Oleh Muhammad Rois Rinaldi
–Redaktur Sastra biem.co
biem.co — Kembali saya mengikuti diskusi yang melibatkan Museum Gubug Wayang. Kembali saya mendengarkan pemaparan Cyntia Handy. Kali ini saya tidak berbicara tentang live streaming di Instagram @museumgubugwayang dalam acara Nongkrong Budaya Tjela Tjelo yang rutin dilaksanakan seminggu sekali. Kali ini saya mengikuti diskusi virtual melalui aplikasi Zoom.
Selain Cyntia ada Cak Mus dan Michael N. Kurniawan yang didapuk sebagai pembicara. Ihwal kuda pembicara tersebut, telah saya sampaikan pada ulasan sebelumnya di biem.co.
Di dalam diskusi yang bertajuk iTalk, Inovation Talk Do Re Me yang diadakan oleh Universitas Ciputra, Cyntia menyampaikan bagaimana posisi Museum Gubug Wayang dalam dunia pendidikan dengan menawarkan suatu konsep tentang menjadi manusia Indonesia seutuhnya melalui budaya.
Dipandu oleh Inggrita F. Putri, Staf Perpustakaan Universitas Ciputra, diskusi yang dimulai pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya itu diikuti oleh peserta dari berbagai kota. Ada yang dari Jakarta, Banten. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan dan provinsi lainnya.
Pada sesi awal, secara singkat Yehuda Abiel, Kepala Perpustakaan Universitas Ciputra, menyampaikan bahwa Do Re Me dijadikan tema diskusi, karena do, re, dan me, merupakan tiga tangga nada pertama. Dari nada pertama hingga nada ketiga posisi nada terus naik.
Ia mengaitkan tangga nada tersebut dengan diskusi, di mana Universitas Ciputra mengharapkan para peserta, meski menghadapi pandemi, pada masa memasuki tahun ajaran baru ini, dapat meningkatkan pengetahuannya tentang nilai-nilai kebudayaan di dalam pendidikan. Karena itu, tiga pembicara yang mumpuni dihadirkan.
Layar utama berpindah ke Inggrita lalu berpindah lagi ke perwakilan Center for Heritage Resource Studies, Dr. Astrid Kusumowidagdo, ST. MM.
“Kita akan memasuki sesi yang menarik, bersama Cak Mus, Kak Cyntia, dan Kak Maeikel,” ujarnya langsung setelah menyapa moderator, para pemateri, dan para peserta. “Bagaimana di tengah pandemi kita dapat membuat mainan di rumah, bagaimana mengoptimalkan peran budaya, dan bagaimana berimajinasi untuk menciptakan dongeng baru.”
Layar utama kembali ke Inggrita lalu ke Cyntia.
“Halo sobat budaya!” seru Cyntia hangat.
“Kak Cyntia, mau langsung ke materi atau bagaimana?” Inggrita memberikan penawaran.
“Kita tonton Wayang Kancil Dulu, yuk!”
***
Di Desa Maja Arum, terdapat seorang petani kaya raya bernama Pak Wongso. Kekayaan yang ia miliki tidak membuatnya gemar berbagai dan mengasihi sesama, melainkan membuatnya kikir dan tamak. Karena ketamakannya, makhluk hidup di sekitar ladangnya yang luas dan berbuah segar, menangis karena kelaparan.
Keadaan yang semakin sulit membuat Kambing, Kerbau, Singa, dan binatang-binatang lainnya melapor kepada Kancil. Mereka memohon sambil meratap kepada Kancil agar membantu mereka mendapatkan makanan.
Melihat penderitaan kawan-kawannya, Kancil tidak tega. Ia kemudian berjanji akan mendapatkan makanan untuk mereka.
Langit senja bergerak dan hari berganti malam. Kancil mengendap-endap menuju ladang Pak wongso untuk mencuri buah buahan yang ada. Namun Pak Wongso melihat Kancil. Kancil tertangkap basah.
“Kamu kancil kurangajar!” Pak Wongso murka. “Pencuri! Berhenti, Kancil. Kamu akan aku bunuh di sini, karena bernai mencuri di ladangku.”
“Tidak apa-apa jika aku harus mati di tanganmu!” dengan gagah berani Kancil menghadapi Pak Wongso yang tamak. “Tapi ingatlah, aku mati untuk saudara-saudaraku yang menangis kelaparan karena kamu kikir dan tamak!”
Mendengar suara Kancil yang gagah, hati Pak Wongso gemetar. Ia menatap Kancil dengan tatapan penyesalan. Perlahan-lahan napasnya terasa semakin berat.
“Apa benar selama ini aku seperti itu, Kancil?” tanya Pak Wongso penuh penyesalan.
“Memang seperti itu. Lihatlah kawan-kawanku yang kurus kering itu!”
“Oh Tuhan… ampuni aku,” pekik hati Pak Wongso.
Begitu sebuah kisah dibawakan oleh seorang dalang di dalam layar. Kemudian kisah ditutup dengan sebuah nyanyian dengan langgam Jawa yang kental.
…
Hidup ini janganlah merugi
maka berhatilah
untuk bertindak
ingat nasehat kemarin
tuk selalu bersyukur
tak lupa saling mengasihi
…
Layar berpindah dari dalang ke Cyntia Handy yang memegang Wayang Kancil, yang terbuat dari bahan kardus. Sebagaimana umumnya pertunjukan Wayang Kancil, ia menyampaikan amanat cerita.
“Dari cerita Kancil dan Pak Tani tadi,” kata Cyntia. “Mencuri itu memang tidak baik, tapi lebih tidak baik jika kita abai dan kikir terhadap sesama, sehingga mereka terpaksa mencuri. Oleh karena itu, seharusnya kita sebagai manusia saling menyayangi dan saling memberi.
“Sampai jumpa di cerita berikutnya!” seru Cyntia di dalam pertunjukan Wayang Kancil Virtual itu.
***
Pertunjukan Wayang Kancil Virtual selesai, Cyntia Handy dengan segera membuka materinya dengan mengajukan sebuah pertanyaan retoris: “Pentingkah peran budaya dalam tumbuh kembang anak?”
Setelah menyapa moderator, para pembicara, dan para peserta Cyntia menuturkan bahwa pada usia anak 0-6 tahun yang terbagi menjadi tiga fase, yakni Usia Bayi (0-2 tahun), Usia Awal (2-6 tahun) dan Usia Akhir (6-12/13 tahun), penting sekali untuk diperhatikan. Karena, katanya, itu adalah golden age, usia emas.
Cyntia mengatakan bahwa masa itu adalah masa yang sangat menentukan, karena menjadi stimulan bagi perkembangan anak yang meliputi aspek kongnitif, bahasa, sosial, dan sebagainya. Dalam kaitannya, Cyntia menuturkan bahwa menjadi bahagia adalah hak setiap anak Bangsa. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana menciptakan karakter anak dengan berlandaskan pada jiwa mengasihi sesama.
Orangtua yang dimaksud Cyntia bukan saja orangtua biologis, melainkan juga orang-orang yang lebih tua, yang lebih tahu bagaimana cara hidup di Indonesia. Orangtua-orangtua Indonesia, menurut Cyntia, harus membantu anak-anak membentuk karakternya menjadi pribadi-pribadi yang mampu menyelesaikan masalah.
Namun, Cyntia mengingatkan, kadang dalam mendidik anak, orangtua terjebak antara sifat individualis dan mendiri. Meski keduanya sama-sama mengerjakan sendiri, tapi ada perbedaan yang sangat jelas.
Individualis adalah sifat seseorang dalam melakukan seluruh kegiatan sendiri untuk kepentingan pribadi. Kalau itu yang muncul secara dominan di dalam diri seorang anak, maka anak itu akan tumbuh sebagai pribadi yang mau menang sendiri, bahkan bisa jadi orang yang serakah. Itu lain hal dengan mandiri. Seorang anak diajarkan bertanggung jawab untuk menyelesaikan sesuatu sesuai dengan bagiannya.
Yang dimaksud Cyntia sebagai bagiannya adalah apa yang menjadi tangung jawabnya, karena untuk mencapai suatu tujuan, ada hal-hal yang dikerjakan oleh orang lain, hal yang menjadi bagian-bagian orang lain. Artinya di situ, anak-anak juga diajarkan bagaimana menghargai apa yang dikerjakan oleh orang lain dan berkomitmen di dalam mencapai tujuan bersama. Jika sifat mandiri itu dominan di dalam diri seorang anak, tujuan bersama akan tercapai berdasarkan kesepakatan.
“Bagi kami, Musem Gubug Wayang sangat meyakini,” lanjut Cyntia. “Di era sekarang kita bukan berlomba-lomba untuk mendidik anak jadi pintar, melainkan bagaimana mendidik anak menjadi berkualitas agar bermanfaat untuk sesama. Banyak yang mungkin sudah mendengar peribahasa urip itu urup. Semua nilai etika bagaimana kita hidup semuanya ada di budaya.”
Pendekatan kebudayaan yang ditawarkan Cyntia di dalam diskusi, dipastikan olehnya bahwa telah sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional, yakni mencerdaskan kehidupan Bangsa dengan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Karena ketika berbicara tentang manusia Indonesia seutuhnya, berarti dalam berprilaku dan berpikir menggunakan cara Indonesia. Dengan begitu, anak-anak Bangsa Indonesia tidak lagi menggandrungi kebudayaan luar yang sesungguhnya, menurut Cyntia, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik dunia.
Melalui kebudayaan, baik film maupun lagu-lagu, setiap orang di luar Indonesia akan mendukung dan memperjuangkan apa yang diciptakan negaranya masing-masing. Masing-masing mereka berjibaku untuk menonjolkan apa yang dimiliki. Ketika ia melihat kecenderungan rakyat Indonesia gemar membanggakan budaya negara lain, di situlah Cyntia memberi pertanyaan dengan sangat tegas: “Siapa yang akan bangga kepada Indonesia?”
Kembali ia melanjutkan, mengembalikan Indonesia seutuhnya adalah tujuan pendidikan. Bagaimana anak Bangsa Indonesia memiliki pengetahuan dan nalar sehingga tidak diombang-ambingkan oleh persilangan kebudayaan yang secara dinamis terus terjadi di muka bumi. Sehingga masing-masing pribadi dapat menentukan mana yang benar mana yang tidak. Jika pun seorang anak Indonesia harus mengambil keputusan yang tidak diterima orang lain, ianya mampu memberikan alasan yang baik. Di situ ada kemampuan pemecahan masalah.
Masih dalam kaitan jalan budaya yang relevan dengan tujuan pendidikan Nasional, kepribadian yang matang dan mandiri, bukan individualis, bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan adalah aspek-aspek yang tidak boleh luput. Hal ini dikarenakan banyak sekali anak Indonesia yang pintar, bahkan menjadi ahli-ahli di luar negeri. Cyntia tidak melihat itu sebagai sesuatu yang membanggakan. Ia menyatakan akan lebih bangga jika anaknya tidak terlalu pintar, tapi mau berjuang untuk bangsanya: untuk negaranya.
Itu yang Cyntia maksud dengan bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tanggung jawab itu, menurutnya, harus dimiliki oleh setiap anak Indonesia. Tanggung jawab itu dapat lahir jika anak-anak Indonesia mengenali, menghayati, mengembangkan, dan memperjalankan budayanya.
“Mengapa budaya?” ujar Cyntia kembali mengajukan pertanyaan retoris.
Sebagai hasil perjuangan manusia di tengah dua pengaruh besar, yakni zaman dan alam, kebudayaan Indonesia telah teruji sebagai sesuatu yang kuat dan mengakar di tanah pertiwi. Apa yang diterima secara turun temurun adalah ilmu atau pengetahuan yang telah disaring oleh nenek moyang, sehingga menjadi warisan berharga bagi anak cucu.
Warisan itu yang, menurut Cyntia, seyogyanya dirawat dan dikembangkan, bukan malah minder, alih-alih menggunggulkan budaya orang lain, sehingga pada akhirnya kehilangan budayanya sendiri: kehilangan akar asal-usul hidupnya, yang itu berarti kehilangan dirinya sendiri sebagai anak Indonesia.
Menjadi manusia Indonesia seutuhnya adalah konsep yang bagi Cyntia paling relevan untuk kemajuan. Jalan budayalah yang layak ditempuh untuk sampai pada konsep tersebut. Sebab di dalam budaya, semua unsur kehidupan telah terangkum. Setidaknya ada 7 unsur budaya yang disampaikan oleh Cyntia.
Pertama, Sistem Bahasa. Bahasa merupakan budaya tertinggi yang dimiliki manusia di mana pun. Bahasa adalah wajah kebudayaan. Ianya berkaitan dengan cara berkomunikasi: membangun narasi-narasi hidup dan kehidupan di tengah sesama manusia di dalam suatu wilayah. Melalui bahasa, pewarisan nilai dan ilmu dari generasi ke generasi dilakukan.
Kedua, Sistem Ilmu Pengetahuan. Bagaimana pengetahuan dapat membantu manusia untuk bertahan hidup.
Ketiga, Sistem Organisasi Sosial. Bagaimana manusia membentuk kelompok dengan adat istiadat dan aturan mengenai berbagai macam cara hidup bersama sebuah kelompok. Sistem ini memungkinkan manusia membuat kesepakatan-kesepakatan mengenai cara hidup di lingkungan. Itulah mengapa cara hidup di Jawa berbeda dengan cara hidup di Kalimantan. Perbedaan-perdebaan yang ada, menurut Cyntia, bukan sebagai yang berbeda. Itu tidak lebih hanya berupa penyesuaian terhadap adat istiadat dan aturan-aturan, bukan karena berbeda. Tidak menunjukkan sebagai yang berbeda.
Keempat, Sistem Peralatan Hidup/Teknologi. Bentuk dari ilmu pengetahuan. Bagaimana manusia membuat benda-benda yang dapat membantunya untuk tetap hidup. Semisal makanan, senjata, rumah, dan lain sebagainya. Sistem keempat ini, menurut penuturan Cyntia, merupakan wujud dari sistem kedua. Sistem Ilmu Pengetahuan yang abstrak dikonkretkan dalam Sistem Peralatan Hidup/Teknologi.
Kelima, Sistem Ekonomi. Bagaimana sistem pertukaran atau upaya menghasilkan sesuatu untuk menyambung hidup. Contohnya meramu, berternak, bercocok tanam, menangkap, ikan. Sistem Ekonomi merupakan sebuah sistem yang terus berkembang, sejak zaman orang menggunakan sistem barter hingga hari ini, orang mengenal mata uang.
Keenam, Sistem Religi. Bentuk kebudayaan manusia tidak dapat lepas dari sisi emosional keagamaan. Perkembangan sistem religi manusia terus berkembang dari animisme, dinamisme, monotheisme, hingga agama-agama yang sekarang dianut. Cyntia menegaskan bahwa membahas agama juga berarti membahas kebudayaan. Sejak dahulu manusia menyadari adanya Tuhan yang lebih berkuasa dibandingkan manusia. Dalam hal ini, Sistem Religi perspektif kebudayaan tidak berbicara kepada siapa percaya, melainkan bagaimana melakukan kebaikan sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan manusia yang lainnya.
“Karena urip itu urup!” tegas Cyntia.
Ketujuh, Sistem Kesenian. Hasil karya manusia dari generasi ke genrasi berupa patung, perhiasan, tarian, karya sastra, dan lain sebagainya.
Semua aspek ada di dalam kebudayaan, begitulah kembali Cyntia memberi penegasan. Dalam hal ini, orangtua perlu memberikan contoh langsung. Sebab contoh langsung jauh lebih berkesan bagi anak-anak usia dini. Pendidikan pertama, tidak bisa lepas dari peran orangtua. Mengingat orangtua adalah guru pertama bagi anak anak.
“Banyak cara mengajarkan anak-anak tumbuh menjadi seseorang yang mandiri dan berjiwa nasionalis,” ujar Cyntia. “Kalau berbicara nasionalisme, dia peduli terhadap negara, pasti peduli kepada orangtua, kakak, dan adik-adiknya. Dia akan peduli kepada lingkungan sekitar, karena mau hidup damai sejahtera. Itu yang sudah dimiliki Indonesia. Itu yang tidak akan dibiarkan begitu saja dikoyak oleh hal-hal asing yang datang untuk memecah belah.”
Cyntia menyarankan agar orangtua di rumah menerapkan budaya tutur dan dongeng. Menurutnya, budaya tutur dan dongeng di Indonesia sangat kaya, lebih kaya dari budaya yang dimiliki negara-negara lain. Sehingga orangtua tidak perlu khawatir akan kehabisan ide. Tinggal bagaimana menerapkan apa yang telah diterapkan nenek moyang. Nenek moyang Indonesia, menurutnya, gemar membuat cerita agar anak-anak tumbuh dengan kesan-kesan yang baik: berpikir abstrak dan berimajinasi dengan tujuan agar anak-anak tumbuh sebagai anak-anak yang beretika.
Mengingat banyaknya kisah yang disalahartikan, semisal Kancil yang diangkat oleh Museum Gubug Wayang, yang sering dinilai cerdik dalam pengertian negatif, Cyntia mengatakan bahwa penting bagi orangtua untuk menyampaikan amanat cerita. Kesalahpamahan anak-anak terhadap cerita yang diperdengarkan atau ditonton oleh mereka selama ini, dikarenakan tiadanya amanat. Ketiadaan amanat inilah yang menurut Cyntia perlu benar-benar diisi.
Hal lain yang juga sering luput dari pertimbangan orangtua, menurut Cyntia, adalah kesediaan orangtua untuk terus merespon pertanyaan dari anaknya. Karena kadang orangtua lupa bahwa masa kanak-kanak adalah masa di mana manusia menemukan titik eksplorasi yang sangat tinggi. Dalam masa itu, anak-anak sering mengajukan pertanyaan yang bagi orangtua sepele, sehingga orangtua merasa tidak perlu menanggapi. Padahal anak-anak sedang dalam proses menjahit pola pikir melalui jawaban-jawaban yang diberikan orangtua.
Lagi-lagi itu pun menyangkut budaya. Tetapi berbicara budaya, tidak tidak harus selalu membicarakan sejarah, sisolog, dan antroplogi. Cyntia menjelaskan bahwa bagaimana manusia berkomunikasi juga budaya. Berbusana dan berprilaku juga budaya.
“Jadi, buat sobat budaya di luar sana, hayuk kita bersama-sama, bergandeng tangan untuk Indoensia maju.”
***
Museum Gubug Wayang sebagaimana yang dikatakan Cyntia dalam diskusi, telah mengambil peranan. Berbagai program yang dilaksanakan adalah bentuk konkret keterlibatan Museum Gubug Wayang untuk memastikan kelanggengan dan perkembangan budaya Indonesia yang dapat membentuk anak-anak Indonesia menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya
Museum Gugug Wayang berusaha untuk menjadi lokasi yang menyenangkan untuk anak-anak. Hal yang juga diupayakan adalah bagaimana menghilangkan stigma bahwa museum itu kuno. Sebab fakta di lapangan mengatakan bahwa museum tidak menarik bukan karena koleksinya tidak asyik, melainkan hilangnya sifat pewarisan identitas Bangsa. Dalam istilah Cyntia, ada mata rantai yang putus di dalam proses pewarisan, sehingga transfer of knowledge tidak berjalan.
“Karena itu, kami membawa solusi melalui program membawa secepat mungkin, sedini mungkin, budaya Indonesia kepada anak-anak,” tegas Cyntia selaju bicara lalu menuturkan bahwa Museum Gubug Wayang sebelumnya telah melaksanakan program Museum Goes to School.
Tetapi, katanya, itu tidak cukup. Kelanjutan program sulit. Karenanya, Museum Gubung Wayang meletakkan koleksi museum di sekolah-sekolah, bahkan di universitas-universitas agar masing-masing pelajar atau mahasiswa dapar mengeksplorasi budayanya sendiri. Program yang rentang waktunya antara 6 bulan hingga 2 tahun atau lebih itu, tergantung kesepakatan, memungkinkan untuk eksplorasi.
Kelanjutan program yang bernama Temporary Museum itu sangat menarik. Menurut pemaparan Cyntia, Museum Gubug Wayang menghadirkan 12 lemari yang kesepakatannya sangat terbuka. Di dalamnya ada seminar, worshop, lokal konten kreasi, bahkan sampai ke penelitian.
Mengenai koleksi apa saja yang ada, Cyntia mengatakan tidak hanya ada wayang meski nama museum yang mereke dirikan bernama Museum Gubung Wayang.
“Kami menamakan museum kami Museum Gubug Wayang, karena kami memulainya dari wayang. Karena itu adalah bayang-bayang manusia, bayang-bayang kita. Jadi kami memulainya dari wayang. Koleksi kami ada juga keris, batik, keramik, terakota, kaset-kaset cerita, audio musik.”
***
Ya, kembali saya menyimak tuturan-tuturan Cyntia. Perempuan kelahiran 1998 yang mengagumkan. Anak muda yang sudah sampai pada kesadaran berbudaya itu, setiap pembicaraannya memang menarik untuk diikuti. Tentu saya menanti kapan waktu ia jadi pembicara lagi dan saya menyimak serta ikut merasakan semangatnya menggelorakan budaya Indonesia untuk mengantarkan anak-anak Indonesia kepada konsep manusia Indonesia seutuhnya.
Kantor Redaksi biem.co
2020