biem.co – Ketika putri semata wayang Sobri masih seusia balita, ia pernah marah besar kepada Novi, isterinya yang jelita itu. Untuk pertama kalinya ia marah. Ya, sejak mereka berumah tangga, seingat Sobri tak pernah berujar kasar sepatah pun, apalagi marah besar kepada Novi. Entahlah, kemarahannya saat itu keluar menghentak begitu saja, di luar kendali nalarnya setelah melihat isterinya mengepang rambut puterinya yang bernama Tata itu.
Novi tampak kebingungan. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Mengapa suaminya yang selama ini berlaku lemah lembut kepadanya itu tiba-tiba bisa marah sekeras itu? Akalnya betul-betul terasa tumpul menghadapi perangai suaminya yang tidak biasa itu. Seperti orang kesurupan saja.
Namun demikian Novi tak kapok-kapoknya untuk tetap mengepang rambut Tata. Selalu saja ia mengulanginya hampir setiap pagi dan sore, bila Tata habis mandi. Memang, secara alami rambut anaknya tergolong jenis rambut yang menyenangkan. Hitam, tebal dan sedikit mengombak. Maka, tangan Novi selalu terasa gatal amat jika tak mengelus-elus dan mengepang rambut Tata, meskipun ia sadar bakal berhadapan dengan umpatan kasar suaminya.
Pernah di suatu pagi ketika Novi mendadani rambut puterinya untuk persiapan berangkat ke sekolah, dalam puncak kemarahannya, Sobri membanting segelas kopi sebelum ia sempat meminumnya. Tata, yang belum selesai dikepang rambutnya, menjerit ketakutan dan lari masuk kamar.
“Benar-benar keterlaluan!” gerutu Novi dalam hati sambil memandang nanar ke arah suaminya. Ia pun ikut marah pula, tetapi masih dalam batas penalarannya. Ia pun mengejar anaknya. Di kamar ia sempat membujuk Tata untuk melanjutkan kepangan rambutnya yang belum selesai, kemudian akan diantar masuk sekolah TK. Tata tetap menolak untuk dikepang rambutnya karena takut pada ayahnya. Hari itu ia maunya mbolos sekolah saja.
Setelah gagal merayu anaknya, Novi pun keluar kamar mendekati suaminya yang tengah merenungi tumpahan kopi dan serpihan gelas pecah, yang memenuhi lantai yang masih berupa pasangan bata merah itu. Kemarahan Novi memang belum mereda. Kali ini ia benar-benar ingin mengetahui alasan suaminya yang sudah sangat keterlaluan itu. Dengan membanting kopi yang disediakannya hampir setiap pagi. Novi mulai terasa terhina kehormatannya sebagai isteri yang selalu setia melayani segala kebutuhan suaminya.
“Mengapa kau renungi gelas yang sudah terlanjur pecah itu, Mas? Apa kau kira gelas itu akan bangkit menjadi utuh kembali dengan segala isinya?” sindir Novi kepada suaminya.
“Diam kau!” Sobri membentaknya makin keras. Tetapi kali ini Novi sudah mulai berani melawan kekonyolan Sobri.
“Ya, aku akan diam setelah Mas jelaskan sejelas-jelasnya tentang alasan kemarahan Mas kepada kami tentang rambut kepang itu!”
“Tak ada yang perlu dijelaskan! Pokoknya aku tak suka kau kepang-kepang lagi rambut Tata!”
“Yang minta dikepang itu anakmu, Mas, bukan kemauanku!”
“Aku tak peduli siapa pun yang meminta! Kamu atau anakmu sama saja. Tidak boleh!”
“Alasannya?”
“Tidak boleh, ya, tidak boleh! Bawel amat!”
Begitulah jawaban otoriter Sobri setiap kali Novi menanyakan alasan suaminya mengapa ia tak boleh mengepang rambut puterinya. Sobri tak pernah menjawabnya secara jelas. Hanya bentakan dan pelototan matanya semata yang ia pamerkan untuk menunjukkan dominasi kekuasaannya di rumah sederhana ini. Rumah semi permanen milik juragan Bakro yang sudah dikontrak Sobri lebih dari lima tahun.
“Marah tanpa alasan yang jelas sebaiknya kuabaikan saja,” begitulah tekat Novi dalam hati. Ia merasa tak berdosa sama sekali kalau harus mendadani puterinya secantik mungkin, menata rambutnya seindah mungkin, dengan beberapa model rambut kepang yang ia pelajari dari majalah mode wanita yang sesekali dibelinya.
Novi juga sudah terbiasa menyematkan pita dengan berbagai warna untuk diikatkan di ujung rambut kepang anaknya. Dengan dandanan rambut kepang puterinya itu, Novi selalu ikut merasa bangga jika di sekolahan TK banyak yang memujinya, terutama teman sejawat, ibu-ibu yang sama-sama menunggui putera-puteri mereka selama pembelajaran.
Memang demikianlah adanya. Sejak Novi melahirkan Tata, ia dipaksa oleh suaminya untuk sementara waktu berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan sebuah bank swasta. Ia diminta untuk fokus merawat anaknya, sampai dengan saatnya Tata bisa mandiri. Setidak-tidaknya kalau sudah kelas 4 atau kelas 5 SD, dan Tata sudah tidak memerlukan perawatan khusus darinya, mungkin Novi bisa kembali bekerja. Sekali lagi ini semua hanya demi menuruti keinginan suaminya.
Sobri memang tidak punya keinginan sama sekali untuk mencari asisten rumah tangga. Ia tidak merasa nyaman kalau Tata harus diserahkan pengasuhannya kepada orang lain selain isterinya. Lebih-lebih lagi di kota yang tergolong tidak begitu besar ini sangat susah juga mencari asisten rumah tangga yang dapat dipercaya sepenuhnya.
Semula Novi sangat keberatan jika harus meninggalkan pekerjaan yang sudah ditekuninya hampir lima tahun itu. Alasan yang paling jujur, honor bulanan yang ia terima sangat membantu untuk mendukung kebutuhan rumah tangganya. Maklumlah, meskipun suaminya seorang pegawai negeri, tetapi tergolong pegawai kelas menengah ke bawah. Sobri bekerja sebagai staf di Kantor Catatan Sipil Kabupaten. Oleh karena itu kehidupan keluarganya tergolong pas-pasan. Tetapi karena Sobri tetap bersikeras menghendaki agar Novi tetap berhenti dari pekerjaannya demi merawat anaknya, maka akhirnya Novi pun menuruti kemauan suaminya.
Namun di sisi lain ia juga membenarkan keputusan suaminya. Ia juga kurang suka untuk memiliki asisten rumah tangga. Maka Novi pun kemudian bertekat untuk mengurus rumah tangganya sendiri, melayani suami sepenuhnya dan sekaligus bisa mengasuh Tata sebaik-baiknya. Ia juga ingin tetap melakukan hobinya untuk selalu mengepang rambut puterinya, dengan resiko akan selalu didamprat suaminya.
Anehnya, selama ini meskipun Sobri suka marah-marah, tetapi tak pernah sekali pun memaksa Novi untuk mengurai kembali rambut Tata yang telah terlanjur dikepangnya. Bahkan sering kali Novi memergoki Sobri seperti merenungi rambut kepang Tata, meski secara sembunyi-sembunyi.
“Pasti ada sesuatu yang Mas Sobri sembunyikan dariku tentang alasan kebenciannya terhadap rambut kepang Tata,” guman Novi di hati.
***
Hari-hari pun terus berlari dengan cepatnya. Bulan-bulan saling berkejaran. Tahun pun berganti-ganti tak pernah berhenti. Kini Tata telah menjelma menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Ia kini telah berkuliah di salah satu universitas negeri di kota sebelah. Sudah menginjak semester tujuh. Dan hingga kini ia tetap saja gemar mengepang rambutnya. Bahkan kini ia telah mahir sendiri untuk mengepang rambut dengan berbagai macam model rambut kepang yang ia pelajari dari YouTube dan ramban di ladang subur pengetahuan “Mak Gugel”. Baik yang gaya klasik maupun yang kontemporer telah ia kuasai dasar-dasarnya. Setidaknya ia telah mempraktikkan kepang rambut puluhan model yang berasal dari negeri sendiri maupun dari luar, seperti Nigeria, Prancis, Jerman, Mesir, dan belahan bumi lainnya.
Sesekali ia juga mengunjungi salon kecantikan dekat kost-annya yang tak jauh dari kampus untuk sekedar ingin merasakan sensasi kenyamanan kepalanya ketika rambutnya sedang dikepang. Ia juga ingin mengenang sensasi gelitikan jari-jari ibunya ketika mengaras dan memilin-milin rambutnya, sejak ia sekolah di TK hingga lulus SMP.
Ketika masuk SMA ia mulai merasa jengah terhadap ibunya kalau masih harus bersusah payah ikut mempercantik rambutnya. Maka sejak itu pula ia berusaha untuk mengepang rambutnya sendiri saja, atau kadang minta tolong seorang teman dekatnya, yang juga sama-sama punya hobi mengepang rambut.
Novi sendiri tak keberatan kalau memang itu yang dimaui anaknya. Ia terpaksa harus memendam keinginan perasaanya untuk tetap terus berpartisipasi menata rambut anaknya. Dan untuk sekedar mengobati rasa rindunya terhadap kepang rambut anaknya itu, ia pun kadang-kadang memaksa Tata untuk sekedar mau dielus-elus kepalanya, kalau Tata sedang libur semesteran dan pulang ke rumah.
Yang membuat hati Novi merasa nyaman saat ini, bahwa suaminya kini tak pernah lagi mempersoalkan kegemaran Tata yang makin menggila dalam mengepang rambutnya. Tetapi Sobri juga belum pernah menyatakan persetujuannya terhadap gaya rambut kepang anaknya yang makin tampak aneh-aneh itu.
“Mudah-mudahan Mas Sobri telah legawa dan tak pernah lagi mempersoalkan rambut kepang Tata.”
Begitulah Novi berharap ketika di suatu sore Tata pulang ke rumah dengan tatanan rambut berkepang yang berkesan anggun dan dewasa, menggunakan model rambut sanggul berkepang.
Novi tampak bergetar hatinya, ketika melihat suaminya menatap ke arah sanggul anaknya dengan tatapan yang nanar tak berkedip sama sekali. Tidak seperti biasanya yang hanya sekilas pandang saja ketika melihat rambut kepang anaknya. Sore ini Sobri tak pernah memindahkan tatapan matanya, meskipun ketika Tata sudah cium tangan dan memeluknya sebagai ungkapan rasa Burindu. Beberapa bulan memang Tata tak sempat pulang karena kesibukan di kampusnya.
Novi berdebar-debar. Bergegaslah ia menuntun anaknya masuk ke rumah. Ia khawatir kalau suaminya tiba-tiba meledak kemarahannya karena melihat tatanan rambut Tata yang modelnya belum pernah digunakan. Baru kali ini. Maka begitu memasuki rumah, Novi Tata segera disuruh beristirahat di kamar pribadinya. Namun sebelum Tata sempat berganti pakaian, tiba-tiba terdengar suara berat ayahnya yang nemanggil-manggil namanya. Tata pun keluar kamar sambil tetap didampingi ibunya.
“Duduklah kalian berdua. Ada sesuatu yang ingin Ayah tanyakan,” geram Sobri dengan raut muka yang dingin, sedingin wajah zombi.
Novi dan Tata duduk di sofa depan Sobri. Mereka diam nembeku, seperti pesakitan yang menunggu untuk diinterogasi.
“Jawablah terus terang, siapakah yang telah berani mengepang rambutmu dengan model begini?” geram Sobri dengan suara rendah tapi sangat menyeramkan sambil menunjuk sanggul kepang anaknya.
Tata bergidik bulu kuduknya. Ia belum menjawab. Entahlah rasa traumanya kepada ayahnya ketika masih di TK tiba-tiba muncul kembali. Maka suaranya seperti tersekat di kerongkongannya.
“Jawablah! Atau kamu ingin Ayah marah-marah seperti dulu?” kembali Sobri menggeram tetap dengan suara rendahnya tapi terdengar makin sakit di gendang telinga dua perempuan di depannya.
“Tan…te… Din… na, Ayah,” jawab Tata terbata-bata.
“Tante Dina maksudmu?” geram Sobri sambil menarik alisnya.
Tata hanya mengangguk ragu.
“Siapa dia?”
Tata kembali ragu-ragu.
“Ayo jawab!” tegas Sobri
“Dia…dia…ibu pacar aku, Ayah. Dan… Tante Dina sekeluarga sepertinya merestui hubunganku dengan Mas Didin, putera semata wayang Tante Dina.”
Tata berhenti sejenak untuk mengatur napasnya, sambil menunggu reaksi ayahnya. Namun karena ayahnya masih tetap terpaku diam, maka ia pun melanjutkan penjelasannya, “Rencananya bulan depan Tante Dina sekeluarga akan bersilaturahmi ke sini, Ayah, sekaligus melamar Tata untuk menjadi isteri Mas Didin.”
Sobri tampak terperanjat. Tanyanya tergopoh-gopoh, “Siapa nama lengkap perempuan yang kau sebut Tante Dina itu?”
“Ardina… Saraswati, Ayah.”
Bak disambar geledek Sobri hampir saja tersungkur jatuh. Mukanya semakin memucat. Dan sambungnya kemudian dengan suara bergetar, “Apakah dia punya tahi lalat di bawah dagu kanannya?”
“Be…benar, Ayah. Apakah…,” Tata agak ragu melanjutkan pertanyaannya, tapi akhirnya ia teruskan juga. “Apakah Ayah mengenal Tante Dina?”
Sobri tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba ia berdiri dan meraih tubuh anaknya untuk didekap sekuat-kuatnya sambil mengelus-elus sanggul kepangnya.
Novi dan Tata semakin kebingungan.
“Kenapa… kenapa… dengan Tante Dina, Ayah?” tanya Tata dengan gagap karena dekapan kuat ayahnya.
Sobri tiba-tiba tersenyum pahit. Pahit amat. Tapi ia tak mungkin menjelaskannya kepada kedua perempuan di depannya ini, bahwa Ardina Saraswati itu adalah cinta pertamanya ketika masih muda dan masih hidup di desa tempat kelahirannya. Yang paling ia kenang dan sekaligus ia benci adalah tatanan model rambut yang disanggul berkepang, persis model rambut Tata saat ini.
Namun jalinan cinta keduanya kandas karena tidak direstui keluarga Dina yang memang dari kalangan priyayi dan kaya raya. Sedangkan ia sendiri cuma anak orang biasa yang kurang berada. Dan karena kegagalan cintanya itulah, kemudian Sobri minggat ke kota yang ia diami hingga kini.
“Bagaimana dengan rencana Dina yang ingin melamar Tata untuk diambil menjadi menantunya?” pertanyaan itu melingkar-lingkar di sekujur tubuhnya, hingga tiba-tiba pakaiannya telah kuyup seperti orang kehujanan. Ia menggigil kedinginan seperti orang kena demam parah.
“Barangkali ini adalah kutukan rambut berkepang itu,” renungnya sepajang malam tanpa sempat tidur sekejap pun. (*)
Rembang, 30 Desember 2020
Tentang Penulis: Jup Nitihardjo adalah nama seorang penulis kelahiran Rembang Jawa Tengah. Berusia lebih dari setengah abad. Lulusan Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Tuban. Mantan Pengawas Sekolah. Sejak remaja telah banyak menulis cerpen berbahasa Jawa (cerkak) dan puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Majalah Mingguan Panjebar Semangat, Jayabaya, Jaka Lodang, dll. Novelnya berjudul “Geletar Selendang Ledhek Pesisir” diterbitkan tahun 2015. Beberapa Antologi Puisi Bersama juga diterbitkan di tahun yang sama. Saat ini berkolaburasi dengan para sahabat penyair di grup sastra dan puisi di dunia Maya dengan nama akun Bung Jupri.