biem.co — “Saya bukan orang yang suka cari aman!” kata Nurman.“ Jika sesuatu perlu dikatakan, harus dikatakan.”
Obrolan malam itu, di sebuah rungan yang terletak di lantai 3 gedung Krakatau Junction agak memanas. Ada, sepertinya, yang mengganggu pikirannya. Saya cukup mengerti bagaimana bahasa tubuhnya berbicara sehingga kegelisahan itu sudah lebih dahulu sampai ke syaraf otak saya sebelum kata-kata meluncur.
Untuk beberapa saat saya memilih menghabiskan terlebih dahulu bakso yang telah dipesankan untuk saya dari Restoran Ecco yang terletak di area luar Krakatau Junction. Setelahnya, saya menarik gelas kopi, meneguknya sedikit kemudian meletakkannya kembali di meja. Saya bersiap-siap mendiskusikan sesuatu yang akan membuat tengkuk saya terasa agak berat.
“Kapan sesuatu perlu diperkatakan?” tanya saya agak menyelidik, beberapa saat setelah saya meneguk air putih dan mengelap bibir dengan tisu.
“Ketika kita meyakini kebenaran.”
“Kapan kita tahu atau yakin bahwa kita benar? Bukankah sangat mungkin setiap orang memiliki keyakinannya sendiri-sendiri tentang kebenaran, bahkan posisi benar dan salah kadang hanya soal perspektif, bukan?”
Kami tertawa kecil.
Bumi tiba-tiba terasa ada di tengah meja tempat kami dipertemukan, sementara kami tiba-tiba berada di sebuah ruang di mana kami lebih besar dari bumi. Tiba-tiba saja bumi itu harus kami perhatikan dengan seksama dan kami akan saling memberitahu apa yang kami perhatikan dan saling menguji.
Tetapi perasaan itu tidak lama, segera saya sadar ketika Nurman meminta saya menyantap beberapa jenis buah di meja, pada sebuah parsel buah yang bentuknya sebagaimana parsel pada umumnya ditemukan di pasar-pasar atau dalam lamaran pernikahan.
“Kebenaran yang ada pada diri manusia tetap saja sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu-gugat.” katanya.“ Tetapi memang ada kebenaran yang tidak dapat dibicarakan dengan sangat tegas, misalkan kebenaran masing-masing pribadi.”
Ia kemudian mencontohkan, misalkan ada seorang karyawan yang secara jelas terbukti dan memiliki banyak saksi yang pekerja keras, berprestasi, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Kenyataan itu tidak dapat dibantah, katanya. Sehingga ketika kemudian ada karyawan lain yang secara jelas terbukti dan memiliki banyak saksi sebagai pekerja yang bekerja jika ada atasan mendapatkan promosi jabatan melebihi karyawan yang terbukti pekerja keras, harus dibantah.
“Jadi, saat itu juga yang mengetahui kebenarannya, harus bicara.”
“Atas dasar apa?”
“Ya, atas dasar kebenaran itu!”
“Jadi,” saya menatapnya seperti tatapan seorang penyidik. “Ini berbicara memperjuangkan kebenaran?”
“Adakah kebenaran yang tidak perlu diperjuangkan?”
Lagi-lagi kami tertawa kecil.
Masing-masing kami menyeruput kopi yang tersedia di depan kami yang sedang berbicara berhadap-hadapan. Sebuah meja berbentuk elips dengan lubang elips di tengahnya cukup membuat perbincangan kami semacam acara talkshow di televisi.
Tentu tidak persis seperti itu.
***
Kebenaran: sebuah kata yang sejak generasi pertama manusia menjadi semacam pertanyaan yang tidak pernah selesai, bahkan meski ratusan atau bahkan ribuan definisi kebenaran terus lahir dari zaman ke zaman. Definisi-definisi yang tidak juga dapat menenteramkan jiwa manusia karena kebenaran sering sekali dapat dipahami bukan karena mengetahui atau menghafal definisi, melainkan karena perjalanan hidup manusia dalam menghayati kebenaran itu sendiri.
Itulah mengapa dari zaman ke zaman pula para pencari kebenaran yang masyhur terus ada dan terus dikisahkan, misalkan para sufi yang kerap mengait-kaitkan kebenaran dengan cinta atau sebaliknya. Semisal para penyair yang kerap mencari makna dari gejala di luar badan dan gejala di dalam badan untuk menyampaikan perspektif kebenaran dalam bangunan-bangunan dunia yang diciptakan.
Pada begitu banyak catatan, kebenaran pada manusia hanya sebagai pantulan cahaya, bukan sebagai cahaya itu sendiri atau sebagai pecahan-pecahan dari “sesuatu yang utuh” sebab kebenaran itu tidak dapat sebagai yang utuh pada diri manusia. Sebagaimana Rumi, sufi paling diingat oleh para penggemar dunia pemikiran dan penghayatan, yang mengatakan cinta adalah “laut ke-tak ada-an”, kebenaran pula sering hadir sebagai yang dikabuti, acapkali tak seberapa jelas, meski sesekali tampak tegas. Karenanya, obrolan tentang kebenaran selalu mendebarkan.
“Bagaimana jika ternyata yang Pak Nurman pikir benar ternyata salah?” saya kembali bertanya, lebih tepatnya menyelidik.
“Apakah yang tampak jelas perlu diragukan sebagai yang bias?”
“Bukankah kecurigaan terhadap diri sendiri selalu perlu dihadirkan di tengah keyakinan kita tentang kebenaran yang berada pada pandangan kita?”
“Yang jelas tetap jelas, yang remang tetap remang, dan yang bias tetap bias. Tidak tertukar.”
“Tetapi daya pikir kita tentang yang yang jelas dan yang bias tidak selalu stabil. Hati manusia terbolak-balik. Bahkan pengetahuan kita tentang kebenaran sangat mungkin belum sampai di titik ‘benar’.”
“Sayyidina Ali mengatakan: ‘Jangan kenali kebenaran berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kau akan kenal siapa penyandangnya’. Tentu itu mudah untuk diterima, kan?”
Saya menarik cangkir putih berikut tak-takannya yang juga berwarna putih yang terbuat dari keramik yang entah keramik macam apa. Saya menyeruput kopi sambil tetap menatap sepasang mata Nurman. Sepasang mata yang telah melihat dunia lebih dari setengah abad.
Agak sulit dibayangkan menatap dunia lebih dari setengah abad, betapa begitu banyak hal yang harus dipandang oleh sepasang mata itu, meski keduanya tak ingin dan tak pernah ingin memandang sesuatu itu. Tentu saja di antaranya adalah hal-hal menyenangkan telah lama dapat dipandang sepasang mata itu.
“Malam ini,” kata saya mendekatkan pandang mata saya kepada pandang matanya. “Kita akan berbicara cukup jauh.”
Nurman tertawa.
***
Saya mengingat betapa sering kami membicarakan tentang kebenaran dan keberanian memperkatakannya. Sepertinya ini tema pembicaraan yang paling digemari Nurman. Saya tidak bosan, sebab saya juga menyukai tema pembicaraan ini karena sebagai manusia yang semoga memang manusia, saya selalu dihadapkan pada proses perkenalan dengan kebenaran. Tidakkah sebuah perkenalan selalu membuat jiwa bergetar dan kehendak untuk terus mencari begitu besar?
Sering juga obrolan kebenaran di antara kami mengerucut pada bagaimana memperjuangkan kebenaran. Katanya, kebenaran tidak datang begitu saja tanpa maksud. Kebenaran datang kepada seorang manusia karena Tuhan menguji manusia untuk dapat bersikap dengan benar ketika dihadapkan pada kebenaran. Apakah akan melaksanakan kebenaran atau mengingkarinya dan ia mengataknnya lagi.
“Bahwa Tuhan membuat mata kita melihat batu di jalan raya tidak hanya untuk dilihat?”
Nurman hanya mengangguk dengan senyum yang sedikit saja.
“Batu itu diperlihatkan kepada kita agar kita berhenti dan menepikannya?”
“Begitu juga kebenaran?”
“Mana ada Tuhan iseng-iseng menunjukkan kebenaran kepada kita hanya agar kita melihatnya,” setelah berdaham Nurman menanggapi juga. “Mana ada Tuhan menciptakan manusia dengan akal pikiran hanya karena kebetulan.”
Kali ini saya yang tertawa terbahak-bahak. Saya mengangkat gelas kopi, mengajaknya turut meminum kopi yang tersedia di depannya.
Siapa Nurmansyah? Nama lengkapnya Nurmansyah Hasan Basri. Ini bukan non-fiksi semacam Cerpen di koran-koran mingguan. Saya sedang bercerita tentang suatu obrolan sehari-hari saja. Obrolan dengan Ia lelaki kelahiran Lampung yang bekerja di Krakatau Steel, yang tentu saja menetap di Cilegon. Lelaki yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Primer Koperasi Krakatau Steel. Seorang pecinta olahraga dan kesenian. Itu saja. Kami sering bertemu. Ya, kami sering ngobrol meski usia saya seusia anaknya.
“Sepertinya kita mendekati malam larut,” ujar saya setelah melihat jam di telepon genggam.
“Jam larut pun tidak kebetulan, bukan?” celetuk Nurman.
Kami saling lempar senyum sambil tangan kami sama-sama membereskan apa yang perlu kami bereskan. Nurman dengan berkas-berkasnya yang ia rapikan, saya dengan laptop saya yang dengan segera dimasukkan ke dalam tas.
Obrolan kami harus diusaikan meski kami mengerti tidak ada yang benar-benar selesai dari obrolan tentang kebenaran. Ia menggantung seperti buah apel hijau pada sebuah ranting yang hijau—senantiasa hijau.
“Setiap kali memperkatakan kebenaran, konsekuensi sederhananya, menghadapi perlawan dari kebatilan,” ujar saya setelah sekilas menarik sleting tas, rasanya tak ada yang tertinggal. “Saya pikir, ada kalanya kita tidak selalu siap dengan konsekuensi sederhana itu.”
“Saya tidak setuju!” sanggahnya. ”Kebenaran tidak perlu diperkatakan pada keadaan yang tidak tepat, karena akan menjadi bagian dari kebatilan itu sendiri.”
Malam ketika itu barangkali larut dalam napas kami masing-masing, ketika masing-masing kami keluar area Krakatau Junction menuju rumah; menuju kamar tempat di mana kami membaringkan tubuh kami dengan bahasa keletihan yang juga masing-masing. Dan tahulah, esok atau lusa kami akan bertemu lagi, entah di tempat mana dan pada jam berapa. Untuk sekadar berbicara tentang menu makan, dunia pekerjaan, atau barangkali kami membicarakan kembali tentang bagaimana prilaku kebenaran untuk kesekian kalinya. (rois)
Cilegon, 2019