Opini

Agus Humaidi: Revisi Undang-Undang Pemilu Perkuat Pelaksanaan Pemilu Mendatang

biem.co – Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi dengan sistem perwakilan. Pemilu adalah wujud nyata dari demokrasi prosedural. Indonesia sebagai negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis mengakui pemilu sebagai pilar penting demokrasi yang harus diselenggarakan secara demokratis. Indonesia telah mengatur perihal pelaksanaan pemilu yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 Konsep pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatanberada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.[1]

Sebagainegara demokrasi, maka dapat dikatakan bahwa memilih dan dipilih dalam pemilu adalah deviasi dari kedaulatan rakyat yang merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara.1 Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan dirisebagai negara demokrasi mentradisikan pemilihan umum untuk memilih pejabatpejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun di daerah. Pemilu telah diakui secara global sebagai sarana penyalur kedaulatan rakyat dalam bentuk partisipasi politik rakyat dalam menggunakan hak pilihnya. Teori demokrasi minimalis, sebagaimana dijelaskan oleh Joseph Shumpeter, menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi antara aktor-aktor politik yang meraih kekuasaan partisipasi politik rakyat untuk menentukanpilihan serta liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara.[2]

Sedangkan menurut A. S. S. Tambunan, pemilu merupakan sarana atas pelaksanaan kedaulatan rakyat pada hakekatnya merupakan pengakuan dan perwujudan dari pada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Pemilu merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk republik, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan dan pergantian pemerintahan secara teratur. Pemilu sebagai perwujudan demokrasi dianggap sebagai sarana atau mekanisme ideal dalam rangka proses peralihan kekuasaan secara damai dan tertib. Dengan penyelenggaraan pemilu, maka diharapkan proses peralihan kekuasaan dalam suatu negara akan dapat berjalan dengan baik. Kegiatan pemilu merupakan sarana penyaluran hak asasi warga negara yang prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak asasi warga negara menjadi suatu keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terselenggaranya pemilu sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang ditentukan[3]

Revisi Undang-Undang Pemilu

Pembahasan revisi UU Pemilu harus menerjemahkan keserentakan pemilu berdasarkan opsi-opsi yang ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pilihan atas opsi-opsi berdasarkan putusan MK diambil harus berdasarkan evaluasi penyelenggaraan pemilu setelah Reformasi beserta pencapaiannya. Dengan basis tersebut maka UU Pemilu ke depan fokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan belum tercapai. Misalnya soal memperkuat keterwakilan politik dan meningkatkan partisipasi politik warga negara.

Penyusunan RUU pemilu, hendaknya didasarkan pada pencapaian penyelenggaraan pemilu pasca reformasi. Substansi pembahasan tidak sekadar mengutak-atik elemen teknis pemilu, seperti daerah pemilihan, metode perhitungan suara, ambang batas, dan sistem pemilu (proporsional terbuka/tertutup). jika dilihat seri data sampai dengan hasil Pemilu 2019, ada kecenderungan atau tendensi pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh UU Pemilu, misalnya penguatan sistem presidensial. Hasil Pemilu 2019 menunjukkan secara teoritis efektivitas sistem presidensial berjalan. Hal tersebut ditandai dengan mayoritas parlemen merupakan fraksi pendukung Jokowi-Ma’ruf.

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu akan disempurnakan. Draf yang diajukan Komisi II DPR ke Badan Legislasi (Baleg) DPR dinilai belum memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang (UU) 15/2019 tentang Perubahan atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Berdasarkan aspek teknis, hasil kajian Tim Ahli Baleg menyebut terdapat 177 pasal dari 741 pasal dalam RUU Pemilu yang memuat alternatif norma.

Sementara dari aspek substansi, ada beberapa pasal yang dalam satu pasal merumuskan substansi berbeda. Dengan begitu, pembulatan dan pengharmonisasian konsep RUU Pemilu sulit dirumuskan. Beberapa isu pun dianggap belum memenuhi UU P3 antara lain seperti soal keserentakan pemilu terdapat pada Pasal 4, 5 dan 6, serta sistem pemilu pada Pasal 201 dan 206. Mengacu dua aspek itu, RUU Pemilu secara garis besar dinilai belum memenuhi asas pembentukan perundang-undangan, terutama dari asas kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan.

Selain itu, tujuan penyederhanaan parpol sudah mulai berhasil. Meskipun berdasarkan indeks Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP), sistem kepartaian hasil Pemilu 2019, masih 8 sistem kepartaian atau pluralisme ekstrem. Namun, jika melibatkan pola koalisi-oposisi, hanya terdapat dua partai dominan atau pluralitas sederhana. Sebelumnya, MK menganggap setidaknya ada enam variasi pemilu serentak yang tetap sah sepanjang sejalan dengan penguatan sistem presidensial. Hal yang membedakannya adalah kombinasi pesertanya. Pertama, sebagaimana yang selama ini berjalan, yakni pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden-wakil presiden.

Kedua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota. Ketiga, pemilu anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden, anggota DPRD, gubernur dan bupati/wali kota.

Keempat, pemilu yang memberi jeda antara pemilu serentak nasional dan daerah. Bentuknya, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wakil presiden. Selang beberapa waktu kemudian dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota.

Kelima, pemilu serentak dengan memisahkan antara pemilu nasional, pemilu tingkat provinsi, dan pemilu tingkat kabupaten/kota. Keenam, MK juga membolehkan pemilu serentak jenis lain sepanjang pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden-Wapres digelar bersamaan.

Dalam revisi Undang-undang ini ada enam (6) Isu sentral yang masih bersifat kompilatif, Pertama terkait sistem pemilu apakah terbuka, tertutup atau campuran. Kedua, ambang batas parlemen dan presiden atau parliamentary threshold dan presidential threshold. Ketiga, system konversi penghitungan suara kekursi. Keempat, district magnitude jumlah besar kursi perdaerah peilihan. Kelima, keserentakan pemilu, digitalisasi pemilu dan Keenam, Upaya menghilangkan Moral hazard pemilu.

Lantas seberaba pentingkah undang-undang pemilu direvisi ?

Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini (dalam rapat dengar pendapat) beberapa waktu lalu : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu saat ini belum secara menyeluruh mengatur perihal pemilihan umum. Untuk itu, perlu adanya revisi dari undang-undang tersebut. Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 Belum menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis. Sedangkan menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 ketentuan mengenai presidential threshold dianggap merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang. Istilah kebijakan hukum terbuka dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengambil kebijakan hukum.[4]

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof. Kacung Marijan mengatakan selama ini, revisi UU Pemilu menjadi agenda lima tahunan. Ketika menjelang pemilu, pembuat UU mengubah aturan yang ada. Padahal, setiap perubahan desain yang ada dalam UU Pemilu memiliki konsekuensi terhadap para pemangku kepentingan.Revisi UU Pemilu menjadi godaan bagi partai politik. Partai menjadikannya pintu masuk atau kesempatan dalam menentukan desain pemilu yang membuat partai memperoleh kursi lebih banyak di legislatif. Ada keinginan untuk melakukan perubahan desain sistem pemilu dengan perolehan yang didapat, ada kebutuhan pragmatis, Sehingga tidak heran perubahan UU Pemilu yang ada selama ini terkesan tambal sulam.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Nomor 55/PUU-XVII/2019 menegaskan dua tujuan utama di balik pemilu serentak yang hendak dicapai yakni: efisiensi yang diukur dari kemudahan tata kelola penyelenggaraan pemilu dan kemudahan pemilih dalam memberikan pilihannya, serta penegasan dan efektivitas sistem pemerintahan presidensil.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 menjelaskan, dalam menentukan model mana yang akan dipilih pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan enam hal:

  • Pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum;
  • Kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan;
  • Pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;
  • Pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat;

Tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum

Selain itu, masih ada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang dapat bermakna ganda dengan UU Pemilu. Hal ini menyebabkan adanya poin-poin yang sulit dipahami dan tumpang tindih di antara dua undang-undang tersebut. tak dibuat untuk jangka yang panjang dan membuat adanya ketidakkonsistenan dalam penyelenggaraannya.

Tiga Paradok Demokrasi: Larry Diamond (1990) :

  • Paradok Pertama dalah paradok antara konflik dan konsensus (conflict vs consensus). Demokrasi pada dasarnya merupakan pelembagaan persaingan dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
  • Paradok Kedua adalah tingkat keterwakilan dan kemampuan untuk memerintah (representativeness vs governability).
  • Paradok Ketiga adalah paradok antara kebutuhan untuk memperoleh persetujuan dari rakyat dan adanya pemerintahan yang memiliki kinerja yang efektif (consent vs effectiveness).

Model Pemilu MK: Mengatasi Paradok?

MK telah berusaha mengatasi paradoks-paradoks itu. Tetapi, mohon maaf, sayangya, MK hanya berhenti pada proses pemilu saja, belum sampai pertimbangan pas elektoral. Dalam hal demikian, demokrasi, harusnya dikaitkan dengan pelembagaan dari hasil pemilu, yakni relasi antara eksekutif dan legislatif, dan relasi antara dua lembaga itu dengn publik/konstituen.

Mengingat Indonesia menganut Sistem Presidensial, relasi antara eksekutif dan legislatif itu, sistem pemilu yang dipakai harus dikaitkan dengan Sistem Presidensial dan kemajemukan politik.

Implikasinya: model pemilu MK itu menjadikan para Law Makers di dalam merumuskan RUU Pemilu bagi terbangunnya pemerintahan demokratis dan stabil dalam Sistem Presidensial dan adanya kemajemukan politik di Indonesia, mengalami dilema

Apa Persoalannya?

Hal itu membuat penyelenggara selalu beradaptasi dengan aturan baru yang membuatnya tak maksimal.

  • Permasalahan hukum pemilu: pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi, tindak pidana, sengketa proses, sengketa TUN, perselisihan hasil.
  • Ada kecenderungan lembaga-lembaga yang ada memperluas kewenangan yang ada pada mereka. Bahkan bertindak sebagai reviewer Peraturan bagi lembaga yang lain (pengabaian Peraturan KPU tentang Pencalonan oleh Bawaslu Bengkulu, Lamsel, Dompu, dan Boven Digoel). Konsep yang ada saat ini punya potensi menciptakan rivalitas dan kalau dijalankan secara tidak profesional, akan mengacaukan integritas pemilu.
  • Fungsi pengawasan tidak kompatibel dengan fungsi memutus sebagaimana ada pada Bawaslu saat ini (kasus Bandar Lampung pilkada 2020, verifikasi parpol peserta pemilu 2019, dll). Punya kewenangan memutus namun terlibat aktif dalam aktivitas yang diputus.
  • DKPP semestinya tidak diposisikan sebagai pengadilan etik. Punya kecenderungan untuk ultra petita karena menganggap dirinya sebagai Hakim. Mekanisme etik mestinya dibangun dengan konsep pengawasan etik yang wajar bukan dengan skema peradilan seperti ini, makanya terjadi hukumisasi etik. Padahal sudah ada saluran lain penegakan hukum untuk itu.
  • Threshold untuk parlemen. Adanya penyederhanaan sistem kepartaian merupakan suatu keniscayaan. Tetapi, menyederhanakan sistem kepartaian yang berlebihan, misalnya, menjadi 2 atau 3 partai, juga tidak mencerminkan realitas pluralitas politik dan representativeness di Indonesia. Hal ini terkait dengan paradoks antara Representativeness yang tinggi vs Penyederhanaan partai di parlemen

Terus Langkah Kongkritnya?

  • Supaya tidak ada kekuasaan yang absolut maka produk DKPP bukan berupa Putusan tapi Keputusan, dan bisa langsung diajukan upaya hukum ke PTUN. Ketegasan soal upaya hukum ini sangat diperlukan sebab ada pandangan salah kaprah bahwa melakukan upaya hukum ke PTUN adalah bentuk pembangkangan, padahal hal itu dijamin dalam Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013. RUU Pemilu harus tegas mengatur bahwa soal etik adalah sebatas etik dan bukan mencampuri masalah administrasi kepemiluan.
  • Perselisihan hasil tetap di Mahkamah Konstitusi.
  • Putusan No. 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019, bahwa setelah KPU melakukan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, maka tidak dimungkinkan lagi adanya putusan, rekomendasi, atau bentuk lain dari lembaga-lembaga lain, yang dapat berimplikasi pada perubahan perolehan suara yang telah ditetapkan berdasarkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU, kecuali berdasarkan putusan MK.
  • Rekrutmen penyelenggara dilakukan serentak dan terdesentralisasi (secara berjenjang). Komposisi Timsel bisa menyertakan figur nasional/lintas daerah.
  • Jumlah anggota KPU sama di setiap daerah tidak bergantung jumlah penduduk karena organisasi ini bukan perwakilan politik yang bergantung komposisi penduduk.
  • Menghindari pengaturan yang terlalu teknis dan detil agar tidak terkendala dinamika lapangan penyelenggaraan pemilu. Detil teknis diatur dalam Peraturan KPU (misal jadwal distribusi logistik).

Melihat banyaknya persoalan dalam memperkuat serta menciptakan demokrasi yang stabil, maka revisi undang-undang pemilu ini sangat penting dan seyogya resvisi Undang-undang ini tidak saja sebagai  politik jangka pendek, tapi didorong kebutuhan obyektif dan menyangkut kepentingan bangsa yang lebih besar, masih banyak persoalan-persoalan kepemiluan yang harus diatasi sehingga pemilu  mendatang akan menjadi pemilu yang sangat  demoratis dan bertujuan untuk terus memperkuat sistem politik yang stabil serta berkeadilan. (*)


Penulis adalah adalah Anggota Komite Independen Pemantau Pemilu Propinsi Banten, Sekaligus Dosen di Universitas Sahid Jaya Jakarta.

Daftar Pustaka

Refrensi Buku

Mukthie Fadjar, “Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum
Pelanggaran Pemilu dan PHPU”, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1 April 2009

I Dewa Made Putra Wijaya, “Mengukur Derajat Demokrasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun Genta Press

Janedri M. Ghaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Pres, 2012

Mardian Wibowo, “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka dalam
Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12 Nomor 2, Juni 2015,

Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta: Fajar MediaPress, 2011,

Antonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012

Sodikin, “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden)danPenguatan Sistem Presidensiil”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3 No. 1, April 2014

Bahan RDPU dengan Baleg DPR RI

[1] Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2011, hlm. 1

[2] A. Mukthie Fadjar, “Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum
Pelanggaran Pemilu dan PHPU”, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1 April 2009, hlm. 4 .Akses jam 22.00 tanggal 29 januari 2021

[3] P. Antonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 177

[4] Mardian Wibowo, “Menakar Konstitusionalitas sebuah Kebijakan Hukum Terbuka dalam
Pengujian Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, Volume 12 Nomor 2, Juni 2015, hlm. 211 Akses jam 7.30 Tanggal 30 januari 2021

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button