Rois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Nalar Anarkis; Ditunggangi Menunggangi Demonstran

Nalar Anarkis:
Ditunggangi
Menunggangi
Demonstran

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

I/

Sekarang-sekarang ini, setiap ada demonstrasi yang diarahkan tuntutannnya kepada penguasa (eksekutif, legislatif atau yudikatif) omongan yang lebih ringan dari kerupuk adalah omongan bahwa di belakang demonstrasi-demontrasi itu ada dalang; para demonstran hanya orang-orang yang ditunggangi. Kurang lebih seperti kerbau yang tidak saja kurang akal, melainkan tidak berakal.

Dalam wacana kepentingan politik praktis, sebetulnya wajar omongan itu, sebab sikap politik praktis sangat mungkin melakukan penunggangan dalam begitu banyak kesempatan, tidak hanya yang sedang berkuasa atau yang ingin berkuasa, untuk tetap di kekuasaan atau untuk sampai pada “kekuasaan”. Saya secara pribadi beberapa kali menemukan fakta (hasil investigasi) adanya penunggangan-penunggangan massa. Ada yang menggelar demonstrasi yang hasil akhirnya mengamini kebijakan penguasa. Demonstrasi itu dilakukan hanya untuk menunjukkan bahwa kekuasannya adalah kekuasaan yang demokratis.

Sependek pengalaman saya yang tidak sepanjang pengalaman Aktivis 66,  penunggangan paling mudah dilakukan oleh pemegang tampuk kekuasaan. Saya ingat betul bagaimana dahulu saya memilih meninggalkan suatu organisasi karena organisasi tempat saya bergerak setuju mendemo demonstran.

Rakyat diadu dengan rakyat. Itu dahulu, di masa saya masih aktif sebagai aktivis sekitar tahun 2008-2012. Sekarang saya tidak tahu, apakah sama atau tidak berubah. Maksud saya, berubah. Karena bukan tidak mungkin berbeda zaman berbeda wajah, meski jaraknya belum 10 tahun. Yang pasti sudah sangat jauh berbeda dari zaman Aktivis 98, sehingga Aktivis 98 tidak bisa juga terlalu percaya diri merasa memahami suatu zaman hanya karena pernah menjadi aktivis pada zaman yang telah jauh berlalu.

Penunggangan bukan barang baru dalam dunia politik praktis, dan tentu saja bukan juga barang baru bagi aktivis. Semua kalangan yang bersentuhan (wabil khusus orang politik praktis dan aktivis) telah sama-sama dapat menghitung bayangan yang bergerak.

Sehingga tidak sulit untuk melihat mana pergerakan yang ditunggangi dan mana yang tidak.  Pada posisi ini, tidak ada masalah, sebab kadang-kadang saling memantau dan saling menertawakan gerakan-gerakan yang mudah dibaca.

Tetapi kemudian ada masalah karena di tengahnya ada masyarakat umum—yang sebagian besar tidak melek soal tunggang menunggangi, selain urusan tunggang menunggangi suami istri di kamar. Itulah yang dijadikan lahan pertaruhan. Barang siapa dapat meyakinkan orang-orang di tengah ini, ialah yang pada akhirnya akan memenangkan wacana, merebut kepercayaan. Pada fase ini, sudah terlepas dari demonstrasi itu sendiri.

Tidak heran jika mulai dari tukang becak hingga menteri berlomba-lomba mengatakan bahwa demonstran yang berdemonstrasi menolak revisi UU KPK dan KUHP, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah ditunggangi. Ditunggangi, berarti sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain atau kepentingan lain.

Ditunggangi, pada pandangan yang berkembang belakangan ini, berarti orang-orang yang bergerak adalah orang-orang bayaran yang tega menggadaikan keamanan, ketenteraman, dan persatuan negara demi uang yang tidak seberapa. Mereka bilang, demi nasi bungkus.

Penunggangan memang isu paling gampang untuk membuat masyarakat umum berbalik arah mengamini bahkan merestui tindakan represif terhadap demonstran, penganiayaan, bahkan bersorak ketika dihadapkan pada berita tewasnya beberapa mahasiswa di tangan polisi. Sebagian dari masyarakat umum yang sangat yakin bahwa pergerakan itu ditunggangi beramai-ramai menyerukan agar polisi menghabisi para demonstran atas nama NKRI.

Memang makin lucu sekali cara sebagian orang melihat sebuah bingkai NKRI. NKRI dalam pikiran mereka dibangun dari kecurigaan dan seruan-seruan penggasakan terhadap sesama rakyat. Sebab, kata mereka, rakyat sudah ditunggangi pikiran-pikiran politik praktis, layak mendapat hukuman dari negara. Nasionalis sekali. Cara pikun ini juga aneh, diri sendiri memiliki sikap politik tidak mau diganggu, tapi kepada orang-orang yang berbeda pandangan politik bernapsu betul ingin menggasak.

Nalar anarkis yang sedemikian suka tidak suka telah melahirkan jalur-jalur pikiran yang juga anarkis, seperti para pecinta teori konspirasi. Tidak bisa tidak, harus berpikir tentang konspirasi. Kambing terperosok di got pun akan dilihat secara konspiratif. Omongan ini setidaknya dapat dibuktikan di lapangan oleh pembaca. Ketidaksukaan terhadap suatu sikap atau suatu paham telah merusak rasa keadilan dalam diri sebagian manusia Indonesia, sehingga yang dibangun adalah adu gagah sambil berteriak: siapa menang dan siapa kalah. Seruan-seruan mengerikan di media sosial, entah akun asli manusia atau para buzzer, merebak. Satu di antaranya adalah ini:

 

Saya sama sekali tidak tahu siapa yang pertama kali membuatnya, tapi saya melihat betapa hilir mudiknya gambar berisi pesan-pesan permusuhan berbalut nasionalisme semu itu di media sosial. Dua kata pertama (dibunuh-membunuh) yang hanya boleh ditulis dalam sebuah skenario film sadistik yang mengisahkan para mafia pembunuh bayaran ditulis dalam kembang-kembang kecintaan terhadap negara yang sah. Tentu saja sambil menggiring nalar agar percaya sepenuhnya bahwa demonstrasi aktivis mahasiswa ditunggani dan yang menunggangi adalah Cendana.

Begitulah sebuah demonstrasi berjalan, penguasaan wacana setelahnya adalah demonstrasi-demonstrasi yang sesungguhnya. Siapa saja boleh tidak sepakat terhadap suatu pergerakan, tapi tidak sepakat tidak berarti memberangus. Sebab tidak dapat melarang demonstrasi karena secara sah dilindungi Undang-Undang, yang diembuskan adalah penunggangan, itu yang saya maksud memberangus. Penalaran-penalaran anarkis semacam ini, akan menjauhkan manusia Indonesia dari nalar kritis. Dampaknya, konflik yang akan lebih besar di masa depan.

II/

Para tokoh tentu telah sangat mengerti tentang konsekuensi dari sikap-sikap tersebut, termasuk konsekuensi—bagi siapa saja di pihak manapun—membayar buzzer untuk menggiring opini, menyulut  kemarahan, dan memperdalam jurang perbedaan.

Tetapi sayangnya para tokoh tidak kalah anarkis, meski dibalut dengan gaya yang seakan-akan elegan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly, membuka kalimatnya dalam diskusi di ILC (Indonesia Lawyer Club) dengan pernyataan bahwa mahasiswa-mahasiswa tidak membaca. Tidak tahu yang sebenarnya. Pernyataan yang lazim dikeluarkan oleh orang-orang kolot yang langsung menjustifikasi bahkan sebelum argumen pertama keluar. Klasik. Menutup diri dari kemungkinan diskusi.

Di lain kesempatan, ia menanggapi Instagram Story Dian Sastrowardoyo yang juga mengkritisi revisi UU KPK dan KUHP dengan menyebut Dian bodoh. Tidak sederhana untuk dapat menanggapi tanggapan Yasonna (saya tidak tahu nama panggilannya siapa, saya sebut saja Yasonna). Sebuah sikap yang berlawanan dengan keinginan orang-orang yang menolak demonstrasi.

Mereka yang mengatakan bahwa mestinya segala sesuatu dibicarakan baik-baik. Ini bukan tidak mungkin bagian dari kenyataan bahwa untuk berbicara secara baik kuncinya juga ada pada yang diajak berbicara, bukan hanya pada yang mengajak berbicara. Ingatlah bagaimana Patmi (Kendeng) sampai ia gugur dalam demonstrasi tidak ada yang menemuinya. Tidak ada yang mengajak ia dan warga Kendeng lainnya berbicara, meski sudah teriak-teriak meminta diajak bicara (dengan cara yang baik itu).

Setali tiga uang dengan Yasonna, Wiranto berkali-kali mengatakan di depan awak media bahwa aksi demonstrasi ditunggangi Islam garis keras. Rasanya bukan kali pertama mendengar yang beginian dari Wiranto. Sering sekali. Dengan percaya diri dan dari raut wajahnya sangat yakin, ia mengatakan bahwa ia telah mengetahui itu dan tahu orang-orang yang dimaksud.

Sebuah pernyataan yang sebagaimana biasanya meleleh dan mengalir di masyarakat. Menjadi penggiring yang baik untuk membuat sebagian orang dengan serta merta meridhoi mahasiswa-mahasiswa yang dianiaya bahkan tewas di tangan polisi. Mereka mengamininya tanpa menggunakan nalarnya dengan kritis. Setidaknya, berpikir dua kali bahwa dengan cara itu, bukan tidak mungkin kelak merekalah yang akan menghadapi perlakuan yang sama. Sebab ini bukan soal bagaimana menegakkan kekuasan, ini soal bagaimana menegakkan demokrasi.

Jika Wiranto benar-benar tahu bahwa aksi mahasiswa ditunggangi dan tahu siapa yang menunggangi yang berarti juga tahu di mana orang-orang yang menunggangi itu berada, mestinya ia langsung bergerak cepat untuk meringkusnya sampai akar. Sampai habis. Sebab ia adalah penyelenggara negara. Sudah tugasnya melakukan itu. Bukan melempar wacana penunggangan kepada rakyat, seakan menyuruh rakyat menelisik, mencari, mencurigai siapa saja untuk menemukan orang-orang yang dimaksud penunggang itu. Ujungnya kisruh antar rakyat dan ketika itu terjadi tidak dapat selesai hanya dengan menonton Wiranto kembali berbicara di saluran Youtube.

Apa yang diperlukan lagi jika semua sudah diketahui? Jika jauh hari Wiranto sudah dapat membedakan mana penunggang dan mana yang ditunggangi, bukankah itu artinya negara siap melakukan tindakan-tindakan antisipatif? Bukan menghadapi mahasiswa dengan gas airmata dan peluru.

Bukan membuat kabar aneh-aneh tentang ambulan yang disita karena mengangkut batu untuk demonstran. Bukan menangkapi orang-orang yang melakukan penggalangan dana untuk beli minum demonstran. Bukan menangkapi siapa saja yang bersikap baik kepada demonstran.

Tentu yang dimaksud oleh Wiranto sebagai para penunggang bukanlah para rektor. Sudah semestinya pencegahan bahkan penghentiannya tidak dengan cara mengancam para rektor sebagaimana yang dilakukan oleh  Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir. Tidak perlu menekan rektor untuk mengimbau (kata lain dari menekan) mahasiswa agar tidak melakukan demonstrasi di jalanan, yang itu berarti mengajarkan tutup mulut sejak di kampus.

Jika betul mahasiswa adalah kerbau tunggangan, yang para penunggang itu bukan rektor mereka, dan negara tidak mulai mencurigai perguruan tinggi sebagai sarang penunggang, Nasir tidak perlu repot-repot mengancam dengan ancaman SP1 dan SP2 serta tidak ketinggalan mengancam para dosen.  Konsentrasi penunggang tidak di kampus, bukan? Mohamad Nasir tidak perlu ikut-ikutan mengatakan: “Jangan sampai mahasiswa demo ditunggangi oleh orang lain atau kepentingan-kepentingan lain.”

III/

Hal lain yang merebak adalah omongan yang lebih ringan dari penunggangan, tapi seolah-olah ini dalil kuat untuk menghukumi dengan jelas, tegas, dan sepenuh keimanan bahwa aktivis-aktivis mahasiswa itu berdemo bukan karena akal pikiran mereka sendiri. Banyak sekali postingan tentang adanya penyusup dalam demonstrasi. Beberapa foto, mulai dari foto orang KPK hingga orang-orang yang konon berkecenderungan secara politik disebar kemana-mana dan itulah yang dijadikan sebagai bahan argumentasi yang seolah-olah argumentatif.

Melalui banyaknya status dan komentar di media sosial itu, saya melihat ada ketidakpahaman yang mendasar ihwal penyusup dalam demonstrasi. Jika suatu pergerakan disusupi (kata ini tidak ada dalam KBBI, tapi anggap saja sama dengan dimasuki) oleh kepentingan-kepentingan tertentu, itu adalah fitrah dari suatu pergerakan, apa saja bentuk pergerakannya.

Misalkan seseorang mengadakan pesta pernikahan, penyusupnya adalah tukang balon, tukang es, tukang bakso, dan semacamnya. Misalkan sebuah universitas mengadakan acara wisuda, penyusupnya adalah tukang bunga, tukang foto, tukang balon, dan semacamnya. Itulah fitrah manusia.

Disebut penyusup adalah setiap orang yang mengambil keuntungan dari suatu keadaan/pergerakan baik bersifat personal maupun massal untuk mendapatkan keuntungan. Kehadiran penyusup bukan sebagai tanda bahwa suatu keadaan/suatu pergerakan dipikirkan, direncanakan, dan dijalankan oleh penyusup.

Mengatakan bahwa adanya penyusup adalah tanda bahwa demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan KUHP tidak murni, sama seperti mengatakan bahwa acara wisuda suatu universitas direncanakan oleh tukang boneka, karena mereka yang menguasai pelataran. Sama seperti mengatakan pernikahan si Fulan dan si Fulanah tidak atas kesepakatan kedua mempelai dan kedua pihak keluarga, karena ada mamang es batu di sana.

Saya pikir, itu tidak sama sekali sulit untuk dinalar dengan baik. Akan menjadi sulit jika nalar yang digunakan sudah dikuasai narasi-narasi anarkistis, yang semua hal tidak mungkin datang dari kemurnial akal pikiran. Seakan-akan tidak mungkin para mahasiswa memiliki otak, sehingga mati-matian mengatakan bahwa mereka digerakkan oleh orang-orang yang berada di belakang mereka, orang-orang yang jadi otak dari suara mereka.

Dalam bernegara, selalu ada ujian. Kita hidup dengan pikiran dan harapan yang berbeda-beda, tapi semuanya akan baik-baik saja jika semua kembali kepada konvensi negara: Undang-Undang. Menyampaikan aspirasi baik tertulis maupun secara lisan; baik perorangan maupun dengan mengumpulkan massa adalah yang dilindungi Undang-Undang. Di sinilah mesti dilerai sepakat atau tidak sepakat dengan yang bersuara. Sebab bercita-cita membungkam suara yang tidak satu suara dengan kita itu tanda tidak patuh kepada Undang-Undang. Melawan Undang-Undang berarti melawan negara, siapapun orangnya. Rakyat atau pun pejabat negara. (Rois)


Muhammad Rois Rinaldi, Aktivis 2008-2012, Pengurus BEM Banten masa lalu, pendiri Ikatan Keluarga Besar BEM Cilegon, dan bukan Aktivis 98.

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button