biem.co — Hari ini, kita disuguhi berita tentang ditutupnya Pemerintahan federal Amerika Serikat (AS). Hal ini terjadi terjadi karena tidak tercapainya kesepakatan dan proses tarik-ulur para politikus dari Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat dalam pembahasan rencana anggaran yang akan digunakan untuk menjalankan pemerintahan, terutama terkait masalah imigrasi.
Dalam hal ini, terdapat 700 ribu imigran muda yang terancam dideportasi pemerintahan Trump. Mereka yang dikenal sebagai kelompok ‘Dreamers‘ itu merupakan imigran yang masuk ke AS sebagai anak-anak bersama orang tua mereka. Kebanyakan datang dari Meksiko dan Amerika Tengah.
Sebagaimana diketahui, di bawah program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) pada era Presiden Barack Obama, para imigran muda ini mendapat status legal sementara di AS. Namun program DACA itu dihentikan pemerintahan Trump sejak September 2017. Trump memberikan waktu kepada Kongres AS hingga 5 Maret 2018 untuk membahas program pengganti. Beberapa senator berharap, Trump menyelesaikan persoalan ini terlebih dahulu sebelum kemudian meminta tambahan dana untuk pemerintahan.
Tanpa adanya kesepakatan, penutupan pemerintahan AS akan dimulai sesaat setelah Jumat (19/1) tengah malam. Atau tepatnya pada perayaan 1 tahun pelantikan Trump sebagai Presiden AS.
Dilansir kicknews.today, Time dan The Economist, penutupan pemerintahan di Amerika Serikat merupakan peristiwa yang sering terjadi. Sejak 1980, sedikitnya sudah 12 kali terjadi hal serupa.
Namun penutupan pada Jumat ini adalah untuk pertama kalinya dalam penghentian operasi negara saat House of Commons (Kamar Majelis Rendah) dan House of Lord (Kamar Majelis Tinggi) sama-sama dikuasai oleh satu partai, yaitu Partai Republik.
Penutupan pemerintahan Amerika Serikat terjadi saat Kongres –yang terdiri dari dewan perwakilan (Majelis Rendah atau House of Commons) dan Senat (Majelis Tinggi)– tidak menyetujui anggaran belanja negara dalam satu tahun fiskal.
Akibatnya pemerintah pusat harus menghentikan semua aktivitas lembaga negara dan meliburkan para pegawai negeri sipil –kecuali mereka yang bekerja di lembaga dengan peran krusial– sampai Kongres berhasil menyepakati anggaran.
Sejak tahun 1981, ini menjadi pemberlakuan libur paksa terpanjang, selama 21 hari. Penutupan pemerintahan terakhir terjadi tahun 2013 pada masa Presiden Barack Obama dengan jangka waktu 16 hari.
Menanggapi kegagalan Kongres menyepakati anggaran, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa penutupan pemerintahan akan “berdampak pada kehancuran militer.” Namun sebagaimana diberitakan oleh Time, pernyataan Trump tidak benar. Semua personil aktif militer dinilai menjalankan peran negara yang krusial sehingga para tentara itu masih tetap berdinas meskipun belum jelas kapan mereka akan menerima gaji.
“Para tentara masih tetap bekerja, tapi mereka tidak akan menerima gaji. Daerah perbatasan masih akan tetap dijaga, namun para petugasnya tidak akan menerima upah,” kata Direktur Kantor Pengelola Anggaran Mick Mulvaney kepada Times, Jumat pagi waktu setempat.
Pegawai negeri sipil lain yang masih harus bekerja pada masa penutupan pemerintahan di antaranya adalah penegak hukum dari pemerintahan pusat, dokter dan perawat yang bekerja untuk rumah sakit negara, dan pengatur lalu lintas udara.
Pegawai negeri sipil lain tidak boleh masuk kantor dan dilarang memeriksa surat elektronik terkait pekerjaan harian mereka dari rumah. Untuk memastikan penegakan aturan ini, banyak badan negara yang meminta para pegawainya untuk mengembalikan perangkat elektronik selama durasi penutupan.
Pada periode penutupan masa pemerintahan Obama, ada sekitar 850.000 pegawai sipil yang menjalani libur paksa dan 1,3 juta aparatur negara terlambat menerima upah. Di antara dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat adalah tutupnya tempat-tempat rekreasi yang dikelola oleh pemerintah dan penghentian sementara proses permohonan visa.
Penutupan pemerintahan di Amerika Serikat dinilai banyak pihak tidak terlalu berdampak banyak bagi perekonomian nasional. Contohnya, pada 2013 lalu, majalah The Economist memperkirakan ekonomi hanya melambat sekitar 0,1 sampai 0,2 persen akibat penghentian sementara operasi pemerintahan. (EJ/IY)