Rois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Obrolan Tertutup; Deklarasi Prabowo dan Dugaan Kecurangan KPU

biem.co – Sikap politik tidak dapat disikapi dengan sikap yang pada umumnya berlaku di tengah manusia. Yang tampak putih, tidak dengan serta merta putih warna aslinya, begitu pula sebaliknya. Sebab kacamata politik secara kasat mata terlihat sama tindakannya, namun mungkin sangat lain makna dan tujuannya.

Namun rupanya itu belum sepenuhnya disadari oleh sebagian orang yang sedang gandrung-gandrungnya berbicara politik, di mana sebagian mereka adalah orang-orang yang hanya memiliki kegandrungan terhadap isu politik, tapi tidak gandrung terhadap ilmu pengetahuan politik. Akibatnya, di mana-mana menjadi jelaslah kegagalpahaman, wabil khusus di media sosial.

Pada banyak status di Facebook, IG, atau story WA hampir setiap hari isinya caci maki atau setidaknya meninggikan satu tokoh politik seperti meninggikan nabi sambil merendahkan tokoh politik lainnya seperti merendahkan iblis.

Rata-rata postingan tidak saya tanggapi, sebab tidak ada kepentingan untuk menanggapinya dan lagi saya menghindari betul perdebatan yang membuang-buang energi, tapi pada suatu pagi seorang teman secara khusus menemui saya dan mengajak saya berdiskusi. Meski ini bagi saya cukup lancang, karena saya sangat menghindari diskusi tentang perpolitikan Indonesia yang membosankan. Mau tidak mau, pada akhirnya saya mempersilakan dia untuk bicara.

“Kacau nih!” katanya. “Prabowo tidak terima kekalahan!”

Saya tersenyum. Pernyataan itu sudah terlalu sering saya baca. Terlalu sering saya dengar. Terlalu menjemukan untuk ditanggapi. Tetapi karena ia teman saya dan kebetulan tidak ada orang lain selain kami, saya tanggapi sekadarnya.

“Memangnya sudah ada yang kalah dan menang?”

“Hasil quick count sudah berbicara, Bang!”

“Memangnya quick count itu hasil hitung KPU?”

“Quick count lazimnya,” sekian tampak ragu. “Tidak jauh dari hasil KPU.”

“Soal itu, saya juga tahu.”

“Lah terus?”

“Apanya yang terus?”

“Prabowo deklarasi duluan. Itu tidak etis!” tukasnya dengan nada tinggi.

Beberapa saat saya membiarkan teman saya itu untuk santai, sambil mempersilakan diri saya sendiri untuk menarik napas dengan baik. Kami sama-sama memerlukan jeda sebelum pembicaraan dilanjutkan, sebab teman saya ada pada posisi membela satu pihak, sudah dapat dibaca kemarin ia memilih yang mana. Sementara saya tertidur pada hari Pemilu. Tidak keburu datang ke TPS.

“Apa tidak bisa Prabowo bersabar menunggu hasil pengitungan KPU?” katanya lagi. “Apakah dia sengaja mau memecah belah rakyat?”

“Yang sedang kita hadapi ini sikap-sikap politik.”

“Saya juga tahu, Bang. Tetapi tindakan Prabowo bodoh!”

“Bodoh atau tidak, kadang penilaiannya sepihak atau tidak sepihak.”

“Atau Prabowo memang sudah gila?”

“Gila kenapa?”

“Kalah lagi. Mungkin dia mulai sakit jiwa!”

Saya cekikikan. Mudah sekali mengatakan Prabowo gila karena kemungkinan gagal menjadi presiden untuk kedua kalinya. Kesimpulan semacam ini mestinya tidak lahir dari orang yang konon sering memutar video berisi ocehan para politikus.

“Kok malah cekikikan, Bang?” protesnya.

“Saya tidak tahu, ini siapa yang gila.”

“Loh kok?”

“Kamu fasih sekali berbicara politik, tapi kok polos sekali?”

“Polos bagaimana?”

“Prabowo melalukan deklarasi dikarenakan ia menilai quick count yang disiarkan di berbagai televisi Nasional itu tidak dapat dipercaya kebenarannya. Oleh sebab itu, ia mendeklarasikan kemenangannya untuk mengcounter quick count yang baginya adalah pesanan dari Paslon Petahana.”

“Jadi, abang percaya quick count itu pesanan?”

“Saya belum merasa perlu untuk percaya atau tidak percaya.”

“Maksudnya?”

“Tidak ada perlu untuk segera percaya atau segera tidak percaya.”

“Abang setuju dengan sikap Prabowo?”

“Ini bukan soal setuju atau tidak setuju.”

“Lantas?”

“Saya hanya memberitahumu bahwa Prabowo melakukannya karena ia yakin quick count yang muncul beberapa jam setelah Pemilu adalah hasil manipulasi, bukan karena ia gila atau karena ia tidak paham bahwa penghitungan ada di tangan KPU. Ini tidak dalam rangka setuju atau tidak setuju. Hanya memberitahu.”

“Tetapi Prabowo menuduh KPU curang!”

“Siapa yang tahu jika ternyata KPU curang?”

“Abang percaya KPU curang?”

“Dibilang belum sampai tahap percaya atau tidak!” kali ini saya yang bersuara dengan nada tinggi. “Tidak ada yang tahu juga kalau kelak ternyata Prabowo merapat ke Jokowi, jadi menteri misalnya. Ini politik. Kita sedang bicara perpolitikan!”

“Jadi, yang benar bagaimana?”

“Saya tidak sedang berbicara sebagai yang benar, tapi menurut saya berilah kesempatan kepada kubu Prabowo untuk membuktikan apakah benar KPU melakukan kecurangan atau tidak. Biarkan mereka mencari data dan faktanya tanpa ada yang menghalang-halangi. Jika dihalang-halangi, ini akan memperkuat kecurigaan bahwa KPU curang. Jika benar ada kecurangan dan itu dapat dibongkar, itu bagus untuk demokrasi kita. Jika tidak dapat dibuktikan, itu juga bagus untuk pembelajaran rakyat Indonesia.”

“Tetapi Abang tahu tidak, ada sekelompok orang yang membuat pergerakan mengawal pemerintahan yang terpilih dengan sah?”

“Tahu!”

“Ini jelas akan menimbulkan kekacauan!”

Saya tertawa agak keras kali ini. Menggelitik sekali. Politikusnya reaktif atau memang sengaja memunculkan gaya reaktif? Tentu saja tujuannya agar rakyat juga terbawa-bawa reaktif terhadap hal apapun sehingga politikus-politikus kita dapat terus mengeksploitasi sisi emosional rakyat untuk menambah hitung-hitungan suara atau dukungan untuk mereka.

“Bang!” ia tampak makin kesal.

“Politik memang banyak gimik.”

“Iya, tapi menuduh KPU curang, itu barbar!”

“Kecurangan dalam Pemilu tidak mustahil!”

Saya tahu ia masih ingin bicara. Dahinya masih dikerut-kerutkan olehnya, tapi saya harus siap-siap mandi. Ada momen penting di rumah. Saya harus segera pulang. Saya harus menghadapi kenyataan hidup dan melakoni kehidupan dengan baik. Obrolan politik memang penting. Melek politik juga penting. Tetapi jangan sampai menjadi orang-orang yang mabuk politik. Kagetan dan reaktif. Bisa bubar Indonesia dihuni orang-orang seperti itu.  []

Cilegon, 22 April 2019

Muhammad Rois Rinaldi, Koordinator Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co


 

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button