JAKARTA, biem.co – Tepat 7 September lalu, perayaan Hari Pembela HAM Indonesia kembali digelar, bertepatan pula dengan aksi Kamisan yang biasa dilakukan masyarakat untuk menagih janji Presiden mengenai tragedi kematian Munir Said Thalib dan kasus-kasus kematian lainnya yang belum terungkap. Kasus Munir tidak hanya penting, tapi juga pantas dikatakan sebagai pertaruhan supremasi hukum Indonesia.
Ketika menjabat Dewan Kontras, nama Munir mulai melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Munir juga banyak menangani kasus hukum, diantaranya: kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak melawan pemerintah untuk memerdekakan Timor timur dari Indonesia pada 1992; kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994; kasus pembunuhan petani-petani oleh militer di Madura pada 1993, dan masih banyak lagi.
Munir juga banyak mendapatkan penghargaan-penghargaan atas keberaniannya, yakni: Right Livelihood Award (Swedia, 8 Desember 2000), Mandanjeet Singh Prize (UNESCO, 2000), Man of The Year versi majalah UMMAT, dan masih banyak lagi. Munir juga pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya pada 1989 dan Ketua Umum komisariat Hukum Universitas Brawijaya HMI Cabang Malang.
Ia juga seorang yang aktif menulis di berbagai media cetak dan elektronik yang berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan Kepolisian, Politik dan Pemburuan. Munir yang seorang pengabdi teladan, jujur dan sosok pemberani serta tangguh dalam meneriakkan kebenaran ini mau tidak mau harus menghentikan harapannya untuk menggapai impiannya kuliah S2 bidang Hukum di Universitas Utrecht pada 7 September 2004.
“A test to our history” begitu yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat. Sayangnya, hingga masa jabatan, beliau gagal melewati sejarah kasus tersebut. Di aksi Kamisan yang ke 505 ini, masyarakat terus berupaya mengingatkan kembali kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak gagal menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM yang tewas karena keracunan arsenik di dalam pesawat menuju Amsterdam tersebut.
Pada Aksi Kamisan yang dilakukan di depan Taman Aspirasi ini lebih bertujuan ke tuntutan keterbukaan informasi tentang dokumen asli TPF Munir yang dikabarkan hilang, padahal dokumen tersebut sangat dibutuhkan untuk proses hukum pro justitia, yang mengakibatkan hingga sekarang kasus Munir teronggak.
Aksi yang berjalan mulai pukul 15.00-17.00 ini menampilkan berbagai partisipasi, mulai dari orasi #13thMunir dan #BukaTPFMunir, pembacaan puisi, hiburan dari Bin Indris dan pembacaan surat dari Suciwati (istri Alm. Munir) kepada Presiden Joko Widodo. Tak hanya itu, para Kartini Kendeng pun ikut serta dalam aksi Kamisan lalu, terlihat pula ada aktor Cicco Jerikho dan Rio Dewanto membagikan kopi gratis dengan mobil Filosofi Kopinya.
(Tampak salah satu aktor Indonesia yakni Rio Dewanto yang turut serta dalam Aksi Kamisan)
Kini, 13 tahun sudah kematian Munir yang belum ada kepastian apapun mengenai kasusnya, dikutip dari Majalah Tempo 14/12/2014 bahwa fakta pengadilan membuktikan aksi Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang juga anggota Badan Intelijen Negara (BIN), ia memindahkan Munir dari kelas ekonomi ke kelas bisnis untuk memperpanjang waktu operasi selama transit, ia juga menyuguhkan minuman yang diduga telah dibubuhi racun.
Penelusuran kasus Munir diharapkan bisa menyibak motif pembunuhan keji itu, ia dibunuh karena membawa dokumen penting ke Belanda atau pembunuhannya sebagai bagian dari persaingan politik menjelang Pemilu 2004?
Misteri kasus Munir dan sejumlah saksi kunci membuat kasus ini layak dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan juga state terrorism. Pengadilan hak asasi manusia sangat pantas dibuka untuk mengungkap kasus ini.
Asroru salah satu partisipan asal Tangerang, berharap untuk publikasikan dokumen tersebut, agar masyarakat tahu seperti apa fakta yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang intelektualnya, “Munir ini simbol, kita jangan diam saja, jangan sampai di suatu hari pelanggaran HAM terjadi pada diri kita,” ujarnya kepada awak biem.co.
Suciwati juga mengatakan bahwa, Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan menuntaskan kasus Munir saat mengundang 22 pakar hukum dan HAM pada 22 September 2016 lalu. Pada 14 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo menunjuk dan meminta Jaksa Agung segera bekerja menindaklanjuti kasus Munir berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Kematian Munir. Namun, hingga saat ini, Suciwati menilai pemerintah terkesan saling lempar tanggung jawab meski Komisi Informasi Pusat mengabulkan permohonan informasi dan meminta pemerintah mengumumkan hasil investigasi TPF.
Asroru kembali berharap agar negara harus mengakui adanya HAM, “jangan menghalangi seseorang mendapatkan atau menikmati HAM itu sendiri, dan negara juga masyarakatnya harus aktif untuk mewujudkannya.”
Nama Munir kini diabadikan sebagai nama jalan di Den Haag, Belanda dengan nama Munirstraat, nama Munir juga menjadi nama salah satu ruang pertemuan di kantor Amnesty International Belanda. Kini Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu. (uti)
Berita Terkait :
Advokasi Pelanggaran HAM yang Dilakukan Israel Terhadap Palestina, Kohati HmI Badko Jabodetabeka Banten Gelar Audiensi
Kemenkumham: Di Banten Baru Satu Daerah yang Dinilai Peduli HAM