biem.co — Sekitar tujuh tahun, Sudan Selatan memerdekakan diri setelah sepakat pisah dari Sudan, salah satu negara terbesar di Afrika. Mandiri menjadi negara baru, tidak menjadikan semuanya menjadi serba mudah.
Beberapa hari terakhir, Sudan Selatan kembali pecah akibat perang saudara karena urusan politik yang tidak stabil. Kini, konfilk Sudan Selatan kembali memanas. Selepas Idul Fitri, mereka masih harus berjuang untuk mempertahankan hidup yang semakin hari semakin kritis.
Tercatat sejak Sabtu (30/06) malam telah terjadi gencatan senjata di Sudan Selatan. Rakyat Sudan Selatan tengah menduga-duga apa upaya terakhir untuk mengakhiri perang saudara yang sudah berlangsung selama lima tahun itu. Dua pilihan masih jadi pertimbangan masyarakat Sudan Selatan: bertahan atau mengungsi.
Dalam Laporan Tahunan Trend Global yang dipublikasikan pada Selasa (19/06), Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi mengatakan, bahwa krisis berkelanjutan memang terjadi di beberapa tempat, seperti di antaranya Sudan Selatan dan Kango. Eksodus warga Muslim Rohingya dari Myanmar juga telah meningkatkan jumlah warga yang terpaksa mengungsi pada 2017 menjadi 68,5 juta orang.
Seperti dilansir dari Act News, Sudan Selatan menduduki tingkat tertinggi yang warganya mengungsi di kamp-kamp dan pemukiman di Uganda, terutama di Bidi yang merupakan kamp terbesar di Afrika. Setelah terjadi konflik belakangan ini, jumlah pengungsi diperkirakan akan terus bertambah setiap harinya.
“Estimasi angka sekitar 673.567, dan di kamp yang lain mencapai 2.000-3.000 pengungsi. Dengan konflik yang sekarang, angka ini diperkirakan terus bertambah jumlahnya sampai akhir tahun ini. Mungkin lebih dari 10.000 pengungsi akan memenuhi kamp Kiryandongo dan Parabeke,” papar Andi Noor Faradiba, dari Global Humantarian Response ACT.
Ddalam waktu dekat, ACT diketahui berencana akan menyapa masyarakat Sudan Selatan yang berada di kamp-kamp pengungsian dan pemukiman Uganda. (uti)