InspirasiOpini

Imron Wasi: Strategi dan Taktik Kampanye Calon Legislatif Perempuan pada Pemilu 2019

biem.co – Setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 September 2018. Dan tiga hari berselang; tepatnya pada 23 September 2018 masa kampanye sudah dimulai. Hal ini menjadi dasar bagi para caleg untuk segera bergerak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Baik itu caleg laki-laki maupun perempuan. Adanya keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan pemerintahan tentu sangat menarik untuk menjadi bahan kajian tematik dalam forum-forum akademis maupun non akademis. Sebab, keterlibatan perempuan dalam dunia politik membawa sebuah harapan bagi kaum perempuan. Menurut data dari KPU, jumlah caleg DPR RI sebanyak 7.968. Dan jumlah itu terdiri dari 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Dari total jumlah caleg perempuan 3.194 tentu membawa angin segar bagi perpolitikan di Indonesia. Dengan adanya keterlibatan atau pun keterwakilan perempuan dalam dunia politik tentu akan berdampak pada proses pengambilan keputusan tentang kepentingan kaum perempuan khususnya. Dalam rangka mewujudkan dan menjaga perlindungan hak asasi manusia di suatu bangsa dan negara, dalam hal ini Indonesia. Dan Indonesia telah merativikasi beberapa konvensi internasional, khususnya hak-hak perempuan di bidang politik. Salah satu implementasi dalam mewujudkan kesederajatan dan keadilan. Pemerintah Indonesia telah membuat sebuah regulasi yakni melalui Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang berbicara bahwa keterlibatan kaum perempuan 30 persen. Dengan demikian, perempuan pun mempunyai sebuah harapan dalam mewujudkan keterlibatannya dalam dunia politik.

Mekanisme Kampanye Efektif

Sudah sekitar empat bulan lebih setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) dan masa kampanye, belum ada langkah yang progres yang dilakukan oleh caleg perempuan dalam meyakini masyarakat secara menyeluruh. Mungkin hal itu disebabkan beberapa faktor, sehingga caleg perempuan belum dapat meyakini sepenuhnya masyarakat.

Oleh karena itu, untuk memanfaatkan masa kampanye yang masih tersisa beberapa bulan lagi, maka diperlukan sebuah rule model dan konseptualisasi yang jelas. Sebab, untuk meyakini 185 (kurang lebih) juta pemilih di Indonesia tentu bukanlah hal mudah. Bahkan dalam proses demokratisasi di Indonesia, keterwakilan kaum perempuan kerap mengalami fluktuasi setiap Pemilu dilaksanakan. Sebagai contoh, jumlah perempuan anggota DPR periode 2014-2019 menurun dibandingkan dengan periode 2009-2014. Pada pemilu 2014, caleg perempuan yang terpilih sebanyak 97 orang atau setara dengan 17,32 persen. Sementara itu, pada Pemilu 2009 sebanyak 101 caleg perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR.

Akan tetapi, seiring dengan adanya kebijakan afirmasi yang telah dilakukan. Hal ini menjadi peluang besar bagi kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam proses politik praktis. Fase kampanye merupakan salah satu fase di mana dapat mempengaruhi kualitas demokratisasi di Indonesia, khususnya penyelenggaraan Pemilu. Sebab, kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik. Menurut Roger dan Storey yang dikutip dari Gun Gun Heryanto, Media Komunikasi Politik (2018:89), mendefinisikan bahwa kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh caleg perempuan dalam melaksanakan kampanye. Pertama, komunikasi politik perlu diterapkan dengan sebaik-baiknya; baik yang tertuju pada tokoh, akademisi, politisi, timses, konstituen, dan loyalis ideologi partai politik. Kedua, lingkup pemenangan (scope of winning). Dimulai dengan survei dan pemetaan politik serta membuat zona marking. Hal ini tentu sangat penting sekali. Sebab, untuk mengetahui fakta di lapangan tentunya dengan cara survei atau jajak pendapat. Survei dapat dilakukan baik oleh intern maupun ekstern caleg perempuan yang bersangkutan. Kemudian untuk mengetahui isu-isu yang berkembang dan potensi maupun tipologi pemilih.

Ketiga, caleg perempuan mesti menggunakan gaya kampanye yang dapat menarik perhatian publik. Misalnya, menawarkan sebuah konseptualisasi tentang kebijakan publik dan program-program, dalam hal ini anak dan persoalan keperempuanan. Serta kebijakan dan program itu pun harus dapat menyentuh semua kalangan. Baik anak-anak, kalangan muda, bahkan kalangan tua.  Dan caleg perempuan, pun, mesti paham dalam membuat formulasi kebijakan publik. Bahkan pemilih perempuan sebanyak 92,9 juta dari total pemilih. Jadi, peluang caleg perempuan lebih besar dalam meraih kemenangan. Akan tetapi, jika caleg perempuannya tidak dapat memanfaatkan peluang yang cukup terbuka seperti itu, maka untuk meraih kemenangan hanya angan-angan belaka. Lalu untuk membuat agar skema kampanye berjalan efektif, maka diperlukan prinsip-prinsip yang dapat meningkatkan popularitas, elektabilitas, serta tingkat penerimaan konstituen terhadap caleg perempuan. Adapun prinsip-prinsip tersebut, di antaranya: positioning, branding, dan segmenting (Gun Gun Heryanto, 2018:92-96).

Di era digital seperti ini tentunya caleg perempuan perlu memanfaatkan peluang besar media massa. Namun, dalam setiap kampanye yang akan dilaksanakan perlu memperhatikan kode etik maupun regulasi yang sudah ditetapkan.


Imron Wasi, Presiden Mahasiswa STISIP SETIA BUDHI RANGKASBITUNG Periode 2018 – 2019.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button