biem.co — Presiden Donald Trump dan Kongres Amerika Serikat sedang berupaya memenuhi terselesaikannya tagihan jangka pendek negaranya. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencegah pemerintahan Amerika Serikat shutdown atau berhenti beroperasi dan terancam melakukan penghentian pelayanan publik.
Istitute for Development of Economics and Finance atau Indef, dilansir viva.co menyatakan, shutdown atau penghentian sementara operasional pemerintahan di Amerika Serikat diprediksi akan berlangsung dari minggu ke empat Januari hingga minggu kedua Februari 2018, atau sekitar 21 hari.
Dampak shutdown ini, secara temporer sangat minim berpengaruh pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, akan tetapi jika terus berlanjut akan menguntungkan bagi nilai tukar rupiah.
Proyeksi rupiah terhadap dolar AS, menurut Indef, masih berada dalam rentang yang terkendali, yakni di kisaran Rp13.350-Rp13.400 saat shutdown kemarin. Ini dikarenakan pada masa shutdown, dolar AS cenderung melemah terhadap rupiah dan mata uang lain.
Bhima Yudhistira, Peneliti Indef (20/1) mengatakan, “Terjadinya shutdown menyebabkan prospek pemulihan ekonomi AS bisa terganggu, dalam posisi ini justru rupiah akan diuntungkan.”
Seperti diketahui, peristiwa shutdown AS terakhir terjadi pada tahun 2013. Saat itu kurs rupiah hampir tidak terpengaruh lantaran sifatnya lebih temporer atau jangka pendek yang kira-kira berlangsung dalam waktu dua minggu.
Sementara, di AS sendiri, departemen-departemen yang akan terkena dampak shutdown setidaknya adalah Departemen Perdagangan, National Aeronautics and Space Administration (NASA), Departemen Ketenagakerjaan, Departemen Perumahan, Departemen Energi, Direktorat Pajak.
Dampak terparah, sebagaimana yang terjadi pada shutdown terakhir di tahun 2013 adalah berkurangnya pengunjung pada Konservasi Wisata; seperti Taman Nasional dan Museum Smitsonian, serta spot-spot wisata lain di Washington karena terpaksa herus berhenti beroperasi. (IY)