Fikri Habibi

Fikri Habibi: Perangkat Daerah; Rightsizing atau Wrongsizing?

biem.co — Ada sebuah artikel yang ditulis oleh Barbara Davison (2002), judulnya The Difference Between Rightsizing and Wrongsizing. Lebih kurang poinnya, deskripsi atas upaya mencari bentuk atau ukuran (size) yang sesuai kebutuhan dari sebuah organisasi.

Pada praktiknya, rightsizing dapat berupa pengurangan (downsizing), penambahan (upsizing) struktur dan fungsi organisasi atau sidesizing. Langkah-langkah tersebut harus mampu menciptakan efektivitas dan efisiensi organisasi secara signifikan.

Wrongsizing yang dimaksud dalam tulisan ini, kebalikan dari rightsizing, dimana arah penataan organisasi bergerak ke arah yang salah dan menghasilkan desain yang keliru.

Dalam konteks pemerintahan daerah, pertanyaan rightsizing atau wrongsizing perlu diajukan, khususnya dalam desain perangkat daerah. Setidaknya sudah empat kali perubahan kebijakan terkait Perangkat Daerah, yakni PP 84 tahun 2000, PP 8 tahun 2003, PP 41 tahun 2007 dan yang masih berlaku PP 18 tahun 2016.

Salah satu catatan penting dari kebijakan sebelumnya, dimana tujuan penataan perangkat daerah belum menunjukkan ketercapaian. Pemerintah daerah memiliki kecenderungan untuk mendesain perangkat daerahnya dengan ukuran yang besar (big structure).

Padahal di sisi lainnya, kemampuan keuangan pemerintah daerah masih kecil dan sangat bergantung pada bantuan pemerintah pusat. Dari sisi pengeluaran, belanja pegawai masih mendapatkan alokasi yang paling besar dibandingkan belanja lainnya.

Faktor lain yaitu intervensi (kepentingan) politik dalam proses penataan perangkat daerah marak terjadi. Salah satu tujuannya adalah akomodasi dan balas jasa kepada pejabat-pejabat yang dekat dengan kekuasaan serta biasanya berjasa dalam proses pemilihan kepala daerah. Prinsip structure follow people menghasilkan organisasi-organisasi miskin fungsi, tidak sesuai kebutuhan namun membebani keuangan daerah.

Struktur yang besar seringkali memiliki masalah pada komunikasi dan koordinasi antar unit. Alur kerja yang rumit dan berbelit, lambat dalam mengambil keputusan sehingga layanan menjadi tidak optimal.

Dalam sebuah survei tahun 2017, pemerintah daerah hanya mendapatkan 63 persen kepercayaan publik dan hanya menempati urutan ke-7 dari 14 institusi. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah belum sesuai dengan harapan masyarakat. Jika demikian, desain perangkat daerah belum berada pada jalur yang rightsizing.

Dalam pidato tanggal 14 Juli 2019 di Sentul, Presiden menyampaikan lima pokok penting tentang visi Indonesia, salah satunya reformasi birokrasi. Lebih lanjut Presiden menekankan akan memangkas organisasi-organisasi yang tidak mau berubah.

Tidak hanya itu, lembaga-lembaga yang tidak bermanfaat dan bermasalah akan dibubarkan. Setidaknya sudah 23 lembaga yang dibubarkan dalam 4,5 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo karena ketidakjelasan urgensi keberadaannya sekaligus in-efisien.

Reformasi biorkrasi di daerah harus mendapatkan prioritas, ada sekitar 542 daerah otonom (provinsi, kabupaten, dan kota) di Indonesia. Jika ditambah dengan perangkat daerah, maka birokrasi daerah sangat besar. Dari sisi pegawai, jumlah ASN yang bertugas di instansi daerah sebanyak 3,2 juta lebih atau 77 persen dari total ASN di Indoensia (Pusat dan Daerah).

Pemerintah daerah menjadi ujung tombak pelayanan, kesuksesan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penataan birokrasi daerah (perangkat daerah) menjadi sangat penting.

Meskipun struktur hanya salah satu bagian dalam reformasi birokrasi, namun desain struktur akan memengaruhi kinerja dan efektivitas organisasi. Konsep atas desain kelembagaan daerah yang rightsizing perlu segera dirumuskan.

Asas pembentukan perangkat daerah didasarkan pada urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Urusan-urusan tersebut diserahkan kepada daerah terbagi dalam urusan wajib (berkaitan dan tidak berkaitan dengan layanan dasar) dan pilihan.

Prof Irfan Ridwan Maksum menyodorkan alternatif perubahan desain urusan dari ultra vires ke open end arrangment. Jika pergeseran desain tersebut dilakukan, juga akan memberikan pengaruh pada desain kelembagaan daerah.

Perubahan juga dapat dilakukan pada indikator-indikator penghitungan desain perangkat daerah. Kriteria umum khususnya APBD dapat dipecah menajdi beberapa indikator. Misalnya, rasio jumlah PAD dengan total pendapatan, PAD dengan pendapatan yang bersumber dari bantuan Pusat.

Dari sisi belanja harus juga mempertimbangkan rasio belanja pegawai dengan belanja yang lain, belanja pegawai dengan total belanja, dan belanja pegawai dengan PAD. Selama ini, APBD hanya dilihat dari jumlah totalnya saja, padahal kemampuan keuangan (khususnya  PAD) sangat kecil dan belanja pegawai yang sangat besar.

Upaya perubahan desain kelembagaan daerah dan reformasi birokrasi akan berhasil jika desertai dengan kepemimpinan politik di daerah yang baik. Kepala daerah tidak melakukan intervensi dan politisasi birokrasi demi kepentingan jangka pendek.

Penentuan jumlah atau besaran perangkat daerah murni didasarkan pada kajian kebutuhan dan kemampuan daerah itu sendiri. Tidak ada lagi organisasi yang dibentuk karena akomodasi pejabat-pejabat yang tidak mendapatkan jabatan structural.

Prinsip rightsizing dalam PP 18 tahun 2016 diartikan tepat fungsi dan tepat ukuran dalam penyusunan perangkat daerah. Fungsi-fungsi yang dijalankan harus mencerminkan kebutuhan sehingga menghasilkan organisasi yang responsif dan aspiratif

Rightsizing adalah kesesuaian antara faktor internal dan eksternal organisasi pemerintah yang beriringan dengan visi-misi pemerintahan daerah. Ada evaluasi menyeluruh atas kebijakan kelembagaan daerah, baik desain, paradigma, termasuk kriteria-kriteria yang dijadikan dasar penyusunan perangkat daerah.

Jika prinsip rightsizing dapat dirumuskan dan diwujudkan dalam desain perangkat daerah, akan berdampak pada efektivitas dan efisiensi pemerintahan.


Fikri Habibi, Pengajar di Universitas Serang Raya.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button