Rois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Cita-Cita Pusat Peradaban Islam, Sebuah Jalan Ditempuh Ali Juhdi

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

Apakah kau pernah pernah sepertiku:
menjadikan hutan sebagai rumah,
bukan menjadikannya istana.
Mengikuti aliran sungai dan memanjat bebatuan

Berilah aku seruling, niscaya aku akan menyanyikan
lagu tentang rahasia keabadian.

Lirik yang saya terjemahkan secara bebas dari puisi Kahlil Gibran bertajuk A’tini Al-Nay (Berilah Aku Seruling) itu dinyanyikan oleh seorang penyanyi legendaris Lebanon bersuara empuk, Fairuz. Nada lagu tersebut rupanya menginspirasi Muhammadiyah, sehingga mars Muhammadiyah kurang lebih sama dengan lantunan nada A’tini Al-Nay.

Sebuah puisi cinta yang ingin membawa siapa saja kepada keabadian. Tetapi puisi itu bukanlah puisi yang sungguh-sungguh merdeka dari beban kepedihan, karena puisi ditulis di bumi dan bumi memberi petunjuk memalui kenyataan tentang ketakabadian. Seperti juga Ariel Noah yang berteriak “…o biarkan, aku bernapas sejenak, sebelum hilang” dalam lagu “Tak Ada yang Abadi”. Ianya sebagai bentuk kesadaran akan adanya keabadian di luar kehidupan bumi. Keduanya terjadi karena ada sesuatu yang perlu dilampaui, tapi keadaan menunjukkan tabiat yang berlawanan.

Tiba-tiba saya mengingat puisi Kahlil Gibran dan lagu Noah itu ketika menyaksikan Ketua Umum Badan Muballigh (dalam KBBI ditulis mubalig) Indonesia (Bakomubin), Kota Cilegon, Ali Juhdi, berbicara. Di hadapan para mubalig dan santri, Sabtu (13/10/2019), di Pondok Pesantren Darul Mustofa, yang terletak di Link. Martapura, Kelurahan Masigit, dengan tegas ia berkata: “Kami mengusulkan ke Pemkot dan DPRD Kota Cilegon, satu titik itulah pusat pemberdayaan Islam. Di sana kita sama-sama membuat konsep dan menggerakkan sesuatu untuk peradaban kita.”

Sebuah titik yang ia sebut terletak di Masjid Agung Kota Cilegon, Al-Ikhlas. Area yang katanya, akan dibuat dengan luas satu kilo meter persegi dari titik nolnya. Katanya, area yang dimaksud harus steril dari apapun yang mengandung unsur kemaksiatan.

“Satu kilo meter itu saja, tidak lebih!” ulangnya, lebih tegas lagi.

Cilegon telah begitu lama berdandan menjadi sangat lain dari yang dahulu dikenal. Kota Santri boleh jadi hanya label yang terus dipertahankan karena ianya adalah bagian dari sejarah entitas dan identitas Cilegon, sebagai kota atau sebagai tempat begitu banyak manusia hidup, membentuk komunikasi sosial, melahirkan tradisi, membentuk-dibentuk kebudayaan, dan mengkonstruksi suatu peradaban. Atau ianya terus ada karena harapan tentang kembalinya Kota Cilegon sebagai Kota Santri—tanpa perlu menafikan keindustriannya—tetap ada. Seperti api yang senantiasa dijaga agar tak padam, meski redup redam di antara angin dan hujan pembangunan tempat-tempat hiburan—yang tidak sedikit lampunya malah menyala lebih terang jika malam telah larut.

Di pendopo (atau apalah orang-orang di sana menyebut tempat itu) pondok Pesantren Darul Mustofa yang dipimpin oleh KH. Ijudin itu, saya tidak saja menyaksikan bahasa tubuhnya yang menyimpan keyakinan yang sangat besar, melainkan juga bahasa pergerakan alam pikiran kebanyakan manusia kini yang sering diam-diam atau terang-terangan mengatakan bahwa upaya penyeragaman akan sia-sia pada akhirnya. Sebab, kini manusia di sebuah kota atau bahkan di sebuah negara dihuni oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang berbeda sejak pada mulanya dilahirkan dari bangsa-bangsa.

Tidakkah sebab rencananya bersama Bakomubin akan membuatnya dengan segera akan dicap sebagai orang yang kurang sopan terhadap kemajemukan? Tetapi Ali Juhdi hanya meminta 1 km² dari 175,51 km² luas Kota Cilegon, yang berarti luas wilayah yang ia petakan itu tidak dapat dikatakan sebagai upaya penyeragaman, karena permintaan itu sama seperti rencana membuat sekolah pada suatu tempat. Sekolah memang dibuat untuk sebuah cita-cita dan itu sama sekali tidak lantas meruntuhkan cita-cita yang lain. Rencana Bakomubin masih rasional untuk diterima.

Dr. Hasanudin, Ketua Bakomubin Provinsi Banten dan jajarannya; KH. Ijudin dan para santrinya; Ismatullah, Kabag Kesra Cilegon, dan jajarannya; seorang imam Masjid Agung Cilegon dan beberapa wartawan, semua duduk bersila di atas hambal tebal. Puluhan santri duduk di kursi di bawah pendodo. Semua menatap Ali Juhdi yang mantap menuturkan rencana Bakomubin Kota Cilegon, sambil melontarkan sentilan-sentilun tentang dugaan yang ditujukan kepadanya, bahwa ia hendak merebut posisi di Masjid Agung Cilegon beserta Islamic Centre.

“Saya tidak hendak merebut apa-apa. Bakomubin menginginkan kita bersama-sama memastikan peta ini terealisasi. Kita bangun peradaban yang baik dari sini, tidak pandang latar organisasi. Petanya titik satu lingkaran, satu kilo meter itu saja.”

Tidak lama Ali Juhdi berbicara, hanya 13 menit. Tetapi dari penyampaiannya yang hanya 13 menit itu, pertanyaan mengendap lama di kepala saya. Tidakkah cita-citanya terlalu besar? Kota Cilegon makin kesini sepertinya semakin mantap menjadi kota industri, bahkan kadang-kadang ada pula wacana tentang memberi label Kota Cilegon dengan label smart city.  Atau ini hanya soal pandang mata saya yang belum dapat menjangkau lorong-lorong waktu yang telah ditempuh oleh Ali Juhdi sebelum ia yakin memaparkan rencana Bakomubin itu?

Rencana yang ia paparkan sepertinya telah berkali-kali disampaikan sebelumnya kepada begitu banyak orang. Itu dapat saya lihat dari orang-orang yang hadir di sana. Tidak tampak satupun wajah yang terkejut, tapi saya baru kali itu mendengarnya, saya terkejut. Itulah mengapa, ketika acara selesai, setelah saya menyampaikan materi kepenulisan dalam dunia jurnalis, di tengah obrolan bebas, tanpa ragu saya mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Seberapa yakin Anda dengan rencana itu?”

“Keyakinan semacam apa yang ditanya?” Ali Juhdi membuka jawabannya dengan pertanyaan retoris. “Kami telah merancangnya dan telah mengajukan ke berbagai pihak pemerintahan di Kota Cilegon. Kami yakin rencana ini akan terealisasi.”

“Seberapa persen keyakinan Anda?”

“75%!”

Malam bergerak di tengah kami, waktu menuju jam larut. Di tempat di mana acara pelatihan jurnalistik dilaksanakan tinggal KH. Ijudin, seorang imam Masjid Agung Cilegon, Ali Juhdi, saya, dan sahabat saya, yang juga pengurus Bakomubin, Dedi Mahardika. Beberapa saat saja kami melanjutkan perbincangan sebelum pada akhirnya saya pamit pulang bersama Dedi yang qodarullahnya diminta mengantar saya. Tetapi pikiran saya tidak sepenuhnya meninggalkan tempat itu, tidak sepenuhnya telah meninggalkan suara Ali Juhdi.

Kota Cilegon adalah kota di mana dahulu peradaban yang hidup dan membangun masyarakat—bahkan hingga sampai pada hari kemerdekaan—adalah peradaban pesantren. Kini Kota Cilegon telah bergeser sangat jauh, setidaknya sejak Trikora ada, sejak perusahaan baja yang kemudian berganti nama Krakatu Steel itu berdiri dan disusul oleh begitu banyak pabrik.

Tidak ada yang salah dari perubahan karena perubahan adalah mustahak di muka bumi. Lantas bagaimana dengan rencana atau cita-cita Bakomubin itu? Tidak ada alasan cukup untuk tidak mendukungnya. Baqomubin hendak menyikapi sebuah perubahan dengan bijak. Di dalam percepatan diperlukan perlambatan. Percepatan tanpa perlambatan akan mengakibatkan kekacauan. Percepatan yang dimaksud adalah pergerakan dan perkembangan zaman, sementara perlambatannya adalah membangun ruang-ruang keilmuan, religiusitas, dan kesadaran.

Wallahu’alam.

Cilegon, 15 Oktober 2019


Muhammad Rois Rinaldi, redaktur sastra biem.co.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button