KOTA SERANG, biem.co – Puluhan mahasiswa lakukan aksi unjuk rasa memperingati Hari Tani yang berlangsung di Gedung DPRD Provinsi Banten, (24/09).
Puluhan mahasiswa tersebut berasal dari Fapirta Banten, KBM Fapirta Untirta, DPW SPI Banten, Damar leuit, DPC GMNI Serang, Sapma PP Untirta, Sapma PP UIN Banten, BEM FH Untirta, dan BEM KBM Untirta.
Ibnu selaku koordinator aksi menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara agraris dan maritim yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa. Sebagian besar rakyat rakyat hidup sebagai petani dan nelayan, namun petani dan nelayan secara nasional belum tercukupi haknya yang paling mendasar, yakni hak atas tanah dan teritori.
“Sebenarnya mandat tersebut sudah tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Pelindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) dan UU Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam,” ujar Ibnu.
Akan tetapi sampai dengan saat ini, setelah 4 tahun pemerintahan berjalan, reforma agraria di Indonesia terkhusus di Banten masih berjalan sangat lambat. Hal ini dapat dibuktikan dengan konflik-konflik agraria yang masih belum terselesaikan. Seperti yang dialami petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Cigemblong Lebak dengan PT. Pertiwi Lestari, Cibaliung, Pandeglang dengan Perum Perhutani dan Gorda Binuang Kab. Serang dengan TNI AU. Belum lagi alih fungsi lahan pertanian yang semakin tak bisa dibendung. Padahal sudah ada Perda Provinsi Banten No. 5 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Faperta Banten mendesak agar hak-hak petani di Banten, terutama hak atas tanah dan teritori untuk dipenuhi dan diakui. Massa aksi menuntut Gubernur Banten menjalankan Reforma Agraria Sejati dan menyelesaikan konflik-konflik agraria. Gubernur dan DPRD Banten juga diharuskan segera mengesahkan Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Nelayan. Perda ini akan memperkuat hak atas tanah bagi petani.
Dalam orasinya, massa aksi juga menyinggung Perda 5/2014 tentang PLP2B yang belum optimal diterapkan. Alhasil alih fungsi lahan pertanian produktif masih terus terjadi dan privatisasi pesisir pantai di Banten semakin menjadi-jadi.
Aksi juga menyatakan penolakan terhadap Pertemuan Tahunan IMF-World Bank bulan Oktober 2018 di Bali. Hal ini didasari karena IMF-Bank Dunia adalah dalang dari perdagangan bebas pertanian dan perlambatan Reforma Agraria di seluruh dunia.
Selain unjuk rasa, perwakilan petani dan mahasiswa juga diterima oleh Kabid Penataan Tanah BPN Prov. Banten. Dalam pertemuan, petani menyampaikan permohonan agar BPN Banten segera menyelesaikan konflik agraria dengan mendistribusikan tanah kepada petani. Petani juga menyerahkan data-data kasus Cibaliung, Cigemblong dan Gorda Binuang.
Menanggapi itu, BPN Banten berjanji akan menindaklanjuti aduan dan berkoordinasi dalam Kelompok Kerja Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (Pojka RA-PS) Prov. Banten yang diketuai Gubernur Banten. (Juanda)