu, tanpa peduli bagaimana lelah dan jenuhnya sang istri mengurusi dan membereskan keadaan rumah setiap hari.
Saat Pamannya Hamzah dadanya robek jantungnya jebol dikunyah-kunyah Hindun secara keji, Kanjeng Nabi berpuasa dari melakukan pembalasan yang dengan mudah bisa beliau lakukan. Beliau lebih memilih kemuliaan dengan cara memaafkan. Sungguh tak terhitung nilai-nilai puasa yang dilakukan Kanjeng Nabi, baik yang terrekam catatan sejarah maupun yang tak sempat kita ketahui.
Diusir dari Mekah, dilempari dengan kotoran unta, diludahi, tak membuatnya membalas dengan perkataan atau keluhan sedikit pun. Saat mencari suaka di negeri Thaif, beliau justru dihujani hujatan serta lemparan batu. Beliau sama sekali tak marah, bahkan beliau menolak tawaran malaikat dan gunung yang bersedia meluluh-lantakkan orang-orang yang menganiayanya. Beliau lebih memilih menengadahkan tangan untuk mendoakan agar mereka mendapat cahaya hidayah Allah.
Adakah yang sudah kita teladani dari beberapa cuplikan nilai-nilai puasa yang Kanjeng Nabi jalani di atas? Apakah ramadhan kita tahun ini, hanya mengulang-ulang haus dan dahaganya seperti tahun-tahun kemarin, tanpa memperoleh apa-apa? Wallahu a’lam.
Anas Al Lubab, penulis lepas tinggal di Kota Serang.